‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35 : Adik marah?
“Mbak Warni! Siapa yang ngajarin ngomong tak sopan seperti itu?!” Dahayu memekik, betapa terkejutnya ia. Biasanya ibunya bertutur lembut, kalaupun sedang kesal paling cuma merajuk dan berbicara dengan nada sedikit tinggi, bukan mengata-ngatai.
“Adik marah?!” Kartu dalam genggamannya berhamburan, netra bulat bermanik coklat terang seperti sang putri, berkaca-kaca, bibirnya sudah mencebik, siap menumpahkan air mata. “Adik tak sayang lagi.”
"Tak apa bu War _”
“Aku Mbak! Bukan Ibuk!” ia memekik, menepis tangan Randu yang mencoba menepuk lengannya.
“Mulai-mulai!” Sebelah tangan Nelli berkacak pinggang, siap mendengar dan menyaksikan drama.
Amran merebut ponsel yang dipegang Dahayu, mencoba memberi pengertian. “Mbak, adik Ayu tidak marah. Tadi kakinya digigit nyamuk, jadi terkejut dan langsung berteriak kencang.”
Bu Warni mengedipkan mata, jatuhlah buliran bening. Dia menatap sendu wajah Nelli.
"Betul, Buk. Ayu cuma kaget melihat badannya yang macam Macan tutul dihisap nyamuk kepala hitam,”
“Nelli!” terdengar suara menggeram di seberang sana.
Randu menelan air liur, kalimat frontal Nelli, dan ucapan asal bunyi bu Warni, terasa aneh di pendengarannya. Dia sendiri bukan asli orang perkebunan, tapi berasal dari ibukota negara.
Merantau ke Medan dikarenakan terpilih menjadi staf PT Tabariq, setahun kemudian baru naik pangkat sebagai asisten pribadi Amran, dan dirinya hampir tidak pernah berinteraksi langsung dengan para pekerja kasar. Lebih sering berada diruangan ataupun dalam mobil kala mengawasi para mandor lapangan.
Namun, lain halnya dengan Bondan. Tatapannya terlihat mesum dengan alis sengaja diturun naikan.
“Pak Bondan, kalau kau meringis macam itu – mirip Ikan Buntal tersangkut di kail,” ejek Nelli.
"Kayaknya badanku subur ini, karena terlalu banyak makan kata-kata mutiara darimu, Dek Nelli.”
“Ibu! Ibuk – dengar Ayu ya!” sela Dahayu, kalau Bondan dan Nelli sudah mulai memberi sinyal mau berdebat, bila tidak langsung dicegah, sampai berbusa pun mulut mereka enggan berhenti.
“Tak boleh bilang kata-kata tadi, dosa. Nanti Tuhan marah, terus Ibuk nggak lagi disayang, mau?”
“Tak mau. Iya janji tak akan mengulanginya lagi! Kalau sama Adik memang nggak boleh ngomong kayak tadi. Bilangnya nanti aja pas bareng Kak biduan pantat tonggek (semok) Nelli.”
Diam-diam Randu mengesot mundur, dia duduk bersandar pada tembok, wajahnya sudah seperti bayi dibedakin neneknya.
“Toss! Ha ha ha ….” Bu Warni terpingkal-pingkal, dia dan Nelli saling menepuk telapak tangan.
Tak ada penyelesaian, Dahayu meminta Amran mematikan sambungan ponselnya. Tidak ada gunanya kalau ibunya sudah tertawa terbahak-bahak seperti itu, andai dia bersikeras yang ada bu Warni tantrum.
‘Awas kau Nell!’
"Tadi Nelli membahas tentang gaya 69, sepertinya belum kita coba ya, Yu? Ayo eksekusi … biar tak sia-sia ilmu yang kau dapatkan dari Mak Beti.” Di dorong dan langsung ditimpa badan Dahayu hingga berbaring.
“Jangan gila kau, Amran!” Dayu menggeliat, mukenanya sudah dilepaskan sedari tadi sewaktu mengobrol dengan ibunya dan Nelli.
Amran tidak mengindahkan peringatan yang coba dilayangkan oleh Dahayu. Tangannya menarik lepas tali handuk, mulai mengecup tulang selangka yang penuh mahakarya nya.
“Bukankah semalam kau memintaku untuk membantu melupakan dia, sepertinya cara kita menyatu sudah tepat – setelah bercinta dirimu langsung tidur nyenyak.
Serangan fajar pun terjadi, Amran kembali mereguk manisnya tubuh Dahayu. Bersama mereka berbagi peluh, melenguh dan meneriakkan nama satu sama lain.
Tak ada jarak, tak pula ada kejadian Amran salah sebut nama, seakan hanya ada Dayu seorang dalam hatinya, sehingga sangat ringan dan tanpa harus berpikir dahulu baru menyuarakan nama sang istri.
***
Pada pukul sepuluh pagi. Mobil Fortuner, kendaraan pribadi Amran kala sedang berada di kota – sudah terparkir di halaman klinik dokter kecantikan nomor dua di ibukota provinsi.
