NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:199
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 11

Di depan pintu kamar Aksa, Zia berdiri sambil mengetuk pelan. Namun karena tak ada sahutan, dia memutuskan untuk membuka pintunya sedikit demi sedikit. Begitu daun pintu terbuka, pemandangan kamar yang berantakan langsung menyapa matanya—baju berserakan, meja belajar penuh camilan semalam, dan di atas ranjang, Aksa masih tertidur pulas meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi.

“Sa, bangun...” ucap Zia pelan sambil menggoyang pelan bahu cowok itu.

Tak ada reaksi. Hanya dengkuran ringan dan gerakan kepala yang menyamping, seolah menghindar dari gangguan.

“Nih anak kebo banget sih...” batin Zia sambil menghela napas panjang. Ia pun berjalan ke arah jendela dan membuka gorden lebar-lebar agar cahaya pagi masuk dan langsung menyambar wajah Aksa yang terlelap.

“Enguhh... Oma, lima menit lagi...” gumam Aksa tanpa membuka matanya.

Zia menggeleng pelan, kemudian menatap wajah Aksa yang masih tertutup selimut. Ia tersenyum nakal. Dengan nada sedikit panik, ia berseru keras,

“AAAAAA!! Ada kecoa di rambut kamu, Aksa!!”

“HAH? MANA?!” Aksa sontak bangun dan langsung menepuk-nepuk rambutnya, wajahnya panik, mencari serangga yang menjijikkan menurutnya.

Zia terkikik geli. “Hahaha! Akhirnya kamu bangun juga!”

Aksa mendelik ke arah Zia dengan mata setengah terbuka. “Lo apaan sih?! Ganggu banget, tahu nggak!”

“Lah, siapa suruh tidur kebo banget. Ini udah jam setengah tujuh lho, sekolah!”

Aksa menggerutu, mengucek matanya, lalu menoleh sekilas ke arah Zia. Pandangannya terhenti, menyipit, lalu menatap lebih fokus ke arah gadis itu.

“Bentar… bentar…” gumamnya sambil mendekatkan wajah.

“Apa? Aku cantik ya?” sahut Zia percaya diri, lalu mengibaskan rambutnya pelan-pelan seperti model iklan sampo.

“Pede banget. Yang jelek tetap jelek!” ejek Aksa ketus.

Ia menunjuk seragam yang dipakai Zia. “Kok lo pake seragam kaya gue?”

Zia tersenyum cerah. “Mulai hari ini aku pindah ke sekolah kamu!”

“APA?!” suara Aksa menggema sampai ke lorong, kaget bukan main.

“Apaan sih? teriak-teriak gitu. Suara kamu tuh, mirip toa masjid tau gak?” sindir Zia sambil menahan tawa.

“Apa lo bilang barusan?” Aksa memandang Zia tajam.

“Udah deh, sana mandi. Aku mau siapin seragam kamu,” ujar Zia sambil memutar badan dan hendak keluar kamar.

“Awas lo!” gerutu Aksa sambil mendorong Zia ke arah pintu.

Zia sedikit terdorong, tapi tidak melawan. Ia hanya menarik napas panjang dan berbalik sebentar menatap Aksa. “kasar banget sih,” bisiknya pelan dalam hati, lalu melangkah keluar.

____

Pagi itu, Zia sudah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk Oma Ririn, Azka, dan Aksa. Aroma harum nasi goreng mulai memenuhi udara, dengan telur ceplok yang baru saja matang disusun rapi di atas piring.

Tak lama, langkah kaki perlahan terdengar mendekat. Oma Ririn muncul dan duduk di kursi makan.

“Kamu masak apa?” tanya Oma Ririn dengan suara lembut.

“Zia masak nasi goreng sama telor ceplok, Oma,” jawab Zia sambil tersenyum kecil, tangannya masih sibuk di dapur.

Oma Ririn mengangguk. “Kamu siap masuk sekolah baru hari ini?”

Zia menoleh sebentar, lalu menghela napas ringan. “Siap nggak siap, Zia harus siap, Oma.”

“Bagus,” ucap Oma Ririn singkat, tapi penuh arti.

Beberapa menit kemudian, Azka dan Aksa turun dari lantai atas. Wajah Aksa cemberut seperti habis makan jeruk nipis.

“Kenapa muka kamu?” tanya Oma Ririn begitu melihat ekspresi Aksa.

“Oma… masa sih dia dipindahin ke sekolah yang sama kayak Aksa?”

keluh Aksa dengan nada protes, menunjuk Zia dengan dagunya.

Oma Ririn melipat tangan di dada. “Ya, Oma yang pindahin. Kalau kamu macem-macem di sekolah, Zia bisa langsung laporan ke Oma.”

