“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19. Janji
Rumah Arman – Menjelang Magrib
Pintu depan berderit pelan. Widya masuk sambil menenteng kantong plastik minimarket. Jilbabnya sedikit tidak simetris, wajahnya capek, tapi ada sesuatu yang berbeda. Lebih adem dari biasanya.
Arman yang sudah berganti dengan kaos duduk di sofa, langsung menoleh. Mata lelahnya mendadak lebih hidup.
“Kamu baru pulang? Kenapa nggak bilang kalau mau belanja? Aku bisa nganterin.”
Widya menaruh plastik di meja. “Sekalian aja, Mas. Kalau udah sampai rumah, biasanya aku males kalau mau keluar lagi. Mager.”
Jawabannya biasa, tapi intonasinya tidak sedingin kemarin. Arman langsung menangkap bedanya.
“Oh gitu…,” Arman berdiri, mendekat, matanya menyorot plastik belanjaan. “Belanja apa aja?”
“Roti, susu, sama kopi.” Widya mulai mengeluarkan barang-barang.
Arman pura-pura serius. “Kopi buat aku, kan?”
“Ya, nggak mungkin buat aku.” Widya melirik sebentar. “Aku minum kopi malah sakit perut.”
Arman nyengir tipis. “Berarti aku masih dianggap ya?”
Widya sengaja tidak merespons, pura-pura sibuk menaruh roti ke rak. Tapi sudut bibirnya sempat naik sedikit, dan itu cukup buat Arman merasa menang.
“Aku taruh susu ke kulkas ya.” Arman mengambil botol dari tangan Widya tanpa menunggu izin.
Widya hanya mengangguk.
Di dapur, Arman sempat menatap botol itu lama. Lucu, cuma gara-gara belanjaan receh begini, hatinya bisa seserius itu.
Ketika kembali ke ruang tengah, Widya sudah duduk di sofa, membuka buku catatan. Arman ikut duduk berseberangan. Ia ingin mengajak bicara, tapi takut salah langkah. Akhirnya kalimat yang keluar malah… aneh.
“Kamu kelihatan beda hari ini.”
Widya mengangkat kepala. “Beda gimana?”
Arman mengangkat bahu, kikuk. “Nggak tau. Rumah ini terasa… nggak sebeku kemarin.”
Widya menatap Arman sebentar, lalu kembali ke catatan. “Mungkin karena aku lagi nggak capek.”
Jawaban simpel, tapi Arman tahu itu lebih dari sekadar capek. Ia menahan diri, tidak mau maksa. Suasana hening, tapi kali ini bukan hening yang bikin sesak.
Widya akhirnya menutup bukunya. “Aku ke kamar dulu, Mas.”
Arman hanya mengangguk, mengikuti dengan tatapan. Saat pintu kamar menutup, ia mengusap wajah, senyum kecil lolos begitu saja. Ada yang berubah. Aku nggak boleh sia-siain ini.
---
Makan Malam
Aroma tumisan sederhana memenuhi rumah. Widya sibuk di dapur, sementara Arman membantu menata piring.
“Mas, taruh sendok di sebelah kanan. Itu kok di kiri?” Widya menegur sambil mengaduk sayur.
“Loh, di restoran Jepang kan letaknya di kiri.”
Widya menoleh, menyipitkan mata. “Kita di Indonesia, bukan di Tokyo.”
Arman terkekeh, cepat-cepat membetulkan letak sendok. “Baik, Bu Guru.”
Mereka duduk berhadapan. Awalnya hening, hanya suara sendok beradu dengan piring. Arman mencoba mencairkan suasana.
“Di kampus tadi gimana? Banyak tugas?”
Widya mengunyah dulu, baru menjawab. “Ada presentasi minggu depan.”
Arman pura-pura meringis. “Waduh, presentasi. Itu momok semua mahasiswa. Kamu deg-degan nggak?”
Widya menahan senyum, matanya sedikit berbinar. “Ya biasa lah.”
“Tapi kalau kamu latihan, aku siap jadi dosennya. Biar nggak deg-degan.”
Widya langsung menatap, alisnya terangkat. “Serius? Takutnya malah bikin tambah gugup.”
“Kan biar terbiasa. Tenang aja, aku nggak bakal kasih nilai jelek.” Arman mencondongkan tubuh, menurunkan suara. “Eh, kecuali kalau kamu pura-pura lupa materi. Baru aku kasih E.”
