NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:538
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 11

Revan menempelkan kedua tangannya dengan gemetar. Dia terlalu takut memikirkan segala kemungkinan. Di dalam ruangan yang sedang ditatapnya itu ada keluarga yang sangat disayanginya.

Raka menghembuskan nafasnya melihat Revan yang masih saja gelisah. Tidak ada yang bisa Raka lakukan selain mengelus punggung sahabatnya. Beberapa menit, dokter dan perawat keluar dari ruangan tersebut.

"Revan." Dr. Ryan memanggil Revan.

Revan yang duduk segera berdiri. Matanya penuh dengan sirat kekhawatiran. "Gimana dok? Devan gapapa kan?"

"Devan itu anak yang bener-bener kuat ya. Kamu tahu Rev, dia gapapa kok,lukanya juga cuma luka kecil, sekarang malah udah sadar kok." Jelas dr. Ryan tersenyum.

Revan langsung merosot duduk kembali, semua kekhawatirannya sudah keluar. "Makasih Ya Allah, Devano."

"Lo liat kan, udah gue bilang Devan itu kuat kok." Hibur Raka.

Dr. Ryan mengangguk. "Betul kata Raka, tapi tetep Devan jangan terlalu maksain diri. Sekarang kamu bisa masuk ke dalem Rev, dari tadi Devan nanyain kamu terus."

"Iya dok, makasih banyak." Balas Revan ramah.

Raka bicara setelah dr. Ryan pamit. "Gih masuk, pastiin sendiri adek lo baik-baik aja."

"Lo gak masuk Ka?" Tanya Revan.

Raka menggeleng. "Gue mau cari makan dulu, laper soalnya."

"Otak lo makanan semua, ketularan Kian ya?" Canda Revan.

Raka hanya tersenyum. "Asal jangan ketularan lo aja, serem."

"Gue baru berusaha sabar loh Ka." Revan tersenyum penuh arti.

Raka bergidik. "Tuh, masuk Rev sana Devan tar mewek nyariin lo lagi."

Setelah itu Raka segera mendorong Revan masuk ke dalam kamar rawat Devan kemudian langsung pergi dengan cepat. Sebenarnya Raka juga khawatir dan ingin memastikan keadaan Devan baik-baik saja namun saat ini Raka tahu bahwa Revan dan Devan memang sedang perlu bicara.

Devan memandang orang yang begitu mirip dengannya masuk ke dalam kamar rawatnya. Wajah Revan tanpa ekspresi, sulit untuk mengartikan. Dia tahu bahwa saat ini Revan sedang memendam amarahnya sendiri.

Revan sudah berada di dekat sang adik yang duduk bersandar di tempat tidur. Tangannya mengarah ke kepala Devan dan mengusak surai lembut sang adik. Kali ini Devan tidak melawan, lalu sebuah pelukan hangat Devan rasakan setelahnya.

"Maafin gue Dev, gue gabisa jagain lo dan malah ngebiarin lo kayak gini."

'DEG' Kalimat lirih itu terdengar semua di gendang telinga Devan. Lagi-lagi kenapa harus Revan yang meminta maaf? Seharusnya dia yang meminta maaf karena dirinya Revan malah akan terkena masalah lagi. Devan benci setiap kali harus melihat raut penyesalan dan kesedihan di wajah Revan, yang dia inginkan hanyalah Revan yang tersenyum.

"Napa sih lo? Risih ah denger lo kayak minta maaf ke cewek." Devan sengaja mengatakannya.

Revan mengernyit. "Dev, gue lagi ngekhawatirin lo, respect dikit napa?"

"Idih... Pengen di respect-in, perhitungan lo ah. Ini juga lepas, pengap woy." Devan mendorong pelukan Revan padanya.

Revan mendudukkan dirinya dengan sedikit emosi. "Gaboleh napa meluk adek sendiri?"

"Udah gede gini mah peluk cewek sana, gue mulu yang dipeluk tar orang nyangka apaan lagi, ngeri gue." Devan bergidik memikirkannya.

Revan menghembuskan nafasnya. "Iyalah iya lo menang. Sekarang gimana Dev, lo gapapa kan? Gaada yang sakit?"

Devan mengangguk. "Gak, gue baik-baik aja kok."

"Syukur deh, tapi lo harus tetep istirahat dulu yah sampe lo pulih." Revan tersenyum dengan hangat.

Devan berucap pelan. "Revano..."

