NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:970
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Picisan

Aruna dan Bagas berjalan berdampingan menuju meja mereka di restoran mewah. Suasana romantis dengan lampu temaram dan hiasan bunga-bunga segar, tapi raut wajah Aruna sama sekali tidak menikmati.

Semua gara-gara Pak Agam. Ayah Aruna itu sengaja menjebak keduanya.

"Bagas, kamu sudah makan malam belum? Kalau belum, ajak Aruna saja. Kasihan dia, Om ajak ke sini sebelum makan."

Bagas menghela napas. "Tapi Om—"

"Wah, ide bagus! Tapi jangan asal makan, ya. Ajak Aruna ke tempat yang romantis! Biar dia senang," sahut Pak Pratama.

Bagas terjebak.

“Aku masih nggak percaya kita di sini, cuma karena Papa dan Pak Pratama sok romantis,” gerutu Aruna sambil melipat tangannya di depan dada.

Bagas menahan tawa.

“Kita kan cuma menuruti perintah atasan. Lagipula... kamu yang minta aku jaga penampilan kita di depan orang tua.”

Aruna melirik kesal. “Beda. Aku bilang jaga wibawa, bukan ngajak makan malam kayak di drama Korea.”

Bagas menunjuk meja yang sudah disiapkan. Ada lilin kecil menyala dan bunga segar di tengahnya.

“Setidaknya mereka nggak minta kita berdansa,” katanya datar, menarik kursi untuk Aruna.

Aruna mendesah tapi tetap duduk. “Ini semua jadi absurd sejak kamu muncul sebagai guru matematika.”

“Dan kamu tetap murid paling menyebalkan di daftar hadir.” Bagas duduk di seberangnya.

Aruna tersenyum sinis. “Aku bisa pergi sekarang juga, lho.”

Bagas mencondongkan badan sedikit, matanya menatap tajam namun tenang.

“Tapi kamu nggak pergi. Kamu tetap datang. Pakai blazer mu, dan duduk di depanku sekarang.”

Aruna diam. Ia menoleh ke arah jendela, berusaha menutupi pipinya yang sedikit menghangat.

“Aku cuma... lapar,” katanya singkat.

Bagas mengangkat tangan memanggil pelayan. “Sama. Lapar akan kedamaian, tapi kayaknya belum dapet-dapet juga.”

Aruna menahan senyum. Untuk beberapa detik, dunia terasa lebih ringan.

Bagas menyodorkan menu kepada Aruna. “Kamu yang pilih. Aku pesen apa aja yang kamu pilih.”

Aruna mengangguk dan membuka buku menu yang elegan itu. Matanya menyisir daftar makanan—hingga tiba-tiba ia berhenti. Sorot matanya membesar. Tangannya menutup menu dengan cepat dan tubuhnya menegang.

“Ada apa?” tanya Bagas, mencondongkan badan sedikit.

Aruna tak menjawab. Matanya terus menatap ke arah meja VIP restoran. Wajahnya panik.

“Itu... itu Nadia!” bisiknya cepat. “Temanku. Satu kelas. Dan dia sama cowok! Ya ampun, kalau dia lihat aku di sini sama kamu...”

Bagas memutar tubuhnya sedikit, mencoba melihat ke arah yang dimaksud.

“Jangan lihat!” Aruna menunduk dan meraih tangan Bagas. “Kamu harus sembunyi.”

Bagas menatap Aruna, mencoba memastikan ia tidak salah dengar. “Sembunyi? Serius?”

Aruna mengangguk cepat, matanya masih tertuju pada Nadia yang baru saja duduk tak jauh dari mereka.

“Cepat! Sebelum dia nengok ke sini! Aku nggak mau jadi bahan gosip. Ini sekolah kita, ingat? Kamu guru, aku murid. Kalau ketahuan, bisa gawat banget.”

Bagas melirik sekeliling, lalu melihat meja makan dengan taplak panjang. Ia mengerutkan kening.

