Beni Candra Winata terpaksa menikah dengan seorang gadis, bernama Viola Karin. Mereka dijodohkan sejak lama, padahal keduanya saling bermusuhan sejak SMP.
Bagaimana kisah mereka?
Mari kita simak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Broken Home
Di dalam ruang kerjanya, Viola berjalan mondar-mandir mencari cara agar bisa menenangkan suaminya yang saat ini ribut dengan satpam. Ia sudah salah mengambil langkah, seharusnya menemui Beni lebih dulu dan bicara baik-baik.
Beni yang keras kepala, tidak bisa ditegur dengan kata-kata kasar. Harus secara halus untuk membuatnya luluh. Viola akhirnya memutuskan menemui suaminya, ia meminta maaf dengan alasan salah mengira orang yang datang.
"Kamu pikir siapa yang datang kalau bukan aku? Bukannya resepsionis sudah mengatakan, apa mereka tidak mengenalku?" tanya Beni, mulai tersulut emosinya.
"Maafkan aku, Sayang. Mereka sudah memberitahu, tapi aku saja yang sibuk," balas Viola, beralasan.
"Pecat saja mereka kalau tidak bisa mengenaliku!" marah Beni menatap ke arah lain.
"Ayo kita bicara di dalam saja, sambil duduk mungkin lebih enak," ajak Viola tersenyum lembut.
Melihat wajah istrinya yang nampak serius, Beni akhirnya luluh juga. Ia mengikuti Viola berjalan menuju ruang kerjanya.
Jantung Viola berdegup kencang, merasakan ketakutan yang tidak semestinya. Untung saja tadi sempat menyembunyikan berkas di tempat aman, Beni tidak mungkin melihat atau mengetahui.
"Aku tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi!" tegas Beni, mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Papa Winata.
Parahnya Beni meminta izin ke Papa Winata, untuk memecat satpam yang tadi mengusirnya. Beruntung saja nomor Papa Winata tidak bisa dihubungi, sehingga Viola bisa bernapas lega.
Perlahan Viola mendekati suaminya yang duduk di sofa, ia menyenderkan kepalanya di bahu Beni. Tak lupa kata-kata rayuan dikeluarkan, agar Beni melupakan masalah tadi.
"Sayang, aku lapar sekali. Mau kan kamu temani aku ke restoran seafood terdekat," ucap Viola, dengan nada manjanya.
"Ayo aku antarkan," kata Beni.
Viola mengedipkan sebelah matanya, ketika lewat di depan Tina. Ia memberikan kode kalau berhasil membujuk Beni, agar tidak marah lagi. Untung saja Beni mau menuruti kemauannya dan tidak menolak sama sekali.
"Ben, aku mau jalan kaki," pinta Viola, sengaja mengulur waktu.
"Kamu yakin kuat jalan jauh? Beni ragu istrinya bisa jalan kaki sejauh dua kilometer.
Viola menganggukkan kepalanya, sambil menggandeng tangan Beni. Mereka berdua berjalan pelan, sambil bercerita panjang lebar tetang masa lalu mereka.
Berbeda dari biasanya, Beni sangat perhatian kali ini. Ia sering bertanya apakah istrinya kelelahan atau tidak, padahal baru berjalan sebentar.
Keringat bercucuran di wajah Viola dan Beni, mereka berdua rela terkena terik matahari yang begitu panas seperti di atas kepala. Walaupun terasa lelah, keduanya menahan dan saling berpura-pura kuat.
"Bisa lecet kakiku, kalau tidak istirahat dulu," batin Viola, menatap Beni sambil tersenyum.
Raut wajah Viola tidak bisa membohongi Beni, ia langsung menyodorkan punggungnya agar istrinya naik ke atas. Namun, Viola menolak ia membuktikan kalau tidak merasa lelah.
Tak lama kemudian, mereka berdua sampai di sebuah restoran seafood yang cukup terkenal. Viola langsung memesan olahan kepiting yang diinginkan, sedangkan Beni memilih nasi goreng seafood.
Selera makan Viola dan Beni memang terkadang berbeda, tetapi mereka saling mengerti dan menghargai. Baru juga duduk di bangku paling ujung, tiba-tiba Lidia datang menghampiri mereka.
"Ben, selera makanku mendadak hilang. Lihatlah!" Viola menunjuk ke arah Lidia yang berjalan menuju ke arah meja mereka.
"Biarkan saja, Sayang." Beni hanya melirik sebentar.