"Hm? Apa Dev? Tumben lo manggil gue Revano?" Tanya Revan sedikit aneh.

Devan menundukkan kepalanya. "Lo gak marah sama gue?"

Revan bergeming, ekspresinya sedikit berubah menjadi tajam. "Jujur gue marah banget sama lo. Bisa-bisanya lo ngebahayain nyawa lo sendiri, emang nyawa lo itu kayak kucing apa? Tapi amarah gue langsung lenyap semua asal gue tahu bahwa lo baik-baik aja. Kalau sampe lo kenapa-kenapa gue bukan marah besar ke lo Dev tapi gue bakal marah besar ke diri gue sendiri. Tapi makasih ternyata lo sampe kayak gini karena gue, makasih udah nunjukkin rasa sayang lo ke gue Dev."

"A...apaan sih lo.. Wajar kan seorang adek sayang sama kakaknya, emang selama ini gue ga sayang ma lo apa?" Jawab Devan dengan rasa malu luar biasa.

Revan berpikir. "Sayang sih dengan cara mukulin gue mulu."

"Itu karena lonya absurd!" Jawab Devan lantang.

Revan tertawa. "Iya, iya jangan ngambek dong dedek..."

Devan langsung mengeluarkan aura hitam. "Panggil gitu gue lempar lo keluar jendela Rev."

"Oke. Gak. Dev. Gak. Sekarang istirahat ya udah malem." Revan segera mengkoreksi kata-katanya.

Devan tersenyum lucu. "Nah gituh dong, good night Kim Jong Un."

"Kim Jong...?" Revan bertanya.

Devan menjawab jahil. "Udah anggep aja itu panggilan sayang dari adek lo ini."

"Gue gak sekejam dia tapi Dev." Ucap Revan tidak terima.

Devan menjawab. "Yakin? Coba tanyain langsung ke Raka sama Kian."

"Oke."

Sementara itu Raka yang sedang memesan makanan tiba-tiba merasa hidungnya gatal dan bersin. Perasaannya mengatakan bahwa akan terjadi suatu bencana alam terjadi malam ini. Ibu pedagang yang melihat Raka bersin segera memberikan teh hangat padanya.

Menunggu beberapa menit, akhirnya makanan yang dipesan Raka siap. Dia memesan 2 porsi, 1 porsi untuknya dan 1 porsi lagi untuk Revan. Dia tahu sahabat sedingin esnya itu belum memakan apapun sejak sepulang rapat tadi.

Di ruang tunggu Raka bisa melihat Revan yang sedang duduk. Namun baru beberapa langkah entah mengapa Raka merasa ingin berputar balik dan tidak menemui Revan. Firasatnya bilang bahwa bencana alam itu akan dimulai dari Revan.

Baru saja Raka akan memutar balik, sebuah tangan menepuk bahunya dari belakang. "Demi tukang roti isinya kodok! Bikin kaget gue aja lo Rev!"

"Roti isi kodok? Kesukaan lo makin aneh Ka. Ngomong-ngomong mau kemana lo? Kok muter balik abis liat gue?" Tanya Revan dengan senyum sangat ramah.

Raka menjawab gugup. "Firasat gue bilang diluar bakal ada cewek yang mau dirampok, jadi gue harus kesana buat nyelametin dia."

"Ini udah mau jam 12 mana ada begituan, jujur aja lo ngehindarin gue kan?" Tanya Revan dengan senyum kembali.

Raka menelan ludahnya. "Iya, kalau lo udah senyum gini gue udah tau niat terselubung lo Rev."

Revan menepuk dan mengacak-ngacak surai Raka. "Tau aja lo kalau gue bakal nanyain sesuatu. Persahabatan kita emang gak sia-sia sih."

"M...mau nanyain apa emang?" Raka menelan ludahnya.

Revan bertanya dengan penuh senyuman kembali. "Menurut lo gue sama Kim Jong Un kejaman siapa?"

"Lo Rev." Jawab Raka spontan.

Revan tersenyum. "Oh gitu."

"Anjir, gak Rev lo tuh kayak malaikat tau *dalemhatiRaka (malaikat maut tapi)."

"Biasanya jawaban yang duluan lebih jujur." Revan memasang pose berpikir.

Raka mencoba bernegosiasi. "Nih.... Daripada lo marah-marah karena hal yang gajelas gue bawain lo nasi goreng, dari tadi gue tau lo belum makan."