Widya hanya tertawa kecil.
Arman terdiam sebentar. Senyum itu… sudah lama ia tunggu.
Setelah makan malam, membereskan meja dan mencuci piring bersama, mereka berdua memilih masuk ke dalam kamar.
Lampu kamar sudah redup. Arman sudah berbaring dengan ponsel di tangan, sementara Widya masih merapikan buku di meja belajar kecil.
“Wid,” panggil Arman pelan.
“Hm?” Widya masih membelakangi, menutup bukunya.
“Makasih ya.”
Widya langsung menoleh, wajahnya terlihat bingung. “Makasih untuk apa?”
Arman mengangkat bahu, senyum samar tersemat di bibirnya. “Untuk nggak jutek sama aku hari ini.”
Widya menahan ekspresi, pura-pura berwajah datar. “Aku nggak janji besok bakal begini juga.”
Arman langsung tertawa kecil. “Yaudah, aku ambil sehari ini aja dulu. Besok kita nego lagi.”
Setelah selesai merapikan buku, Widya naik ke ranjang dan langsung membelakangi suaminya. Keduanya sama-sama diam, lalu Widya berbisik lirih, nyaris tak terdengar.
“Mas… jangan bikin aku sakit hati, bisa nggak?”
Arman tersentak seraya memandang punggung Widya. Dadanya terasa sesak.
“Maaf, lain kali aku usahakan nggak akan buat kamu sakit hati.” ujar Arman.
“Selesaikan masalahmu dengan Priya baik-baik, Mas. Supaya Priya nggak jadi peran antagonis kalau ketemu sama aku.”
Arman segera meraih bahu Widya, untuk dihadapkan ke arahnya.
“Kamu tadi ketemu dengan Priya?” tanya Arman.
Widya diam beberapa detik, lalu pelan-pelan mengangguk. “Iya. Kebetulan ketemu di minimarket.”
Arman langsung menarik napas panjang. “Dia ngomong apa aja?” tanya Arman cemas.
Widya menatap suaminya, sorot matanya campuran lelah dan menantang. “Emang kamu beneran mau tahu dia ngomong apa aja sama aku?” tantang Widya.
Arman jadi dilema. Kalau dia jawab iya, nanti Widya mengira dirinya masih peduli.
“Aku cuma bisa bilang satu hal… apapun yang dia omongin, jangan percaya. Itu bohong semua.” ucap Arman mencari jalan aman.
Widya masih menatapnya lama, lalu menghela napas. “Mas gampang banget bilang bohong. Padahal aku yang dengar langsung. Kata-katanya jelas, nggak setengah-setengah.”
Arman mendekat, bergeser supaya lebih rapat. “Wid…” suara Arman melembut. “Aku sama Priya itu udah selesai. Aku nikah sama kamu, bukan sama dia. Aku pulang ke rumah ini buat kamu, bukan buat mikirin dia.”
Widya mengalihkan pandangan, menatap dinding. “Tapi kalau dia masih bisa ngomong kayak tadi, berarti kamu belum benar-benar nyelesaiin masalah kalian baik-baik.”
Arman terdiam, wajahnya menegang. “Aku janji… aku bakal beresin ini. Aku nggak mau kamu terus diganggu sama dia.”
Widya menarik napas panjang. “Aku capek kalau harus berperang di rumah tanggaku sendiri.”
Arman merasa tertusuk. Tangannya pelan meraih tangan Widya, kali ini tanpa paksaan, lebih seperti permintaan. “Aku janji, Wid. Aku bener-bener janji. Aku akan temui dia, dan ngomong baik-baik. Supaya dia nggak sakit hati, supaya dia nggak ganggu kamu lagi.”
Widya menoleh sekilas, membiarkan tangannya digenggam. Ia tidak menjawab, hanya menutup mata, mencoba mengatur perasaannya sendiri.
Arman hanya bisa menatap wajah istrinya yang terpejam.
“Wid, aku mau kita menjalani rumah tangga ini secara normal. Bukan karena keinginan kakek, tapi karena niat kita.” ucap Arman lirih, lalu telentang dengan menatap langit-langit kamar.
Widya yang mendengar hanya bisa diam, dan tetap memejamkan matanya.
---
Eh... kan memang😂