Kulit wajah Dahayu sedang diperiksa oleh dokter wanita – menggunakan alat skin Analyzer, kegunaannya mengukur tingkat kelembapan, sebum, pori-pori, dan garis halus. Agar dapat memutuskan krim apa yang cocok digunakan sehari-hari.
Setelah selesai tahap pertama, Dahayu melakukan facial, membersihkan wajah menggunakan alat canggih dan manual yang ditangani oleh seorang ahli kecantikan profesional (beauty therapist).
Amran tidak meninggalkan istrinya sendirian, ikut facial netral – cuma membersihkan kotoran kulit wajah. Dia tidak ingin Dahayu sampai merasa kerdil dan kesepian ditempat asing yang baru pertama kali dikunjunginya.
Suami dari Masira dan juga Dahayu itu, meminta kamar privat, hanya ada dia dan istri keduanya.
Tangan-tangan ahli mulai mencuci kulit wajah dan memberi pijatan ringan yang membuat tamu mereka rileks. Hal tersebut mampu menurunkan suara debar jantung Dahayu – dia gugup, malu, sebab bagian hidungnya banyak sekali komedo, dan sudut bibir ada bruntusan mirip panu sebesar ujung kuku.
Dirinya bukan tidak ingin melakukan perawatan, tapi dananya kalah oleh kebutuhan dapur, serta vitamin untuk sang ibu. Adapun cuma mampu membeli sabun pembersih wajah, sementara kerjanya dibawah terik matahari, tentulah tidak manjur.
Perawatan tradisional dengan menggunakan masker mentimun, bengkoang, putih telur, malah memperburuk keadaan kulit wajahnya, tidak cocok.
Hampir dua jam kemudian.
Dahayu sudah pindah tempat tak kalah mewah dari klinik dokter kecantikan tadi. Kali ini dia dibawa ke spa sekaligus salon rambut yang juga menawarkan perawatan tubuh.
Amran kembali menemani, dia ikut dipijat tapi cuma bagian lutut kebawah dan lengan saja. Sedangkan Dahayu melakukan perawatan seluruh badan, dan sesudahnya mandi susu Almond dan Oat – untuk melembapkan kulit kering dan menenangkan kulit sensitif.
.
.
Sepasang kaki Amran masuk kedalam bathtub, sementara bokongnya duduk dipembatas, tangannya memijat lembut bahu istrinya, dia terus tersenyum bangga kala melihat bercak merah memenuhi leher, dada, perut Dahayu. Tak pula malu sewaktu tadi dilirik para tenaga terapis kecantikan.
"Lapar tidak?" tanyanya perhatian.
"Iya." Dayu mengangguk, sikapnya tidak sekaku sebelumnya, dan ia menurut saat Amran meminta dipanggil nama saja, serta menginginkan mereka – sepenuhnya menikmati kebersamaan tanpa harus memikirkan hal lainnya.
Amran pun mengganti kata saya menjadi aku, agar terasa lebih akrab, tak berjarak.
"Aku pesankan menu dari restoran depan ya? Mau apa, Yu?" Ia kecup pucuk kepala sang istri yang bersandar pada lututnya.
"Yang kiranya masuk ke dalam perutku saja, jangan yang aneh-aneh!" Ia mendongak, dan langsung bibirnya dilumat cepat. Kebetulan mereka cuma berdua dalam ruangan berendam.
***
Sesi perawatan tubuh pun selesai. Perut Dahayu sudah kenyang. Tadi setelah rambutnya di potong untuk membuang helaian rusak serta kasar – Amran menyuapi nasi ayam hainan, sambil ikut makan juga.
Tindakan manis itu terlihat sangat romantis, siapapun yang melihat langsung berasumsi bila mereka pasangan saling mencintai.
Sang pria begitu menyayangi, dan si wanita mengimbangi, cinta yang setara. Tanpa mereka tahu, bila apa yang terlihat sekilas tak seindah kenyataannya.
Amran sedang menunggu Dahayu yang di make up tipis, dan diajarkan dasar-dasar menggunakan alat kosmetik oleh penata rambut serta gaya dan ahli merias wajah.
"Amran, bagaimana? Apa aku terlihat seperti Banci?"
Visual ~ Dahayu, setelah selesai di make up, dan rambutnya dirapikan.
"Amran! Kok diam saja?"
"Hah? Kau tanya apa tadi, Sayang?"
.
.
Bersambung.
Akan kah terjadi perpisahan
bagaimana cara merayu hati yang telah tersakiti.
menjaga harga diri, demi kasih ..
menjaga martabat bunda dari terjangan memori yang terpendam...
hingga akhirnya meletup dan aib pun terpampang nyata ,tanpa kuasa mencegahnya.
Oh dahayu...ketabahan,keikhlasan seolah tidak bisa menutupi semua luka...
tengah malam nangis aku thor..
itu baru tamparan hadiah yg lain nyusul..
Ibu Irn hanya termakan jasutan Masira saja.