Gavin Adhitama (28 tahun) adalah menantu yang paling tidak berguna dan paling sering dihina di Kota Jakarta. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Karina Surya (27 tahun), Gavin hidup di bawah bayang-bayang hinaan keluarga mertuanya, dipanggil 'pecundang', 'sampah masyarakat', dan 'parasit' yang hanya bisa membersihkan rumah dan mencuci mobil.
Gavin menanggung semua celaan itu dengan sabar. Ia hanya memakai ponsel butut, pakaian lusuh, dan tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun. Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa Gavin yang terlihat kusam adalah Pewaris Tunggal dari Phoenix Group, sebuah konglomerat global bernilai triliunan rupiah.
Penyamarannya adalah wasiat kakeknya: ia harus hidup miskin dan menderita selama tiga tahun untuk menguji ketulusan dan kesabaran Karina, istrinya—satu-satunya orang yang (meski kecewa) masih menunjukkan sedikit kepedulian.
Tepat saat waktu penyamarannya habis, Keluarga Surya, yang terjerat utang besar dan berada di ambang kebangkrutan, menggan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rikistory33, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda-Tanda Kehidupan
Jakarta, Phoenix Tower - Satu Bulan Setelah Kepulangan dari Maldives
Realitas Jakarta tidak pernah memberikan waktu istirahat yang panjang. Tiga puluh hari setelah Gavin dan Karina kembali dari surga tersembunyi mereka, ritme kehidupan kembali berputar dengan kecepatan penuh.
Gavin Adhitama, kini tanpa penyangga lengan dan kembali dalam kondisi fisik puncak, sedang memimpin rapat strategi untuk ekspansi Phoenix Energy ke pasar Timur Tengah. Di seberang meja konferensi marmer, delegasi dari Dubai mendengarkan dengan saksama saat Gavin memaparkan visi energi terbarukan Kota Pilar.
Sementara itu, Karina Adhitama duduk di sampingnya, mencatat poin-poin penting. Namun, ada yang berbeda hari ini. Wajahnya tampak sedikit lebih pucat dari biasanya, meskipun riasan wajahnya sempurna. Di hadapannya, secangkir kopi hitam single-origin, minuman favoritnya yang biasanya ia habiskan dalam sepuluh menit masih utuh, dingin, dan tidak tersentuh.
Aroma kopi itu, yang biasanya membangkitkan semangat, hari ini terasa menusuk, memicu gelombang mual yang harus ia tekan sekuat tenaga.
"Nyonya Karina," sapa Sheikh Abdullah, ketua delegasi Dubai, tersenyum ramah. "Anda terlihat kurang bersemangat hari ini. Apakah iklim bisnis Jakarta terlalu panas?"
Karina tersenyum profesional, menyembunyikan rasa pusing yang tiba-tiba menyerang saat ia berdiri untuk bersalaman. "Sama sekali tidak, Yang Mulia. Saya hanya sedang... menyesuaikan diri dengan ritme baru pasca-liburan. Silakan dilanjutkan."
Gavin menoleh sekilas, matanya menangkap getaran halus di tangan Karina. Tatapan protektifnya langsung menyala. Dia memberi isyarat kecil pada Beny.
"Kita rehat sepuluh menit," umum Gavin tiba-tiba, memotong presentasi direktur teknisnya.
Para delegasi tampak bingung, tetapi tidak ada yang berani membantah Raja Asia.
Begitu ruangan kosong sebagian, Gavin mendekati Karina. "Kamu sakit?" tanyanya pelan, menyentuh dahi istrinya dengan punggung tangan. "Suhu tubuhmu normal, tapi wajah kamu pucat."
"Aku baik-baik saja, Gavin. Mungkin hanya salah makan saat sarapan," elak Karina, menjauhkan cangkir kopi itu.
"Baunya... kopi ini baunya seperti bensin hari ini. Bisakah Beny menggantinya dengan teh jahe?"
Gavin menatap cangkir kopi itu, lalu menatap Karina. Ingatannya kembali ke percakapan di dermaga Maldives sebulan lalu. Firasat.
