Kayla lahir dari pernikahan tanpa cinta, hanya karena permintaan sahabat ibunya. Sejak kecil, ia diperlakukan seperti beban oleh sang ayah yang membenci ibunya. Setelah ibunya meninggal karena sakit tanpa bantuan, Kayla diusir dan hidup sebatang kara. Meski hidupnya penuh luka, Kayla tumbuh menjadi gadis kuat, pintar, dan sopan. Berkat beasiswa, ia menjadi dokter anak. Dalam pekerjaannya, takdir mempertemukannya kembali dengan sang ayah yang kini menjadi pasien kritis. Kayla menolongnya… tanpa mengungkap siapa dirinya. Seiring waktu, ia terlibat lebih jauh dalam dunia kekuasaan setelah diminta menjadi dokter pribadi seorang pria misterius, Liam pengusaha dingin yang pernah ia selamatkan. Di tengah dunia yang baru, Kayla terus menjaga prinsip dan ketulusan, ditemani tiga sahabatnya yang setia. Namun masa lalu mulai mengintai kembali, dan cinta tumbuh dari tempat yang tak terduga…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Peluk yang Tak Pernah Layu
Hari ini Kayla sangat bahagia, karena hari yang telah di tunggunya datang juga, hari ini Kayla dan ketiga sahabatnya akan bertemu untuk melepas rindu.
Kayla sudah bersiap untuk ke terminal, sesampainya di terminal bus sore itu ramai. Langit mendung, tapi semangat Kayla terang. Ia berdiri sambil menggenggam tas ranselnya, menoleh ke kiri dan kanan dengan gelisah.
Ponselnya berbunyi.
Cika: “Di belakangmu, Dodol!”
Kayla menoleh. Tiga sosok berlari dari arah parkiran.“CIIIKAAA! RINAAA! LALAAA!”
Empat gadis itu berhamburan dalam pelukan.
“YA AMPUUUN KAYLA KAMU MAKIN KURUS!”
“EH AKU JUGA, TAU!”
“ CIKAAAAKULITMU JADI PUTIH BANGET, KAYAK JASAD KAMU SENDIRI!”
“LALA NGGAK BERUBAH. MASIH CEREWET!”
“RINA, KAMU BAU CAIRAN DISINFEKTAN NIH!”
Semua tertawa. Pelukan itu berlangsung lama. Hangat. Seperti pulang ke rumah.
Malam itu, mereka menginap di rumah sewa Lala yang kebetulan kosong. Sambil memakai daster dan duduk melingkar, mereka membuka oleh-oleh masing-masing.
“Ini brownies dari Jawa Timur!” kata Rina.
“Aku bawa susu kedelai homemade dari kampusku!” ujar Lala.
“Aku bawa buku anatomi mini buat seru-seruan!” kata Cika sambil mengangkat benda aneh.
“Bentar, itu buku anatomi?” tanya Lala. “Itu bentuknya kayak puzzle tubuh manusia!”
“Ya buat latihan seru-seruan aja…” jawab Cika
Kayla tertawa sampai air matanya keluar.“Gila. Kita beneran calon dokter ya sekarang…” Mereka langsung berpelukan.
Rina membuka topik dengan gaya serius. “Oke, kita sharing jujur ya. Sekarang udah enam bulan kuliah, menurut kalian… apa hal paling berat?”
Cika angkat tangan duluan. “Meja bedah pertama.”
Lala spontan mengangkat jempol. “Setuju.”
“Pas pertama kali aku pegang pisau bedah asli, dan daging di depanku bukan bahan plastik…” ujar Cika
“Kamu muntah?” tanya Kayla.
“Bukan. Aku… nangis. Bukan jijik. Tapi karena sadar, ini manusia. Ini bukan mainan. Tanggung jawabnya besar banget.” jawab Cika
Rina ikut bicara. “Aku juga pernah nyalahin diriku sendiri waktu salah baca data toksikologi. Tapi untungnya itu cuma simulasi.”
Kayla diam.“Aku… kehilangan pasien pertamaku.”
Semua menoleh.
Kayla melanjutkan dengan pelan, “Nenek tua. Nggak punya siapa-siapa. Tapi aku temani dia tiap hari.”
Lala memegang tangan Kayla. “Dia pasti merasa sangat disayangi.”
Kayla mengangguk. “Sejak itu aku ngerti. Jadi dokter bukan tentang menyelamatkan semua orang. Tapi memastikan mereka nggak sendirian.”
Hening. Tapi bukan hening kosong. Hening penuh makna.
Setelah sesi mellow, suasana jadi heboh lagi.
“Eh, kalian inget nggak sih waktu kita masak mi instan rame-rame di asrama terus kepergok kakak pembina?” tanya Lala
“Dan waktu Rina jatuhin telur mentah ke kasur Cika!” lanjut Kayla
“HEYYY!” seru Cika
Suasana tawa memenuhi ruangan. Kayla memeluk bantalnya erat. Matanya berkaca-kaca.
“Aku kangen kalian tiap hari…”ujar Kayla
“Kita juga, Kay…” ucap Cika.
“Meski kita udah jauh, tapi hati kita tetap serumah,” kata Lala bijak, untuk sekali ini.
Sebelum tidur, mereka menyalakan lilin kecil.
Rina berucap, “Demi lilin ini, kita janji ya…”
Cika menyambung, “Kita akan terus jalan sampai jadi dokter beneran.”