"Oh, thanks. Gue ngampunin lo nih sekarang Ka, tapi dengan syarat beliin gue airpod paling baru ya yang gue udah rusak." Rupanya Revan masih sedikit berbelas kasih.

Raka hanya bisa pasrah. "Gini amat punya temen."

"Atau mau sparring aja?" Revan menawarkan hukuman lain.

Raka langsung menggeleng. Kalau begitu dia bisa mati muda. "Gak, gue mending ngeluarin materi aja Rev."

"Oh iya Ka, makasih lo udah ngingetin gue tadi. Kalau sampe lo gak ngeberhentiin gue, gue gatau sekarang gue bakal sekacau apa." Revan berbicara serius kali ini.

Raka tersenyum. "Sebagai sahabat yang baik, saat sahabat lo ngelakuin hal salah udah seharusnya untuk ditegur dan diingetin."

"Bisa aja lo Ka." Jawab Revan kikuk.

Raka kemudian mengungkapkan perasaannya. "Tapi gue seneng, sekarang lo perlahan-lahan udah mulai terbuka Rev, udah ada beberapa kemajuan dari diri lo untuk berubah. Lo gak sedingin gunung everest lagi sekarang."

"Itu semua karena Devan, Ka. Dia bilang gue harus mulai ngebuka diri gue, gue harus belajar dari sekarang." Balas Revan.

Raka tersenyum. "Hebat banget ya cuma Devan yang bisa bikin seorang Revan sampe segininya."

Di sisi lain sebenarnya ada sesuatu hal yang Raka mengerti dari percakapannya ini. Entah mengapa Raka merasa Devan memiliki niat lain kepada Revan atau lebih tepatnya Devan ingin membuat Revan belajar saat dirinya tidak berada di sisinya lagi.

.

.

.

.

.

Ini sudah 2 minggu berlalu dan Devan juga sudah berada di rumah. Keadaannya baik-baik saja dan bisa pulih cepat, oleh karenanya dr. Ryan memutuskan Devan bisa pulang dari rumah sakit 2 hari yang lalu.

Revan membuka matanya yang masih tertutup, pemuda itu mengucek matanya sejenak karena masih merasakan kantuk. Setelah mengumpulkan nyawanya, Revan berdiri dan mulai keluar kamar. Ketika dia turun, dia melihat bahwa sudah ada banyak makanan. Karena penasaran, dia memanggil Devan namun tidak ada satupun jawaban dari adik kembarnya tersebut.

Revan mendudukkan dirinya, meraih ponsel dan mulai melakukan panggilan keluar untuk Devan. Beberapa detik, panggilannya diangkat juga oleh sang adik.

"Lo dimana sih Dev? Gue nyari-nyari lo gaada?" Terdengar jelas nada khawatir dari Revan.

"Gue berangkat sama Ardli sekarang Rev." Jawab Devan dari di telepon

Revan mengernyit. "Kok lo gak bilang dari kemarin? Gue khawatir tau, lagian emangnya lo udah boleh sekolah lagi...."

"Rev, udah berhenti, lo ngomel-ngomel panjang kayak gini di telepon bikin telinga gue panas tau gak." 

"Si Revan makin kayak ibu-ibu haha."

Devan yang tidak mau Revan semakin bicara panjang lebar, segera memotong ceramahan sang kakak. Revan hanya bisa menghembuskan nafasnya pasrah.

"Oke. Gue diem, kalau sampai si Ardli gabisa jagain lo liat aja pembalasan gue setelah denger kalimat dia yang bilang gue macem ibu-ibu." Ada seringaian yang terukir di wajah Revan.

Devan tertawa mendengarnya. Sementara Ardli menelan ludahnya kasar. "Kasian anak orang Rev. Sekarang lo mending siap-siap daripada telat. Sarapan udah gue siapin ya. Dah."

Devan langsung menutup teleponnya. Revan melirik pada jam dinding, lebih baik dia sarapan dan bersiap-siap. Revan tersenyum setelah menyantap sarapannya, masakan adik kembarnya memang sangat mirip seperti sang Mama. Tetapi senyuman Revan memudar dan melengkungkan sebuah ekspresi kesal yang luar biasa.

Bagaimana dia tidak kesal, ketika akan menyimpan piring bekas makan dia melihat keadaan dapur yang amat berantakan dan itu ulah sang adik. Meski Revan sangat menyayangi Devan, dia rasanya tetap ingin menjitak sang adik dengan penuh kasih.

