Setelah terpeleset di kamar mandi, Han Sia, gadis modern abad 25, terbangun di tubuh Permaisuri Han Sunyi tokoh tragis dari novel yang dulu ia ejek sebagai “permaisuri paling bodoh”.
Kini terjebak di dunia kerajaan kuno, Han Sia harus berpura-pura sebagai permaisuri yang baru sadar dari koma, sambil mencari cara untuk bertahan hidup di istana penuh intrik dan penghianatan. Namun alih-alih pasrah pada nasib, ia justru bertekad mengubah sejarah. Dengan kecerdasan modern dan lidah tajamnya, Han Sia siap membalikkan kisah lama dari permaisuri lemah menjadi wanita paling berkuasa dan akan membuat mereka semua menyesal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Hari-hari berikutnya, informasi terus mereka kumpulkan.
Zhi Dao menemukan catatan rahasia tentang pengeluaran istana — ada ratusan koin emas dikeluarkan untuk “obat kecantikan” Selir Wei Ning yang ternyata berisi bahan racun ringan.
Sementara Yuyu berhasil menyusup ke taman belakang dan menemukan bekas pakaian berdarah milik pelayan yang “menghilang” sebulan lalu.
Setiap bukti dikumpulkan Han Sunyi dengan teliti, disimpan dalam kotak kayu kecil yang dikunci dengan segel rahasia.
Ia menulis semuanya dalam catatan berbahasa kuno, agar tak mudah dimengerti siapa pun selain dirinya.
Namun di balik keberhasilan itu, satu hal terus mengganggu pikirannya: bagaimana ia bisa keluar dari istana ini jika waktunya tiba?
Suatu pagi, Han Sunyi duduk sendirian di ruang dalam. Cahaya matahari pagi menembus jendela, mengenai wajahnya yang pucat namun tegar. Ia menatap cermin perunggu lama, lalu menghela napas panjang.
“Bagaimana aku bisa keluar dari istana ini jika tidak punya uang…” gumamnya pelan.
Ia mengusap dagunya, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang penuh buku dan kotak rahasia.
“Segala rencana hebat tidak akan berguna kalau aku tidak punya sepotong perak pun.” Ia mendesah, menatap langit-langit. “Ah, andai saja aku punya sedikit—”
Belum sempat selesai, tato di lengannya tiba-tiba bersinar terang.
“Eh?” Han Sunyi menatapnya kaget.
Dari cahaya itu, perlahan-lahan muncul suara lembut seperti gema di dalam pikirannya:
‘Pemilik tanda warisan, kau memanggil kekayaanmu?’
Han Sunyi melotot. “Apa… apa-apaan ini? Aku cuma bercanda!”
Namun cahaya itu makin terang, dan di depan meja, udara bergetar seolah pintu tak terlihat terbuka.
Lalu tumpukan emas, perak, batu giok, dan permata muncul dari kehampaan, berkilau di bawah cahaya pagi.
Matanya membesar. “A-aku hanya minta sedikit… bukan sebanyak ini!”
Emas terus mengalir, hingga menutupi meja dan sebagian lantai.
Tiga dayangnya yang baru masuk hampir menjerit.
“Yang Mulia!!!” teriak Yuyi, “dari mana semua ini datang?!”
Han Sunyi menutup mulut mereka cepat-cepat. “Diam! Mau seluruh istana dengar?!”
Ia menatap cahaya di lengannya, yang kini perlahan meredup, meninggalkan tulisan samar:
“Kau adalah pewaris gudang langit. Kekayaanmu tak terbatas. Gunakan dengan hati yang bijak.”
Han Sunyi menatap tumpukan harta itu lama, lalu tertawa kecil.
“Ternyata… takdir benar-benar memberiku kesempatan kedua.”
Yuyu menatapnya dengan mata membulat. “Yang Mulia, apakah ini… semacam kekuatan ilahi?”
Han Sunyi tersenyum lugu, pipinya sedikit bersemu. “Entahlah. Tapi kurasa aku baru saja menjadi orang terkaya di benua ini.”
Ia berdiri, meraih sebatang emas, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi dengan gaya konyol.
“Lihatlah! Sekarang kalau ada yang berani meremehkan permaisuri ‘tak berguna’ ini, akan kutimpuk pakai emas!”
Ketiga dayang itu spontan tertawa kecil untuk pertama kalinya dalam sebulan, tawa tulus terdengar di paviliun itu.
Namun Han Sunyi cepat menurunkan suaranya, menatap emas itu dengan serius. “Jangan salah paham. Kekayaan ini bukan untuk berfoya-foya. Ini… kunci kebebasan kita.”
“Bagaimana maksud Anda?” tanya Nuan.
Han Sunyi menatap mereka satu per satu. “Kita akan gunakan emas ini untuk membeli identitas baru, menyuap penjaga, dan membangun jaringan di luar istana. Jika saatnya tiba, aku akan keluar tanpa ada yang tahu.”
