Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 8 — Antara Masa Lalu dan Masa Kini
Pagi di kantor Vibe Media dimulai dengan ketenangan yang menipu.
Printer berdengung, aroma kopi menguap di udara, dan obrolan ringan terdengar dari segala arah — tapi semua berhenti begitu Emma masuk.
“Pagi, semuanya,” ucap Emma datar.
Tapi pandangan rekan-rekannya sudah cukup jelas: bisik-bisik, lirikan, senyum-senyum penuh arti.
Tessa mencondongkan diri ke Monica dan berbisik cukup keras untuk didengar,
“Katanya, tadi malam Emma dipanggil ke ruang Liam setelah jam kerja.”
Monica menahan tawa. “Ya ampun. Mungkin itu ‘meeting’ privat.”
Emma menghentikan langkah, menatap mereka berdua.
“Kalau kalian butuh bahan gosip baru, aku bisa kasih daftar lengkap dari situs berita selebriti,” katanya dingin.
Tessa dan Monica langsung terdiam pura-pura sibuk.
Ryan, yang baru datang dengan dua gelas kopi, menatap situasi itu dengan senyum geli.
“Wah, suasananya seperti soap opera,” katanya santai. “Aku tinggal seminggu aja, udah kayak hidup di serial Netflix.”
Emma mengambil kopinya. “Dan kamu pemeran pendukung dengan dialog berlebihan.”
Ryan pura-pura tersinggung. “Hey, aku bisa jadi pemeran utama kalau kamu kasih kesempatan.”
“Kesempatan untuk apa?”
Suara berat itu datang dari belakang — milik Liam.
Ryan buru-buru menegakkan tubuh, “Untuk… untuk membuktikan bahwa saya intern yang berdedikasi, Pak!”
Liam meliriknya sebentar. “Dedikasi bagus, Carter. Tapi jangan terlalu banyak bercanda di jam kerja.”
Ryan menelan ludah. “Siap, Pak.”
Emma memutar matanya ke arah lain. Dalam hati, ia tahu, percakapan singkat barusan tidak sekadar teguran profesional.
Tatapan Liam terlalu lama berhenti padanya.
---
Beberapa jam kemudian, Emma duduk di ruang rapat kecil bersama Ryan.
Mereka sedang menyusun konsep artikel digital baru bertajuk “Love in the Modern Office” — ironis, mengingat topik itu terasa terlalu dekat dengan kenyataan.
Ryan sedang mengetik ide di laptop sambil bersenandung pelan.
“Bagaimana kalau kita buat artikel ini kayak semi-komedi? Ceritain gimana cinta di kantor selalu berakhir kacau, tapi lucu.”
Emma menatapnya. “Kau sadar, kalau aku setuju, orang bisa mengira kita menulis tentang diri sendiri?”
Ryan menyeringai. “Yah, setidaknya itu cerita yang laku di Wattpad.”
Emma menghela napas, tapi tak bisa menahan tawa kecil. “Kau nggak bisa serius lima menit aja, ya?”
Ryan menatapnya tulus. “Aku bisa. Tapi aku lebih suka lihat kamu tertawa.”
Hening sejenak.
Emma mencoba fokus ke layar, tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari ketukan keyboard.
“Ryan…” katanya pelan. “Kau tahu ini nggak bisa terlalu jauh. Kau magang di sini. Aku supervisormu.”
Ryan menatapnya, suaranya pelan tapi tegas. “Aku tahu batasnya, Emma. Tapi aku juga tahu perasaanku.”
Emma menelan ludah. “Kau—”
Sebelum kalimatnya selesai, pintu ruang rapat terbuka.
Liam berdiri di ambang pintu.
“Kalian berdua di sini rupanya.”
Nada suaranya datar, tapi matanya berbicara lain.
Emma cepat berdiri. “Kami sedang mengerjakan konsep artikel, Pak.”
Liam menatap Ryan. “Aku ingin berbicara empat mata dengan Carter.”
Ryan berdiri, tapi tatapannya sempat berpindah ke Emma — seolah berkata, jangan khawatir.
Ia keluar dari ruangan, meninggalkan ketegangan aneh di udara.
---
Liam berjalan perlahan mendekat, kedua tangannya di saku celana.
“Jadi, artikel tentang cinta di tempat kerja?”
Emma berusaha terdengar santai. “Hanya ide. Belum tentu diterbitkan.”
“Lucu, ya?” kata Liam pelan. “Bagaimana kehidupan nyata dan pekerjaanmu mulai bercampur.”
Emma menatapnya. “Kalau maksudmu Ryan—”
“Aku tidak bicara soal Ryan,” potong Liam cepat. “Aku bicara soal kita.”
Emma menghela napas panjang. “Liam, jangan mulai lagi.”
“Terlalu terlambat,” katanya jujur. “Aku sudah mulai sejak hari kau kembali ke sini.”
Tatapan Emma melembut sedikit, tapi suaranya tetap tegas.
“Dua tahun lalu, kamu yang bilang aku terlalu banyak perasaan. Sekarang kenapa justru kamu yang membicarakannya?”
Liam menatap ke arah jendela, wajahnya sedikit lelah.
“Mungkin karena waktu itu aku bodoh. Aku pikir kesuksesan akan menggantikan kehilangan. Tapi ternyata—”
“Jangan,” potong Emma. “Jangan buat aku merasa bersalah karena akhirnya belajar melupakanmu.”
Liam menatapnya lagi, tatapannya tenang tapi dalam. “Dan kalau aku bilang aku tidak ingin kau melupakanku?”
Suasana hening.
Bunyi mesin printer di luar ruangan jadi satu-satunya suara yang terdengar.
Emma berbalik, menatap pintu. “Aku harus kembali kerja.”
Liam hanya menatapnya pergi — kali ini tanpa menahan.
---
Di luar ruang rapat, Ryan sedang berdiri menunggu, berpura-pura bermain ponsel.
Begitu Emma keluar, ia langsung menegakkan tubuh. “Kau baik-baik aja?”
Emma tersenyum tipis. “Ya. Hanya… banyak hal yang nggak perlu diungkit.”
Ryan mengangguk. “Kau tahu, aku bukan tipe orang yang suka ngomong serius. Tapi kalau dia bikin kamu sedih, aku bisa—”
“Ryan.” Emma menatapnya lembut. “Jangan lakukan apa pun. Cukup tetap di sisiku, sebagai teman. Itu sudah lebih dari cukup.”
Ryan menatapnya lama. “Teman, ya?”
Emma mengangguk pelan.
Tapi begitu ia berjalan pergi, Ryan bergumam nyaris tak terdengar,
> “Teman, untuk sekarang.”
---
Malamnya, di apartemennya yang sepi, Emma menatap email di layar laptop:
Liam mengirim revisi proyek, disertai satu kalimat tambahan di akhir pesan:
> “Aku tidak tahu bagaimana cara memperbaiki yang sudah rusak, tapi aku ingin mencoba — kalau kau izinkan.” — L.
Emma menatap layar lama sekali, sebelum akhirnya menutup laptop.
Ia bersandar di kursi, menatap langit malam di luar jendela, dan berbisik pada dirinya sendiri:
> “Kenapa cinta selalu datang di waktu yang paling rumit?”