"Beny," panggil Gavin. "Batalkan sisa jadwal Nyonya Karina sore ini. Antar dia pulang."
"Gavin, Aku harus memimpin rapat YIA jam 3 sore!" protes Karina.
"YIA bisa menunggu. Kesehatan kamu tidak bisa," tegas Gavin. "Pulanglah. Istirahat. Aku akan menyusul segera setelah kontrak Dubai ini ditandatangani."
Penthouse Adhitama - 16.00 WIB
Karina tidak langsung pulang untuk tidur. Firasat itu semakin kuat. Siklus bulanannya terlambat dua minggu. Kelelahan yang tidak wajar. Dan sekarang, keengganan terhadap kopi.
Dia meminta sopir untuk berhenti di sebuah apotek besar di kawasan Menteng, jauh dari wilayah yang biasa dikunjungi staf Phoenix. Mengenakan kacamata hitam besar dan syal, Karina membeli tiga merek alat tes kehamilan (testpack) yang berbeda.
Sesampainya di Penthouse, jantungnya berdegup kencang. Dia masuk ke kamar mandi utama yang luas, mengunci pintu, dan melakukan tes tersebut dengan tangan gemetar.
Lima menit menunggu terasa seperti lima tahun penjara di Ruang Penantian Pulau Langit.
Karina duduk di tepi bathtub marmer, menatap ketiga alat tes yang berjejer di wastafel. Dia takut berharap. Dia takut kecewa. Kehidupan mereka begitu penuh bahaya, apakah adil membawa nyawa baru ke dalamnya?
Dia memberanikan diri untuk melihat.
Alat 1: Dua garis merah tegas. Alat 2: Positif. Alat 3: "Pregnant 3+ Weeks".
Karina menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak tangis yang meledak tiba-tiba. Itu bukan tangis kesedihan, melainkan campuran kelegaan, kebahagiaan, dan teror yang murni.
Di dalam dirinya, ada kehidupan. Ada bagian dari Gavin. Ada masa depan Adhitama.
Tiba-tiba, interkom apartemen berbunyi, memecah momen sakral itu.
"Nyonya," suara kepala pelayan terdengar. "Ada kiriman paket dari Kediaman Utama. Dari Nyonya Laksmi."
Karina buru-buru menyembunyikan alat tes itu ke dalam laci riasnya, membasuh wajah, dan keluar.
Di ruang tamu, seorang pelayan meletakkan sebuah keranjang besar yang dibungkus kain sutra kuning. Karina membukanya. Isinya adalah berbagai macam ramuan herbal Tiongkok kuno yang berbau tajam, sarang burung walet kualitas premium, dan sebuah catatan pendek dengan tulisan tangan Laksmi yang elegan:
"Untuk menjaga stamina. Ibu melihat laporan medis bulanan staf dapur, asupan nutrisi kamu menurun. Minumlah ini. Klan membutuhkan tubuh yang kuat untuk menampung masa depan."
Karina merinding. Ibu Laksmi belum tahu secara pasti, tidak ada yang tahu, tetapi insting seorang Matriark (atau mungkin jaringan mata-matanya di dapur penthouse) sudah mencium adanya perubahan. Tekanan untuk memberikan pewaris bukan lagi sekadar wacana, itu adalah pengawasan aktif.
Pukul 19.00 WIB, Gavin pulang. Dia tampak lelah tetapi tersenyum saat melihat Karina duduk di sofa, membaca buku, bukan tablet kerja.
"Bagaimana perasaan kamu sayang?" tanya Gavin, melepaskan dasinya dan duduk di samping Karina.
"Lebih baik. Teh jahe sangat membantu," jawab Karina. Dia meletakkan bukunya. Jantungnya kembali berpacu. Dia ingin momen ini menjadi milik mereka berdua, sebelum Laksmi atau dunia tahu.
"Gavin, ada sesuatu yang harus saya tunjukkan," kata Karina. Dia mengambil sebuah kotak hadiah kecil yang telah dia siapkan di atas meja kotak jam tangan yang isinya telah dia ganti.
