Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berita yang Menggemparkan
Jam dinding PAUD menunjukkan pukul sebelas siang. Halaman sekolah kecil itu dipenuhi suara tawa dan obrolan riang ibu-ibu yang menunggu anaknya keluar. Di antara aroma wangi bedak bayi dan bau keringat siang yang tipis, Talita berdiri dengan senyum sopan. Ia menggenggam jemari mungil Bintang yang baru saja selesai belajar, anak itu berdiri anteng di samping Talita sambil memeluk buku gambar.
Talita berusaha masuk ke lingkaran ibu-ibu itu. Sesekali ia tertawa kecil ketika ada yang bercerita tentang ulah anak-anak mereka. Namun jauh di lubuk hati, ia punya rencana berbeda. Ia ingin mencoreng nama Angkasa.
“Bu, kalian tahu Angkasa, kan? Pengusaha muda itu?” Talita membuka percakapan dengan nada ringan, seolah hanya basa-basi.
“Oh tentu. Siapa sih yang nggak kenal?” sahut seorang ibu dengan jilbab warna pastel. “Anak saya aja pernah lihat fotonya di IG, katanya cakep banget.”
Talita menahan rasa jengkel, tapi bibirnya melengkung penuh sandiwara. “Kalian nggak tahu sisi kelamnya, ya? Majikan saya itu… kejam. ART dipaksa kerja kayak budak, gaji nggak sampai sejuta. Bahkan… katanya dia punya istri simpanan, bukan satu, dua… tapi sepuluh!”
Suasana mendadak hening sejenak. Mata ibu-ibu itu membesar. Lalu, meledak tawa.
“Sepuluh? Hahaha, Bu… itu sinetron Indosar kali!”
“Aduh, jangan-jangan nanti ada yang kesurupan juga ya? Hahaha.”
“Kalau bener sepuluh, kapan kerjanya coba?!”
Tawa mereka pecah, keras, hingga membuat Talita tercekat. Ia berharap cerita itu ditanggapi serius, tetapi malah dianggap guyonan murahan. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena sakit hati. Di dadanya terasa sesak.
Dalam hati ia berteriak “Kenapa semua orang selalu melihat Angkasa sebagai pangeran sempurna? Kenapa tidak ada yang percaya bahwa dia pria busuk?!”
Dengan senyum kaku, ia pamit lebih dulu, menuntun Bintang pulang. Namun di benaknya sudah tersusun satu nama ‘El Mariachi.’ Hanya jurnalis itu yang bisa membuat kebohongan tampak nyata.
^^^^
Malamnya, di rumah kontrakan sempitnya, El Mariachi tengah duduk bersila di depan laptop butut. Satu-satunya lampu neon di langit-langit bergoyang, membuat bayangan samar di dinding kusam. Seikat pakaian menumpuk di pojok, dan secangkir kopi sachet dingin di meja menjadi saksi kerja kerasnya.
Pintu kamar diketuk pelan. Talita masuk, wajahnya tegang, tapi matanya berbinar penuh ambisi. Tanpa basa-basi, ia menyerahkan ponselnya. “Ini draf berita dan foto yang aku buat. Silakan kau olah.”
El Mariachi menerima ponsel itu, membaca cepat. Wajahnya yang tadinya datar perlahan tersenyum. Senyum yang khas milik orang yang mencium aroma uang.
“Bagus… sangat bagus, Talita. Kau punya bakat menulis berita dramatis.” Ia tertawa kecil, jari-jarinya lincah mengetik di laptop. Berita itu dipoles, diberi judul besar, ditambahkan kalimat pemancing emosi. “Percayalah, ini akan meledak.”
Talita berdiri di sampingnya, menatap layar yang perlahan menampilkan wajahnya sendiri: lusuh, penuh peluh, sedang jongkok membersihkan toilet. Foto itu, yang sebenarnya hanya trik sederhana, kini tampak seperti potret nyata penderitaan seorang ART.
El Mariachi menekan tombol ‘publish.’ “Selesai. Besok pagi, semua orang akan membicarakan Angkasa.”
Talita menghela napas panjang, seolah beban terangkat. Tapi di hatinya, ia tahu’ ini baru langkah awal.’
^^^^
Pagi berikutnya, di gedung tinggi perusahaan e-commerce milik Angkasa. Ruang rapat utama dipenuhi aura serius. Angkasa duduk di kursi paling ujung, tubuh tegapnya berbalut jas hitam rapi. Tatapannya tajam, dingin, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti perintah mutlak.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Ragiel, asisten pribadinya, masuk dengan wajah pucat.
“Tuan… kita punya masalah.”
Suara itu mengganggu ritme rapat. Semua kepala menoleh.
Angkasa mendengus. “Apa yang begitu penting sampai kau berani memotong rapat?”
Ragiel menyerahkan tablet. “Lihat ini.”
Mata Angkasa langsung membelalak. Judul berita di layar:
“ART Disiksa Majikan Tampan ‘ANGKASA’: Gaji Murah, Kerja Sampai Pingsan.”
Di bawahnya terpampang foto Talita dengan wajah memelas, jongkok membersihkan kamar mandi kotor.
Angkasa merasakan panas menjalar ke pelipisnya. Dengan nada tajam ia berkata, “Berhenti. Rapat selesai.”
Ketua-ketua divisi saling berpandangan, bingung. Namun tak ada yang berani membantah.
Angkasa berjalan cepat ke ruang kerjanya, Ragiel mengikut di belakang. Begitu duduk, ia langsung membuka laptop. Jarinya menari cepat, penuh presisi. Dalam waktu kurang dari satu menit, laman berita itu hilang, situs El Mariachi down, tak bisa diakses lagi.
“Website ini sudah mati. Berani-beraninya mencoreng namaku,” gumamnya dingin. Ia menoleh pada Ragiel. “Cari siapa El Mariachi. Aku ingin nama asli, alamat, segalanya. Aku ingin dia membayar.”
^^^^
Di kontrakannya, El Mariachi berteriak kaget. “APA?!” Ia menatap layar laptopnya yang kini hanya menampilkan pesan error.
“Website-ku… diruntuhkan?!” Napasnya memburu. “Tujuh tahun aku bangun… hancur hanya dalam hitungan menit?!”
Ia menggertakkan gigi. Hanya satu orang yang bisa melakukan ini, Angkasa.
^^^^
Di rumah besar keluarga Talita, Mbak Dasri menatap layar ponselnya dengan tangan bergetar. Foto Talita tadi sempat muncul di notifikasi sebelum hilang bersama situs yang mendadak error.
Ia berlari ke kamar Tuan Hendra. Dengan mata berkaca-kaca ia berkata, “Tuan… saya lihat Nona Talita! Kasihan sekali… wajahnya memelas, sedang membersihkan toilet. Tapi beritanya hilang begitu saja.”
Tuan Hendra terdiam di ranjangnya, tubuhnya lumpuh. Namun matanya berkaca-kaca, bergetar menahan emosi. Dengan sisa tenaga ia mencoba menggerakkan jemarinya, dan berhasil. Suara lirih keluar dari mulutnya.
“…Talita…”
Mbak Dasri menempelkan telinganya. “Tuan ingin sembuh demi mencari Nona Talita, ya?”
Tuan Hendra berusaha mengangguk, air mata menetes di pelipisnya.
“Kalau begitu, saya akan temani Tuan. Kita akan berjuang sama-sama. Demi Nona Talita.”
Dalam hati, Hendra bersumpah ia harus bangkit dari stroke ini. Ia harus mencari putrinya.
makasih sudah mampir