Sementara itu Devan dan Ardli yang sudah berada di sekolah tertawa membicarakan bagaimana ekspresi Revan saat ini. Baru saja dibicarakan, Revan langsung menelepon kembali.

"Napa Rev? Jangan ganggu gue lagi kerja kelompok?" Devan tersenyum jahil.

"Devano Davian Putra! Kenapa lo acak-acak dapur? Ngerti yang rapi kayak gimana ga sih?!" Dari sini Devan tahu bahwa Revan sangat kesal.

Devan menahan tawanya dengan Ardli. "Alah Rev, kan lo sayang sama gue masa gitu aja ngambek."

"Bukan masalah sayangnya, ini masalah..."

Tut..... Tut..... Tut.....

Ekspresi Revan makin mengeras saat teleponnya diputus sepihak.

Kembali ke keadaan Revan, pemuda sedingin es itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dengan berat hati dia membereskan semua kekacauan yang terjadi.

Revan mengira bahwa kesialannya hanya sampai disitu, tetapi ternyata tidak. Ban motor kesayangannya mendadak bocor di tengah perjalanan sementara jam masuk kelas sudah akan dimulai.

To: Rakamvret

'Heh'

To: Hitler (R)

'Apa Rev? Tumben nge-wa duluan.'

To: Rakamvret

'Motor gue mogok. Mau nebeng.'

To: Hitler (R)

'Gue udah di sekolah Rev.'

To: Rakamvret

'Ya balik lagi.'

To: Hitler (R)

'Gakan keburu lah, naik goj*k aja Rev, pasti keburu, gue yang bayarin.'

To: Rakamvret

...........

To: Hitler (R)

'Sama-sama.'

Daripada terlambat, Revan memutuskan untuk mengikuti saran Raka. Kakinya tidak bisa diam menunggu kedatangan ojek online. Beberapa menit kendaraan yang akan ditumpanginya datang.

Beberapa sentimeter lagi pintu gerbang mulai tertutup, tetapi Revan masih sempat memasuki sekolah. Namun perasaan lega langsung sirna ketika sang ojek memanggilnya.

"Dek, ongkosnya belum bayar loh." Teriak sang ojek.

Menahan rasa malu dan kesal, Revan segera menghampirinya. "Ini Pak, 15 ribu kan?"

"Oke. Makasih ya."

Hasilnya adalah Revan tetap saja datang terlambat. Tidak peduli seberprestasi dan seteladan apa dirinya Bu Sheila tetap memberikannya hukuman untuk memunguti sampah di sekitar sekolah.

Revan yang memunguti sampah malah menjadi pusat perhatian oleh para siswi meskipun mereka masih berada di dalam kelas.

/Kak Revan, sini biar aku aja yang mungutin sampahnya/

/Revan, kalau sampah aja lo pungut, gue rela jadi sampah/

/Revan wajah lo gak cocok buat mungutin sampah, cocoknya masangin cincin di jari manis gua/

/Revano oh Revano, mau dong gue jadi trashbag-nya biar bisa lo pegang/

Merasa ada beberapa guru yang mulai keluar dari ruangan guru, Revan segera menenangkan teriakan-teriakan para siswi tersebut.

"Sssst. Jangan berisik."

Para siswi langsung diam seketika dan meleleh melihat Revan yang menempelkan jari telunjuk di bibirnya dengan ekspresi yang jarang dilihat. Ekspresi merancang beribu cara untuk balas dendam yang makin cepat untuk Raka.

Sementara itu di dalam kelas 12 IPA kelas Revan, Kian dan Raka hanya menanggapi datar semua ini, mereka sudah biasa.

"Cewek-cewek disini makin gila." Kian menggelengkan kepalanya.

Raka tertawa. "Yang gila tuh si Revan, udah banyak yang suka tetep gamau milih salah satu."

"Iyasih. Tapi ini pertama kalinya dia telat loh. Revano telat, dunia gonjang-ganjing ga nih?" Canda Kian.

Raka menanggapinya. "Kayaknya Bandung bakal kena badai petir hahaha."

"Tapi Ka, kenapa perasaan gue tiba-tiba gak enak ya?" Kian merasakan aura mencekam di sekitarnya.

Raka mengangguk. "Gue juga sama, kayak ada sesuatu di deket gue."

"Ini perasaan gue, atau gue ngerasa ada 'Lucifer' lagi mantengin gue?" Kian semakin ketakutan.