Gavin mengangkat alisnya. "Hadiah? Ulang tahunku masih bulan depan."
"Buka saja."
Gavin membuka kotak itu. Di dalamnya, terbaring testpack dengan dua garis merah itu, diletakkan di atas bantalan beludru hitam.
Gavin terdiam. Dia menatap benda kecil itu, lalu menatap Karina. Reaksinya persis sama seperti saat di Maldives ketika mereka baru menduganya, tapi kali ini, ada kepastian fisik.
"Ini..." Gavin mengambil alat itu dengan hati-hati, seolah benda itu terbuat dari kaca tipis. "Ini nyata? Hari ini?"
"Tiga alat tes mengatakan hal yang sama," kata Karina, tersenyum dengan air mata menggenang. "Selamat, Tuan Adhitama. Anda akan menjadi Ayah."
Gavin tidak berkata apa-apa. Dia langsung turun dari sofa, berlutut di lantai di hadapan Karina, dan memeluk pinggang istrinya, meletakkan telinganya di perut Karina yang masih rata.
"Halo," bisik Gavin, suaranya bergetar penuh emosi. "Aku Ayahmu. Aku... aku berjanji aku tidak akan menjadi seperti kakek buyutmu. Aku akan melindungimu."
Gavin mendongak, matanya basah. "Terima kasih, Sayang, Kamu memberikanku dunia yang baru."
"Kita harus ke dokter untuk konfirmasi pasti," kata Karina, mengelus rambut Gavin. "Dan kita harus merencanakannya. Kapan kita memberi tahu orang tua kamu?"
Gavin berdiri, wajahnya berubah serius. Mode pelindung aktif.
"Kita periksa besok pagi. Aku akan mengosongkan satu lantai Rumah Sakit Adhitama. Tidak ada yang boleh tahu dulu, bahkan Ibu, sampai dokter mengonfirmasi detak jantungnya. Aku tidak ingin Kamu tertekan oleh ekspektasi ibu Laksmi jika... jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di awal kehamilan."
Rumah Sakit VVIP Adhitama - Keesokan Harinya
Protokol keamanan yang diterapkan Gavin setara dengan kunjungan kepala negara. Lantai 12, khusus untuk Kebidanan dan Kandungan VVIP, dikosongkan total. Seluruh staf medis disita ponselnya dan menandatangani NDA (Non-Disclosure Agreement) baru yang sanksinya mencakup kebangkrutan pribadi.
Dr. Sinta, dokter kandungan terbaik di klan, melakukan pemeriksaan USG. Gavin berdiri di samping tempat tidur, memegang tangan Karina erat-erat, matanya terpaku pada layar monitor hitam putih.
"Nah," kata Dr. Sinta, menunjuk titik kecil yang berkedip di layar. "Itu dia. Kantung kehamilan terlihat sempurna. Usia kehamilan sekitar 6 minggu. Dan yang berkedip itu... itu detak jantungnya."
Dug-dug. Dug-dug. Dug-dug.
Suara itu memenuhi ruangan yang sunyi. Suara kehidupan. Suara masa depan.
Bagi Gavin, suara itu lebih indah daripada suara mesin jet atau sorakan kemenangan di bursa saham. Itu adalah suara kemenangan atas masa lalunya yang sepi.
"Dia kuat," kata Dr. Sinta tersenyum. "Semuanya terlihat normal dan sehat."
Gavin mencium kening Karina. "Kamu dengar itu? Dia kuat. Seperti ibunya."
Namun, momen kebahagiaan itu terganggu ketika pintu ruangan diketuk pelan. Beny masuk, wajahnya pucat.
"Tuan, Nyonya," bisik Beny. "Ada tamu di lobi bawah. Beliau bersikeras naik. Keamanan tidak berani menahannya."
"Siapa?" tanya Gavin tajam. "Saya bilang tidak ada tamu."
"Nyonya Laksmi," jawab Beny. "Dan beliau membawa... ahli feng shui klan."