“Maksud kamu, aku harus sembunyi di bawah meja?”

Aruna menatapnya penuh harap. “Please.”

Untuk beberapa detik, Bagas hanya menatap Aruna seakan mempertanyakan kewarasannya. Tapi kemudian ia mendesah panjang.

“Baiklah,” katan Bagas menghela napas panjang, tapi akhirnya berdiri perlahan, pura-pura menjatuhkan serbet, dan—dengan keluwesan yang tidak sesuai statusnya sebagai guru matematika—berjongkok lalu bersembunyi di bawah meja.

Aruna duduk tegak, mengambil napas panjang dan merapikan rambutnya. Saat itu langkah kaki mendekat. Tapi detak jantungnya makin cepat saat Nadia mulai menoleh ke arahnya.

“Aruna?” suara Nadia menyapa, ragu-ragu.

Aruna tersenyum kaku. “Hai, Nad... Kok bisa di sini juga?”

Nadia menghampiri. “Loh, kamu sendirian?”

Aruna menahan napas sejenak. “Iya. Maksudnya... baru mau mesen.”

Nadia melirik meja Aruna. Dua menu, dua gelas air, dan dua serbet.

“Oh... kayaknya ada yang bareng kamu?”

Aruna nyaris kehabisan alasan ketika pelayan datang membawa makanan pembuka.

“Untuk Tuan dan Nona, appetizer-nya ya,” kata pelayan ramah.

“Tuan?” Nadia menaikkan alis.

“Itu... eh, aku barusan cancel. Tapi pelayannya mungkin belum sempat tahu.” Aruna tergelak gugup.

Nadia tersenyum kecil, belum sepenuhnya yakin.

“Oke deh. Aku balik dulu ya. Jangan lupa latihan besok!”

Aruna mengangguk cepat. Begitu Nadia menjauh dan duduk lagi, Aruna menunduk ke bawah meja. “Sudah aman.”

Bagas muncul perlahan dari bawah, menepuk-nepuk bajunya. “Kalau ada yang bilang jadi guru itu gampang, aku bakal ceritain ini ke mereka.”

Aruna tak tahan menahan tawa. “Maaf ya, Pak Guru.”

Bagas menatapnya dengan ekspresi setengah geli setengah kesal. “Lain kali, kita makan di Mars aja, biar aman dari murid dan teman-teman cheerleader.”

Aruna menyeringai. “Deal.”

Makanan mereka datang. Pelayan meletakkan dua piring utama di meja, disusul gelas minuman dan semangkuk kecil sup hangat. Bagas sudah duduk di kursinya kembali, merapikan letak sendok dan garpunya.

Bagas melirik ke sekeliling, lalu memandang Aruna. “Temanmu masih ada lagi?”

Aruna mendesah lega dan mulai menyentuh serbet. “Aman. Darurat selesai.”

Bagas mengangkat alis. “Darurat?”

“Ya. Tadi itu kondisi krisis. Aku harus menyelamatkan hidup sosialku dari kehancuran total,” jawab Aruna, mulai memotong makanannya.

Bagas tertawa pelan. “Kamu memang pandai bicara.”

“Karena kamu penyebab kekacauan ini,” tukas Aruna sambil menunjuk dengan garpunya. “Kalau kamu nggak menyusup ke sekolahku sebagai guru, semua akan baik-baik saja.”

Bagas hanya tersenyum. “Aku memang akan tetap mengganggu hidup kamu. Hari ini, besok, dan... di masa depan.”

Aruna memutar matanya. “Aku akan pastikan nggak ada sedikit pun ruang di hatiku untuk jatuh cinta sama kamu.”

Bagas meletakkan garpunya dan bersandar, menatap Aruna dengan sorot menantang. “Kalau kamu jatuh cinta, gimana?”

Aruna terdiam sesaat, lalu mengangkat dagunya dengan angkuh. “Nggak mungkin.”