Ia menatap jendela, angin pagi berhembus lembut menyibak rambutnya. “Tapi sebelum itu… aku harus menumbangkan Wei Ning. Aku tidak akan pergi meninggalkan kerajaan ini dalam tangan iblis bermuka cantik.”
Ketiganya menunduk hormat, mata mereka berkilat semangat.
Zhi Dao yang masuk belakangan berhenti di ambang pintu, menatap pemandangan emas yang bersinar di lantai.
“Yang mulia… apakah ini… milik surga?” tanyanya dengan napas tercekat.
Han Sunyi tersenyum. “Bisa dibilang begitu. Tapi mulai hari ini, kau akan menyebutnya dana operasi rahasia.”
Malamnya, mereka kembali beraksi.
Dengan sebagian emas, Han Sunyi menyuap penjaga lama di gudang istana agar membiarkan mereka lewat ke ruang penyimpanan dokumen kuno.
Di sana, mereka menemukan daftar nama pejabat yang telah disuap oleh Selir Wei Ning selama dua tahun terakhir.
“Lihat ini,” bisik Han Sunyi, menunjuk catatan dengan tinta merah. “Semua orang yang dulu setia pada raja… sekarang jadi anjing Wei Ning.”
Yuyi menatapnya ngeri. “Jadi istana ini sepenuhnya di bawah kendali selir itu?”
Han Sunyi mengangguk pelan. “Untuk sementara, ya. Tapi tidak lama lagi.”
Zhi Dao menatap permaisuri itu dari sisi ruangan. Ia tahu wanita yang berdiri di depannya bukan lagi korban intrik istana.
Ia adalah badai yang sedang menunggu waktu untuk menghancurkan segalanya.
Beberapa hari kemudian, Han Sunyi mulai menulis surat rahasia dengan nama samaran.
Ia mengirim pesan pada tabib-tabib tua yang pernah diusir dari istana, memanggil mereka kembali dengan imbalan besar untuk mengungkap “kebenaran medis” tentang Raja Hui Song.
Di waktu yang sama, ia juga mengirim beberapa koin emas ke para pengawal di gerbang selatan uang yang cukup untuk membuat mereka berpaling jika saatnya tiba.
Namun ia tahu, langkahnya masih panjang.
Semua ini baru permulaan.
Malam itu, saat semua sudah tidur, Han Sunyi berdiri di balkon, memandangi bulan purnama.
Di tangannya tergenggam batu giok kecil yang bersinar lembut simbol warisan misterius yang kini menjadi sumber kekayaannya.
Ia berbicara pelan pada dirinya sendiri, seolah berbicara pada langit.
“Raja Hui Song… Wei Ning… kalian pikir aku sudah mati dalam tidur panjangku. Tapi sebenarnya aku hanya menunggu waktu. Dan saat itu tiba, seluruh istana akan tahu siapa yang benar-benar berkuasa.”
Angin malam berembus, membuat tirai berayun lembut.
Cahaya bulan jatuh di wajahnya yang tenang namun menyimpan badai di balik senyum kecilnya.
Han Sunyi menutup mata, mendengar gema lembut dari tato di lengannya.
‘Gunakan kekuatanmu untuk menegakkan kebenaran, bukan balas dendam.’
Ia tersenyum samar. “Kebenaran kadang memang butuh sedikit balas dendam, bukan begitu?”
Di kejauhan, lonceng penjaga berbunyi tiga kali — tanda tengah malam.
Han Sunyi melangkah masuk, menatap para pengikutnya yang tertidur di lantai dengan selimut tipis.
“Tidurlah,” bisiknya pelan. “Besok malam, kita mulai langkah kedua.”
Malam berikutnya, lima bayangan kembali bergerak.
Namun kali ini, mereka tidak hanya mengumpulkan bukti mereka mulai menanam jebakan.
Zhi Dao memalsukan surat perintah dari Raja Hui Song untuk membuat pejabat korup saling mencurigai.
Yuyi dan Yuyu menyebarkan kabar bahwa Selir Agung mulai kehilangan kepercayaan raja.
Sementara Nuan diam-diam menaruh ramuan penenang di kamar pengintai istana, agar mereka tertidur saat rombongan Han Sunyi lewat.
Semuanya berjalan sempurna tanpa satu pun yang tahu bahwa di balik paviliun yang terlihat terbengkalai, seorang permaisuri telah bangkit dari “tidurnya.”
Dan di ruang paling dalam, Han Sunyi menatap peta kerajaan yang terbentang di atas meja, bibirnya melengkung kecil.
“Langkah pertama selesai,” gumamnya.
“Langkah kedua membuat mereka sendiri saling menghancurkan.”
Ia menatap kembali tato di lengannya, yang berkilau lembut seolah menyetujui rencananya.
“Dan setelah itu… aku akan keluar dari istana ini. Bukan sebagai tawanan, tapi sebagai wanita yang menulis takdirnya sendiri.”
Cahaya lilin menari di matanya, memantulkan semangat yang tak lagi bisa padam.
Bersambung