Raka juga merasakan gugup yang sama. "Udah gue bilang kan jangan kebanyakan baca webtun genre iblis lo mah ah."

'PLAK' 'PLAK'

Geplakan sayang mendarat di masing-masing kepala Kian dan Raka.

"Ngetawain apaan lo berdua? Dan siapa Lucifer?" Revan sudah berada di belakang Kian dan Raka.

Kedua sahabatnya menelan ludahnya kasar.

"Sakit Rev. Lembut napa." Kian mengaduh.

Revan membalas datar. "Lucifer gak punya rasa lembut."

"Kok lo bisa telat Rev?" Tanya Raka sangat polos.

Revan menyeringai. "Makasih, berkat lo."

Raka merinding mendengarnya. "Gausah makasih Rev, hehehehehe."

Revan hanya membalas dengan senyum sangat lembut dan duduk di bangkunya.

Raka semakin merinding melihatnya. Dia melirik Kian yang nampak berdoa. "Ngapain lo?"

"Gue berdoa supaya lo bisa selamet di dunia dan akhirat." Jawab Kian dengan ekspresi pura-pura bersedih.

Raka membalas ejekan Kian. "Emang lo bakal selamet? Lo juga ikut isengin Revan, ngempesin ban motornya."

"Itu kan disuruh lo sama Devan supaya jadi bagian dari surprise." Balas Kian.

Revan yang mendengar samar-samar merasa terganggu konsentrasinya. "Berisik lagi, gue lakban."

"Oke."

Kedua makhluk berjuluk sahabat Revan langsung bungkam seketika.

Sekarang sudah memasuki jam istirahat, trio kelas 12 IPA seperti biasa berkumpul di kantin untuk memesan makanan. Semua mata para siswa dan siswi yang ada disana tentu saja tertuju pada mereka bertiga, lebih utamanya adalah Revan.

Devan dan Ardli yang baru saja datang, menghampiri Revan, Raka dan Kian. Mereka kini duduk bersama.

"Asem bener Rev muka lo." Celetuk Devan.

Revan mengadu pada Devan. "Giamana gak asem, dapur berantakan, ban motor bocor, gue ditipu sama si Rakamvret, akhirnya telat."

Raka yang sedang meminum jusnya terbatuk. "Uhuk... Nipu apaan Rev?"

"Lupa ingatan lo? Atau mau gua bikin beneran?" Tanya Revan dengan ekspresi kelam.

Devan menengahi. "Si Raka emang lupa kali Rev, gausah kayak gituh makin takut anak orang."

"Yaudah kalau lo yang minta." Balas Revan.

"Lo pake magic apa sih Dev? Kok bisa nih bocah Revan yang agung nurut banget sama lo." Kian bertanya.

Ardli yang menjawabnya. "Pake ketok magic mungkin."

"Mana ada magic kalian mah, emang udah gini aja. Gue juga bakal sama kayak Revan kok, kalau dia yang minta gue bakal turutin." Jelas Devan.

Revan bersiap untuk memeluk Devan. "Uwuuu adek gue.."

Devan segera menghindarinya. "Nempel, gue bogem wajah berlian lo."

"Kelakuannya sama aja sih emang." Celetuk Raka.

Ardli mengganti topik pembicaraan. "Nanti pulangnya lo gausah khawatir Rev, ikut gue aja sama Devan. Lo juga gausah bayar ongkos kok."

"Akhirnya Ardli taubat dari kepelitan." Kian berdrama.

Ardli mencibir. "Cuma ke kalian doang."

Tetapi Revan berakhir tanpa pulang bersama dengan siapapun. Ardli hanya mengiriminya pesan bahwa dia lupa untuk mengajaknya juga pulang bersama. Raka dan Kian, kedua makhluk hidup itu entah kemana perginya.

Karena tidak ingin kesbarannya semakin menipis menunggu goj*k, Revan memutuskan menaiki kendaraan umum.

Revan mengernyit ketika melihat keadaan rumah yang begitu gelap. Dia mencoba mengingat, mungkinkah dirinya belum membayar tagihan listrik? Tapi dia sudah membayarnya kok. Pemadaman sementara? Kalau iya kenapa hanya rumahnya saja yang padam?

Karena penasaran Revan bergegas untuk memasuki rumah. Saat Revan membuka pintu ada begitu banyak cahaya dan suara terompet kejutan yang memekakan telinganya. Saat ingin mulai mengumpat karena marah Revan berhenti.