“Apa sih, Oma...” gerutu Aksa sambil mulai menyodokkan nasi goreng ke mulutnya dengan kasar. “Aksa juga nggak pernah macem-macem kok di sekolah...”

“Sudahlah, Aksa. Oma pindahkan Zia karena sekolah lamanya terlalu jauh dari mansion.” jelas Oma Ririn, tenang tapi tegas.

Azka tetap diam. Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya tertuju ke piringnya, menyendok nasi tanpa peduli pada percakapan yang berlangsung.

Zia juga tak berkata apa-apa. Ia hanya makan dalam diam. Wajahnya tenang, tapi dalam hati, ia tahu... hari ini akan jadi hari panjang.

...★★...

Aksa berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekati Oma Ririn dan mencium pipinya sekilas.

“Aksa berangkat dulu, Oma,” ucapnya singkat.

Namun belum sempat melangkah jauh, suara Oma Ririn menghentikannya.

“Eh, tunggu dulu!” serunya. “Kamu berangkat bareng Zia.”

Aksa spontan menoleh dengan wajah kesal. “Nggak mau. Aksa nggak suka satu mobil sama cewek miskin,” katanya tanpa ragu, nadanya penuh jijik.

Zia yang mendengar itu hanya terdiam. Matanya menunduk, tapi sorotnya dingin.

“Aksa!” tegur Oma Ririn tajam. “Jangan bicara seenaknya begitu!”

Tapi Aksa mengangkat bahu acuh. “Sudahlah, Oma. Kali ini Aksa nolak,” ucapnya datar, lalu pergi begitu saja ke arah garasi untuk mengambil mobil.

Oma Ririn menghela napas panjang dan menoleh pada Azka yang masih duduk.

“Ka... kamu bisa anterin Zia, kan?” tanya Oma penuh harap.

Azka menoleh sebentar, lalu menjawab datar, “Nggak bisa. Arah kantor sama sekolah beda.” Ia bangkit dari kursi, lalu meninggalkan ruang makan tanpa menunggu tanggapan.

“Huft...” Oma Ririn menghembuskan napas berat.

Zia hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa tak enaknya. “Nggak apa-apa, Oma. Zia naik angkutan umum aja.”

“Kalau kamu mau, pakai aja sopir Oma,” tawar Oma Ririn lembut.

“Nggak perlu, Oma,” ucap Zia pelan, tapi tegas. “Zia bukan siapa-siapa di rumah ini.”

“Tapi, Zia—”

“Zia berangkat dulu ya, Oma.” Zia menyodorkan tangannya untuk menyalami Oma Ririn, lalu beranjak pergi.

Oma Ririn sempat bangkit dari kursinya, panik. “Lho, emang kamu tahu sekolahnya di mana?!”

Zia menoleh sebentar dari pintu dan tersenyum. “Udah dikasih tahu kok sama pembantu yang lain, Oma tenang aja!” serunya sambil melambai, lalu menghilang dari pandangan.

____

Sementara itu, di kediaman Bi Lina dan Paman Ardi…

Aroma ayam goreng dan sambal pedas memenuhi ruangan kecil itu. Di atas meja kusam, dua piring nasi mengepul. Paman Ardi menyendok makanannya dengan lahap, sementara Bi Lina duduk bersedekap, wajahnya masam.

“Si beban itu udah kasih uang belum?” tanya Paman Ardi sambil menyuap ayam goreng ke mulutnya.

“Belum lah. Dia baru kerja dua hari,” jawab Bi Lina ketus, melirik Paman Ardi dengan kesal.

Paman Ardi mendengus. “Gimana kalau Juragan Tono datang nagih? Waktunya sebentar lagi.”

Bi Lina mencibir. “Tenang aja. Kalau perlu, akan ku paksa dia untuk cepet-cepet setor. Kalau belum dapet juga… ya udah, nikahin aja sama Juragan Tono.”

Paman Ardi tertawa pendek. “Kamu benar! Hahaha.”

Bi Lina menyodorkan tangannya. “Mas, minta uang dong. Buat belanja.”

Paman Ardi menyandarkan tubuhnya malas. “Kamu pikir saya punya kerjaan tetap, hah?”

Bi Lina mendelik. “Aku tahu kamu, Kemarin baru gajian dari bos kamu!”

Paman Ardi mengangkat alis santai. “iya tapi udah kepake buat judi.”

“Judi... judi... itu aja yang ada di otak kamu!” seru Bi Lina, berdiri dengan suara kursi berderit.

Paman Ardi cuma mengangkat bahu. “Sudahlah. Nanti kalo saya dapet duit lagi, saya kasih.”

“Ckk!” Bi Lina mendecak keras, matanya menyala kesal.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!