Bagas bersandar ke depan, suaranya lebih rendah. “Tapi kalau.”

Aruna menahan napas sesaat, lalu membalas pelan, penuh tanda tanya, “Memangnya kamu suka sama aku?”

Bagas menatapnya. Tidak menjawab secepat biasanya. Sorot matanya serius, berbeda dari biasanya.

“Aku tanya serius,” kata Aruna lagi, lebih lembut tapi menekan.

Bagas mencondongkan tubuh sedikit. “Kalau aku jawab ya... kamu akan pergi dari meja ini?”

Aruna tidak menjawab. Hanya menatapnya, penuh rasa campur aduk.

Bagas tersenyum kecil, tapi ada ketulusan di baliknya. “Mungkin... aku belum tahu ini suka yang seperti apa. Tapi aku tahu, aku tidak bisa mengabaikanmu.”

Aruna memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona merah di pipinya. “Picisan.”

“Tadi kamu yang tanya.”

“Dan kamu yang bikin malam ini lebih rumit.”

Bagas tertawa pelan, lalu mengangkat gelasnya. “Untuk malam yang rumit, dan gadis yang lebih rumit lagi.”

Aruna mendesah, tapi tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia tahu—ia mulai kehilangan arah.

Setelah menyelesaikan makan malam, Aruna dan Bagas memilih menutup dengan es krim. Di tengah rasa dingin dan manis yang mengendap di lidah, Aruna diam saja, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sementara Bagas terlihat santai, sesekali mencuri pandang ke arah gadis itu.

“Aku ke kamar mandi dulu ya,” ujar Bagas sambil berdiri.

Aruna hanya mengangguk. Begitu Bagas menghilang dari pandangan, Aruna buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor papanya.

Tersambung.

"Halo, Papa?"

Suara Pak Agam terdengar hangat, seperti biasa. “Oh, Aruna. Papa lupa kasih kabar ya. Papa pulang duluan.”

Aruna mengerutkan dahi. “Lupa atau sengaja, Pa? Kok tega ninggalin aku sendirian sama dia?”

Pak Agam tertawa pelan. “Sendirian? Kamu kan sama calon suami kamu.”

“Papa...” suara Aruna mengandung protes.

“Tuh kan, makin dekat kan? Papa bantuin kamu buat kenal lebih jauh. Papa percaya kamu bisa jaga diri. Bagas juga anak baik.”

Aruna mendesah berat. “Papa licik.”

“Sampai rumah nanti kabarin ya. Hati-hati di jalan.”

Sambungan terputus. Aruna mendengus. “Sengaja, fix.”

Bagas kembali tak lama kemudian, menyeka tangannya dengan tisu. Ia menatap Aruna yang masih tampak kesal.

“Om Agam, mau jemput ke sini?” tanya Bagas, duduk kembali.

“Beliau pulang duluan. Meninggalkan anak gadisnya dengan sengaja,” jawab Aruna sinis.

Bagas menahan tawa. “Berarti aku harus nemenin kamu sampai dijemput?”

Aruna mendongak menatapnya. “Kamu harus nganterin aku. Supir Papa juga nggak ada. Mungkin ikut Papa.”

Bagas mengangguk, menyadari situasinya. “Oke. Aku antar. Tapi aku nggak janji bakal nyetir pelan.”

Aruna melipat tangan di dada. “Asal kamu nggak nyetir sambil mengatakan kata-kata picisanmu.”

Bagas tersenyum lebar. “Gombalnya gratis, layanan antar pulangnya juga.”

Aruna menoleh ke arah luar jendela restoran, menyembunyikan senyumnya sendiri.

Di dalam hati, ia tahu—meski ia belum bisa menerima semuanya sekarang, tapi perjalanan ini belum selesai.

Dan mungkin, bagian yang paling mengejutkan… ia tak sepenuhnya keberatan.

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!