"Happy Birthday, Revano Ardian Pratama tentu sama Devano Davian Putra."

Revan melihat semua orang berkumpul. Ada Kian, Raka, Ardli, Tante Andrea serta teman-teman sekelasnya dan Devan yang memegangi kue lengkap dengan lilinnya. Matanya terasa sangat berembun, perasaannya benar-benar tersentuh. Air matanya menetes dan membuat semua yang ada disana terperangah.

Devan yang mulai khawatir mulai menghampiri. "Rev? Kok nangis? Lo gak suka? Maafin kalau gue sama yang lainnya isengnya udah keterlaluan."

"Nggak Dev. Gue seneng dan bahagia banget. Makasih banyak kalian semua, gue sendiri malah lupa kalau sekarang ulang tahun kita." Revan segera mengklarifikasi.

Andrea juga menghampiri kedua keponakannya. "Nah sebelum lilinnya makin leleh, ayo cepet tiup."

"Oke Tan." Jawab Devan dan Revan berbarengan.

Semua orang menikmati pesta ulamg tahun Revan dan Devan yang sederhana ini. Revan sendiri dia tengah memakan kue ulang tahunnya, meskipun dia tidak terlalu suka makanan manis. Tiba-tiba saja Andrea menghampirinya.

"Ini, hadiah dari Tante, semoga kamu suka." Andrea memberikan selembar kertas yang berisi sesuatu.

Mata Revan melebar. "Beasiswa penuh pendidikan kedokteran? Tan..... Ini.."

"Tante udah denger semuanya dari Devan. Kamu tahu Devan gamau kuliah juga kalau kamu gak ada, jadi kamu gabisa nolak hadiah tante ini, tolong." Pinta Andrea yang tahu Revan akan menolaknya.

Revan tetap menundukkan kepalanya, rasanya dia masih tidak bisa. "Tapi tan.."

"Ini permintaan Devan, apa kamu mau tetep nolak?" Tanya Andrea sedu.

Revan akhirnya memutuskan. "Makasih Tante, Revan terima."

Andrea tersenyum medengarnya.

Raka juga menghampiri. "Ini dari gua airpod plus Ipodnya, hadiah plus uang 15 ribu gantiin ongkos goj*k."

"Ini buat lo jam tangan plus bracelet buat persahabatan kita bertiga." Ucap Kian malu-malu.

Ardli juga datang menghampiri. "Ini dari gue, sepatu basket. Gue tahu lo suka banget basket kan."

"Nah yang ini dari gue, parfume kesayangan lo plus alat-alat skincare-an lo. Gue tahu lo kan orangnya bersih banget Rev." Devan juga mulai ikut bergabung.

Tidak ada reaksi apapun dari orang yang diberi, membuat yang lainnya cukup cemas.

Hingga saat Revan tertawa kali ini, tawa yang benar-benar lepas dan sangat tulus. Semua yang ada disana tidak percaya bahwa Revan bisa sangat seekspresif ini.

"Kalian ini gimana sih. Ini namanya bukan kado lagi kalau kalian ngasih tau apa aja isinya, lucu banget sih haha."

Mereka kemudian tertawa bersama.

Hari yang sudah semakin malam, satu persatu teman-teman Revan dan Devan beranjak undur diri. Kini hanya menyisakan anak kembar tersebut.

Revan merasa canggung, dia satu-satunya orang yang belum memberikan hadiah apapun untuk Devan karena dia lupa dan bahkan tidak menyiapkannya.

"Dev, lo mau apa? Bilang aja gue pasti turutin." Revan langsung pada inti.

Devan berpikir. "Gue? Hmm nggak ah Rev."

"Tapi gue belum ngasih lo hadiah apa-apa, sementara lo udah nyiapin ini dan bahkan hadiah buat gue." Revan menunduk sedih.

Devan membalas. "Siapa bilang?"

"Gue lah. Gue gak ngasih lo apa-apa. Gue kakak yang buruk ya?" Jawab Revan sendu.

"Lo tahu gak Rev, hampir setiap hari lo ngasih hadiah sama gue? Lo ngasih kasih sayang lo ke gue sebesar kasih sayangnya Mama sama Papa, lo ngasih perhatian dan rasa khawatir lo ke gue, lo bahkan ngasih masa remaja SMA lo buat gue dengan kerja, lo ngasih semangat gue untuk terus bertahan, lo ngasih semua yang bahkan gue gak punya. Hadiah lo itu gakan pernah bisa gua bayar dengan apapun. Jadi lo jangan pernah mikir bahwa lo Kakak yang buruk buat gue, karena bagi gue lo adalah kakak terbaik yang gue punya. Makasih banyak Kak Revan." Devan mengacak lembut surai Revan karena kepalanya yang masih menunduk.

