Ritual yang dilakukan untuk menjadi penari yang sukses justru membuat hidup Ratri terancam, bagaimana nasib Ratri selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amukan Nyi Rengganis
Malam itu langit Desa P tampak menggigil. Awan gelap menggumpal rendah seolah hendak jatuh menimpa bumi. Angin menghembus dengan aroma yang aneh—seperti bau dupa yang dibakar di atas darah kering. Ratri berdiri di depan rumahnya, memandangi langit dengan dada yang sesak. Tubuhnya seperti diselimuti kabut dingin. Tapi bukan kabut biasa. Ini… hawa marah. Hawa dendam.
Di dalam rumah, Sugondo meracik sesuatu. Sesajen. Dengan tangan gemetar, ia menabur bunga tujuh rupa, meneteskan minyak cendana, dan meletakkan sepotong kain merah ke dalam bokor kuningan. Wajahnya pucat, keringat dingin bercucuran. Aminah hanya bisa duduk di sudut ruang dengan wajah penuh kecemasan, tangannya memeluk tasbih, bibirnya terus melafal doa.
Tiba-tiba... PRAAAKK!
Kaca jendela depan rumah pecah sendiri. Tak ada yang melempar, tak ada angin. Tapi pecahannya berhamburan ke dalam, mengenai kaki Ratri. Darah mengalir, namun Ratri tak bereaksi. Ia seperti kerasukan diam. Matanya menerawang, seperti sedang mendengarkan bisikan yang tak didengar orang lain.
“Ratriii... kamu milikku...”
Suara itu sayup-sayup muncul di antara desir angin. Lembut, namun menusuk.
Langkah kaki Ratri tiba-tiba bergerak sendiri. Ia memasuki rumah, melewati Sugondo yang sedang menaburkan garam di ambang pintu. Tapi langkah Ratri seperti tak terganggu. Ia menuju kamarnya, lalu duduk di depan cermin yang sudah retak sejak malam sebelumnya.
Dari pantulan cermin yang kini retak-retak, Ratri melihat bayangan penari itu lagi. Tapi kali ini... wajahnya sudah berubah.
Kini wajahnya adalah wajah Ratri sendiri. Tapi dengan mata kosong. Senyum lebar. Dan darah mengalir dari pelipis.
Tiba-tiba, cermin itu meledak!
BRUUUKK!
Ratri terpental ke belakang. Sugondo dan Aminah berlari ke kamar, mendapati Ratri kejang-kejang di lantai, tubuhnya dingin, dan dari mulutnya keluar darah hitam pekat.
Sugondo panik. “Cepat panggil Ustadz Subhan!”
---
Sementara itu, di langgar kecil pinggir desa, Ustadz Subhan sedang mempersiapkan alat ruqyah. Sejak menerima kotak warisan dari Ratri, ia tahu ini bukan gangguan biasa. Ini bukan jin kelas rendah. Ini adalah entitas kuat—penunggu yang telah diberi kekuasaan selama puluhan tahun.
Saat Sugondo tiba dengan nafas tersengal, Ustadz Subhan hanya menatapnya lama.
“Sudah waktunya, Pak Gondo. Saya akan ikut pulang malam ini. Tapi semua harus siap. Jika kita mulai... maka semuanya tidak akan bisa kembali seperti semula.”
---
Di rumah, suasana sudah mencekam.
Ratri kini tergeletak di kamar dengan tubuh diikat kain putih agar tak mencelakai dirinya sendiri. Wajahnya tak lagi seperti dirinya. Kulitnya pucat, matanya merah. Setiap beberapa menit, ia tertawa cekikikan seperti anak kecil.
“Dia... milikku... kalian tak bisa mengambilnya dariku...”
Saat Ustadz Subhan masuk dan menaburkan air ruqyah di sekeliling kamar, tubuh Ratri menggeliat keras.
“Pergi kalian semua!! Ini tubuhku!! Kalian sudah janji!!”
Suara itu bukan suara Ratri. Terlalu berat, terlalu tua... dan penuh kemarahan.
“Nyai Rengganis...” ucap Ustadz Subhan lirih, lalu membuka lembaran ayat-ayat suci dan mulai melantunkannya.
Begitu bacaan dimulai, seisi rumah mendadak gemetar. Dinding bergoyang, atap berderak, dan lampu berkedip-kedip. Suara tangisan dan jeritan tiba-tiba terdengar dari sudut-sudut rumah. Seolah ada puluhan suara dari dunia lain yang berkumpul.
Ratri menjerit keras. Suaranya bergema. Dari tangannya mulai keluar bekas luka berbentuk lambang aneh, seolah sesuatu membakar dari dalam tubuhnya.
Aminah menangis keras. Sugondo menahan tubuhnya agar tak mendekat.
“Bertahan, Rat! Kamu harus kuat!” teriak Ustadz Subhan.
Tapi dari mulut Ratri terdengar suara melengking panjang, dan suara itu berubah menjadi suara wanita tua.
“Kalian mengingkari janji!! Aku diberi tubuh ini! Aku dijanjikan hidup melalui darahnya!!”
“Tidak ada janji pada syirik! Semuanya harus kembali pada Allah!” seru Ustadz Subhan dengan lantang.
Tiba-tiba tubuh Ratri melayang beberapa senti dari tempat tidur. Hawa di dalam kamar berubah beku. Angin berputar. Dan dari balik tubuh Ratri, perlahan-lahan muncul sosok—seorang wanita berpakaian penari lengkap, rambut tergerai, matanya merah menyala.