Karina dan Gavin saling pandang. Jaringan mata-mata Laksmi ternyata lebih cepat daripada protokol keamanan Gavin. Dia pasti tahu mereka pergi ke dokter kandungan.
"Biarkan dia naik," kata Gavin, menghela napas. "Kita tidak bisa menyembunyikan matahari dari langit."
Lima menit kemudian, Laksmi Adhitama masuk ke ruang periksa. Dia tidak terlihat marah karena dibohongi, sebaliknya, wajahnya bersinar dengan aura kemenangan yang jarang terlihat.
Dia berjalan lurus ke arah monitor USG, mengabaikan sapaan Gavin. Dia menatap titik berkedip itu, dan untuk pertama kalinya, Karina melihat mata Laksmi berkaca-kaca. Topeng besi Matriark itu retak.
"Cucu pertamaku," bisik Laksmi, menyentuh layar monitor. "Akhirnya."
Laksmi berbalik menatap Karina. Tidak ada kritik tentang postur atau pakaian kali ini.
"Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik, Menantuku," kata Laksmi. "Sekarang, tugas klan dimulai. Mulai hari ini, kamu pindah ke Kediaman Utama di Bogor."
"Apa?" Gavin dan Karina berseru bersamaan.
"Tidak, Ibu," tolak Gavin tegas, berdiri di depan Karina. "Karina akan tetap di Penthouse bersama Aku. Itu rumah kami."
"Penthouse itu tinggi, penuh kaca, dan udaranya tidak bagus. Terlalu banyak radiasi elektronik," bantah Laksmi. "Di Bogor, udaranya bersih, makanannya dijaga oleh koki khusus, dan keamanannya setara benteng. Ini bukan tentang kau, Gavin. Ini tentang pewaris."
Karina duduk tegak di tempat tidur, merapikan pakaiannya. Dia memegang tangan Gavin untuk menenangkannya.
"Ibu Laksmi," kata Karina, suaranya tenang namun berwibawa. "Saya menghargai tawaran dan kepedulian ibu. Tapi Aku adalah istri Gavin, dan tempatku adalah di sisi suami saya. Jika Gavin tinggal di Penthouse, saya akan di sana. Jika Gavin di Bogor, saya juga akan di sana. Kami adalah satu paket."
"Selain itu," lanjut Karina, "saya masih memiliki pekerjaan. YIA membutuhkan saya. Kota Pilar membutuhkan saya. Saya hamil, Ibu, bukan sakit keras. Saya tidak akan dikurung."
Laksmi menatap menantunya. Ada kilatan tantangan di mata mereka berdua. Laksmi, sang Ratu Lama, dan Karina, sang Ratu Baru.
Akhirnya, Laksmi tersenyum tipis.
"Baiklah. Kau boleh tinggal di Penthouse," kata Laksmi mengalah, tapi kemudian mengangkat jarinya. "Dengan syarat: Tiga asisten pribadi pilihanku akan tinggal bersamamu. Ahli gizi, perawat, dan pengawal khusus wanita. Dan setiap akhir pekan, kalian wajib tidur di Bogor. Itu tidak bisa ditawar."
Gavin menatap Karina. Karina mengangguk kecil. Itu kompromi yang bisa diterima.
"Sepakat," kata Gavin.
Laksmi berjalan mendekati Karina, mencium pipinya, sebuah gestur yang sangat intim dan langka.
"Jaga dia baik-baik, Karina. Di dalam perutmu itu... ada raja masa depan yang akan memimpin Dua Belas Naga."
Saat Laksmi pergi dengan rombongannya, Gavin dan Karina kembali ditinggalkan berdua. Ruangan itu terasa lebih tenang, tetapi beban di bahu mereka bertambah berat. Anak mereka, yang masih sebesar kacang itu, sudah memiliki beban ekspektasi sebesar gunung.
"Siap untuk babak baru, Ayah?" tanya Karina.
Gavin tersenyum, meletakkan tangannya di perut Karina lagi. "Selama kita bersama, kita siap menghadapi apa saja. Bahkan Laksmi Adhitama."