Lidia marah-marah dengan Beni, karena saat kakinya sakit tidak dijenguk. Apalagi tatapan sengitnya ke Viola, seakan memangsanya hidup-hidup.
Ketika Lidia berteriak-teriak, Viola menutup kedua telinganya. Suara Lidia sangat berisik, menganggu kenyamanan orang yang sedang makan.
"Beni, antarkan aku pulang sekarang juga," ucap Lidia, mendudukkan diri di sebelah Viola.
"Kamu tidak lihat aku sama siapa? Aku lagi apa?" tanya Beni menatap penuh kekesalan.
Lama-lama Viola tidak tahan, melihat suaminya diganggu oleh wanita lain. Ia langsung meminta satpam, agar mengusir Lidia.
"Keterlaluan lo! Dasar istri tidak berguna!" maki Lidia, marah karena didatangi seorang satpam.
Viola tersenyum tipis, ia sengaja memilih diam agar orang-orang yang sedang makan tidak ikut mengusirnya juga.
"Sayang, aku bangga kamu berani dengan Lidia," kata Beni, memuji istrinya.
"Biasa saja, Sayang. Bahkan mengusir mu saja aku tega melakukan." Viola tersenyum malu.
Beni mengacak-acak rambut Viola, lalu mengecup mesra kening istrinya. Ia merasa sangat bahagia, bisa membuat dua orang wanita memperebutkannya.
Menyingkirkan Lidia bukan hal yang mudah, sudah lama Beni berusaha menghindari. Akan tetapi, Lidia mempunyai seribu cara untuk menarik perhatian Beni.
Tak lama kemudian, makanan pesanan Viola dan Beni sudah datang. Mereka makan dengan begitu lahap, seperti orang yang sedang kelaparan.
"Sayang, cobain ini sangat enak," ujar Viola, menyodorkan potongan kepiting ke arah Beni.
"Aku tidak suka kepiting, Sayang." Beni takut dengan kepiting besar.
Viola tidak menyerah begitu saja, ia memaksa suaminya agar tetap makan. Bahkan berani berkata sedikit membentak, semua dilakukan demi menghilangkan rasa takut. Berkat usah istrinya, dengan memaksa akhirnya Beni mau membuka mulutnya.
Memakan makanan yang asing di lidah, terkadang membuat Beni alergi. Seperti waktu dirinya alergi cabe, ujung-ujungnya merepotkan dokter.
Di sela-sela makan, Beni meminta Viola agar memberikannya keturunan. Demi kelancaran warisan turun, Beni aku akan terus mendesak Viola agar segera mendapatkan keturunan.
"Bukannya kamu tidak pernah menyentuhmu, Ben? Apa perlu aku hamil dengan orang lain?" Viola menghentikan makanya, meletakkan sendok dan garpu.
"Apa!" Beni terkejut mendengar penurunan istrinya.
Jangankan tidur dengan laki-laki lain, mengobrol saja Beni sudah sangat tidak suka. Bisa-bisa rumah orang tua Viola dihancurkan begitu saja, karena hatinya terluka.
Beni melanjutkan makannya, sambil memikirkan cara agar Viola mau memberikan keturunan. Dengan begitu pernikahan mereka bisa diputuskan, bisa lanjut atau cerai.
Seandainya ada seorang anak, pasti mereka berdua tidak akan bercerai. Rumah tangga bisa awet, dengan adanya seorang buah hati.
"Ben, kita jangan bahas anak dulu. Aku belum siap mempunyai keturunan," ungkap Viola dengan jujur.
"Apa alasanmu? Aku punya banyak uang, untuk mencukupi kebutuhanmu pasti cukup," ujar Beni. Memang saat ini dirinya menyandang sebagai orang terkaya di kota ini, tetapi Viola sama sekali tidak menyadarinya.
"Bukan masalah uang, Ben. Pernikahan kita mau dibawa kemana? Seandainya kita bercerai, anak kita yang nantinya menjadi korban. Aku tidak mau melahirkan anak broken home," jelas Viola, lebih memikirkan masa depan anaknya.
Beni tersenyum tipis, alasan Viola sangat bijak dan tidak hanya mementingkan urusan pribadi. Ia semakin bangga, mempunyai istri secantik Viola.
Tak terasa makanan mereka sudah habis, Beni meminta Dika untuk menjemputnya. Ia tidak mau balik ke kantor berjalan kaki seperti tadi.
"Ben, wanita itu lagi!" Viola melihat Lidia berada di dekat pintu keluar.
musuh jadi cinta😍😍😍🥳🥳🥳🥳