Revan tidak menolak diperlakukan seperti adik, dia mengangkat kepalanya dan kemudian tersenyum. "Sama-sama Devano."

.

.

.

.

.

Waktu berlalu begitu cepat bagaikan tiupan angin. Masa-masa menegangkan untuk anak kelas 12 SMAN 399 Bandung, yaitu Ujian Nasional sudah terlewati. Juga masa diumumkannya kelulusan, dan tentu saja yang meraih peringkat pertama satu angkatan adalah Revan, disusul oleh Raka sebagai peringkat kedua.

Kini adalah masa pelepasan untuk para anak kelas 12 atau bisa dikenal sebagai acara kelulusan. Tentu para orang tua juga hadir di acara kelulusan kali ini, ada undangan untuk para orang tua atau wali.

Revan sebagai ketua pelaksana jalannya acara kelulusan memberikan sambuatannya yang sangat baik. Setelah sambutan acara kelulusan dipenuhi dengan acara-acara yang sudah disusun pada rapat-rapat sebelumnya.

Revan yang sedang mengobrol dengan Devan melambaikan tangannya ketika melihat kedatangan Andrea, tante mereka. Beberapa siswa asyik mengobrol dengan orang tua maupun walinya.

Kecuali satu orang, Raka mengepalkan tangannya erat. Dia sangat emosi, mungkin lebih tepatnya kecewa. Padahal orang itu sudah berjanji untuk datang.

Tidak ingin berburuk sangka, Raka mencoba menghubunginya. Tetapi pada kenyataannya hingga 20 kali panggilan keluarnya, tidak ada satu pun yang diangkat oleh orang itu. Kekecewaannya mungkin menghilang  ketika mendengar teleponnya berdering, namun pada kenyataannya  itu bukan panggilan dari orang yang dia inginkan.

"Raka, gimana sayang acaranya lancar? Maaf Mama sama Papa gabisa dateng ya, urusan kantornya emang belum beres." Ibunya yang menelepon.

Raka tersenyum, dia tidak sedih dan sangat memaklumi pekerjaan kedua orang tuanya. "Lancar kok Ma. Raka peringkat 2 sih, emang susah buat ngalahin Revan."

"Disana ada Arjun kan? Dia pasti bangga banget sama kamu." Hibur Mamanya.

Raka terdiam.

"Kenapa kamu diem nak? Apa Arjun gak datang? Anak itu ya, gabisa gasibuk apa sehari." Curiga Mamanya.

Raka menggeleng dan cepat memberikan pernyataan palsu. "Ah, Bang Arjun ada kok. Nih dia lagi asyik ngobrol sama cewek-cewek disini, biasa Ma idola sekolah tetep aja idola sekolah."

"Ah syukur deh kalau gitu, Mama tutup ya teleponnya." Lega sang Mama.

Raka mengangguk. "Oke, Ma. Bye."

Tanpa Raka sadari disana ada Kian dan Revan yang sudah lama memperhatikan dan mendengarkan obrolan Raka dengan Mamanya di telepon.

"Oh, kalian. Udah lama?" Tanya Raka apa adanya.

Revan balik bertanya. "Lo gapapa Ka?"

"Gue baik-baik aja kok. Gih sana, tar keluarga kalian nyariin loh." Ucap Raka berpura-pura baik-baik saja.

Kian mengepalkan tangannya. "Lo gak usah bohong Ka. Kita tahu lo lagi gak baik-baik aja!"

Revan menghela nafasnya. "Bang Arjun gak dateng kan? Biar gua susul dia."

"Gak usah Rev." Raka menahan lengan  Revan.

Kian kali ini menyetujui Revan. "Kali ini Abang lo itu keterlaluan, gue setuju sama Revan. Gue juga bakal nyusul dia."

"Gue bilang gausah!" Nada Raka meninggi.

Revan memandang Kian, mengisyaratkannya untuk menuruti permintaan Raka. "Kalau emang gitu Ka, kita gabisa maksa."

"Kadang gue ngerasa Devan beruntung punya lo sebagai Kakaknya, Rev." Raut wajah Raka sangat tersirat kesedihan.