Lala menambahkan, “Kita akan tetap sahabat meski jalannya beda-beda.”
Kayla menatap mereka bertiga. “Dan kita akan selalu kembali ke pelukan ini… ketika dunia terlalu berat.”
Lilin itu padam, tapi api di hati mereka menyala lebih terang dari sebelumnya.
...----------------...
Satu tahun berlalu
Hari ini Kayla mendapatkan tugas dari kampusnya untuk untuk pergi ke sebuah desa pelosok. Mobil jeep tua itu berguncang hebat di jalanan berlumpur. Kayla duduk di kursi belakang, memeluk tas medisnya erat.
“Perjalanan ke Desa Cempaka kira-kira dua jam lagi, Mbak Kayla,” kata Pak Darto, supir dari dinas kesehatan.
“Baik, Pak.” Kayla mengangguk.
Di luar jendela, hutan membentang. Sinyal hilang. Rumah sakit hanya ada satu… itupun di kota terdekat, 3 jam dari sana.
“Kayla,” gumamnya pada diri sendiri. “Ini lebih dari sekadar belajar.”
Sore itu, Kayla sampai di Puskesmas pembantu Desa Cempaka. Bangunan kecil berdinding papan, beratap seng.
Seorang bidan menyambutnya, “Kamu mahasiswa FK ya? Aku Bu Lia. Di sini kita kerja pakai hati, bukan alat.”
Kayla tersenyum. “Saya siap belajar, Bu.”
Hari-hari pertama, Kayla membantu menangani batuk pilek, luka infeksi, hingga ibu hamil. Ia tidur di ruang belakang puskesmas, makan seadanya bersama warga.
Setiap malam ia duduk di teras, menulis jurnal magangnya.
Hari ke-4.
"Sudah 8 pasien, semua sederhana. Tapi wajah mereka penuh syukur.
Kadang… ucapan ‘terima kasih’ dari orang miskin lebih menenangkan daripada nilai ujian."
Hari ketujuh. Petaka datang.
Warga datang berlarian. “BU LIAAA! ADA YANG KERACUNAN!”
Seorang bapak tua digotong masuk, wajahnya pucat, napas berat.
“Bapak ini makan ikan sungai. Sepertinya tercemar!” seru warga dengan panik
Bu Lia segera bersiap, tapi wajahnya panik. “Kita harus bawa ke kota… tapi lihat hujan. Jalan ke kota bisa longsor. Ambulans pun belum tentu bisa tembus malam ini.”
Kayla menggigit bibir. Ia melihat kondisi pasien.
“Tekanan darah drop, nadi lemah… waktu kita tinggal sedikit.” ujar Kayla menerangkan keadaan pasien nya saat ini yang berada dalam situasi gawat darurat
Bu Lia menoleh, “Kita nggak punya peralatan detoksifikasi…” ujar Bu Lia panik
“Kalau aku… pakai metode oral adsorben. Kita bikin arang aktif dari batok kelapa!” ujar Kayla
“Kayla, itu metode lama…” seru Bu Lia
“Lebih baik mencoba daripada diam, Bu…” ujar Kayla meyakinkan
Bu Lia menatap mata Kayla. “Kamu berani ambil risiko?”
Kayla mengangguk.
“Baik. Aku bantu.” jawab Bu Lia akhirnya
Mereka menumbuk arang kelapa, mencampur dengan air steril, lalu perlahan memasukkan larutan itu lewat selang lambung. Kayla memantau detak jantung pasien dengan stetoskop kuno.
Satu jam… dua jam…
Warga duduk berdoa di luar.
Tiba-tiba si bapak menggerakkan jarinya.
“Bu Lia!” seru Kayla. “Napasnya membaik!”
Semua bersorak kecil. Bu Lia meneteskan air mata.
“Kamu… menyelamatkannya.” ujar Bu Lia penu haru dan syukur
Kayla tak berkata apa-apa. Tapi hatinya bergemuruh.
Hari ke-7.
"Aku menyelamatkan nyawa.
Bukan karena alat. Tapi karena percaya, belajar, dan… keberanian."
Malam itu, warga berkumpul mengadakan syukuran kecil di balai desa. Ibu-ibu menari, anak-anak menyanyi.
Seorang kakek datang menghampiri Kayla. “Terima kasih, Nak. Kamu bukan cuma dokter… kamu cahaya buat kami.”
Kayla menunduk haru. “Saya cuma belajar jadi manusia, Kek.”
Kayla menulis surat di buku hariannya:
"Aku ingin terus jadi dokter seperti ini. Yang bisa hadir bahkan saat tak ada apa-apa.
Karena ternyata… cinta dan keyakinan bisa jadi alat terhebat untuk menyembuhkan, kita harus memiliki keyakinan yang kuat. "
Bersambung
mantap 👍
kl orng lain,mngkn g bkln skuat kayla....
ank kcil,brthan hdp s luarn sna pdhl dia msh pnya sseorng yg nmanya ayah.....
😭😭😭
mudah dipahami
mna pas lg,jdinya ga ara th jd nyamuk....😁😁😁.....
Liam niat bgt y mau pdkt,smp kayla prgi kmna pun d ikutin....blngnya sih kbetulan.....tp ha pa2 lh,nmanya jg usaha....smngtttt....
trnyta ank yg d buang,skrng mlah jd kbnggaan orng lain....slain pntr,kayla jg tlus....skrng dia pnya kluarga yg syng dn pduli sm dia....