Revan mencoba menghibur. "Bang Arjun juga sayang sama lo kok Ka."

Raka tersenyum sendu. "Itu dulu. Sekarang aja gue bingung sebenernya dia itu nganggep keberadaan gue atau nggak."

"Udah lupain aja Bang Arjun lo yang kamvret, sini mending lo gabung sama kita daripada sedih-sedihan mulu kayak gini." Kian mencari cara untuk mencairkan suasana.

Revan kali ini ikut memberikan ide. "Gimana kalau kita isengin Ardli?"

"Bukan ide yang buruk sih." Jawab Raka.

Ardli yang sedang mengobrol dengan Devan merasakan peringatan. "Kok perasaan gue gak enak Dev?"

"Alah perasaan lo aja kali." Jawab Devan seadanya.

Sementara itu Arjuna yang baru selesai  bekerja membantu dokter pembimbingnya menangani pasien yang gawat segera mengganti pakaiannya dengan pakaian rapi dan formil. Dia melirik pada ponselnya, wajahnya terkejut saat ponselnya menampilkan puluhan kali panggilan tidak terjawab, juga beberapa pesan masuk.

'Bang, lo kesini kan?'

'Bang, lo dimana sih?'

'Bang, kok telepon gue gak diangkat?'

'Arjuna, makasih ya kamu udah nyempetin buat ngewakilin Mama sama Papa di acara perpisahannya Raka, dia peringkat 2 seangkatan loh. Katanya emang susah ngalahin Revan, gapapa ajarin Raka terus ya nak.'

'Bang, lo gak usah dateng. Acara udah mau selesai.'

Membaca pesan sang Mama dan pesan Raka yang terakhir entah mengapa membuat perasaannya sakit dan sesak. Arjuna merasa sangat kecewa dengan dirinya sendiri pahal dia sudah berjanji.

Saat Arjuna sudah tiba, benar saja panggung sudah mulai dibereskan oleh para panitia.

Dia bertanya pada salah satu panitia. "Anak-anak kelas 12 udah pulang semua?"

"Oh udah Kak. Acara juga udah selesai 20 menit yang lalu." Jawab sang panitia.

Arjuna mengangguk. "Oh gitu, makasih ya."

"Sama-sama Kak."

Arjuna memutuskan kembali pulang setelah membeli beberapa hadiah terlebih dahulu. Dia rasa mugkin Raka juga sudah ada di rumah.

Arjuna memencet bel rumah, seperti dugaannya Raka memang sudah tiba di rumah dan membukakan pintu untuknya. 

"Raka, selamet ya atas kelulusannya. Ini gua bawain banyak hadiah buat lo, gue denger lo juga peringkat 2 kan seangkatan?" Sapa Arjuna dengan ramah.

Raka menunduk, amarah dan rasa kesalnya memang belum sepenuhnya hilang. Dia menghempaskan tangan Arjuna. "Gak usah Bang. Lebih baik lo buang aja semua hadiah lo, karena gue gakan pernah mau nerimanya."

"Ka. Raka. Maafin gue please, ada pas.." Ucapan Arjuna terpotong oleh Raka.

Raka langsung memotong permintaan maaf Arjuna. "Bullshit Bang! Pasien gawat? Disana kan banyak dokter , lo juga cuman magang, gue maklumi kalau lo emang gak pernah punya waktu buat gue. Gue udah berkali-kali bohong sama Mama kalau lo selalu ada buat gue. Tapi gue cuma minta sekali, sekali aja kali ini, cuma hari ini lo bisa dateng dan lo udah bikin janji. Lo tuh pernah nganggap gue ada sih gak Bang?!"

"Raka..... Iya pasti.. Lo adek gua Ka..." Tenggorokkan Arjuna tercekat, dia melihat Raka menangis begitu banyak.

Raka memandang sendu dan lurus ke arah Arjuna. "Bohong. Gue kecewa sama lo Bang, gue kecewa."

Malam itu untuk pertama kalinya Raka merasakan kekecewaan yang besar.

.

.

.

.

.

To Be Continue.........

Makasih buat kalian yang udah setia sama cerita ini dan ngemasukin cerita Revan dan Devan ke Reading List kalian. Makasih buat yang selalu vote dan komen dan juga buat kalian yang udah mau nyempetin baca ya. Ketemu lagi di chapter berikutnya. Jangan lupa vomment.

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!