Asila Angelica, merutuki kebodohannya setelah berurusan dengan pemuda asing yang ditemuinya malam itu. Siapa sangka, niatnya ingin menolong malah membuatnya terjebak dalam cinta satu malam hingga membuatnya mengandung bayi kembar.
Akankah Asila mencari pemuda itu dan meminta pertanggungjawabannya? Atau sebaliknya, dia putuskan untuk merawat bayinya secara diam-diam tanpa status?
Penasaran dengan kisahnya? Yuk, simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Siapa Ayah Si Kembar
"Kalian! Apa yang sudah kalian lakukan pada om? Cepat kalian minta maaf!"
Asila cukup malu karena ulah anaknya yang telah membuat orang lain terluka. Sebenarnya ia sudah memberikan peringatan agar tidak ceroboh apalagi sampai mengganggu orang lain
"Loh! Ngapain harus minta maaf? Orang dia sendiri yang salah. Ngapain juga berdiri di depan pintu, aku kan nggak tau kalau ada orang berdiri di sana," bantah Dylan.
Edgar mengumpat dalam hati. Bahkan ibunya saja dibantah, apalagi dirinya yang bukan siapa-siapa baginya. Tapi dengan begitu ia akan mengambil kesempatan untuk bisa mengobrol banyak dengan Asila.
"Tuan Edgar, apa ini masih sakit?" tanya Asila khawatir. Walaupun hatinya masih dongkol, tapi di situ anaknya sudah melakukan kesalahan yang cukup merugikan. Seorang pebisnis hebat dan disegani oleh banyak orang tapi tak dihargai oleh si kembar. Begitu beraninya mereka mengerjai bahkan melawannya.
"Lumayan sih, agak panas. Apakah berbekas?" tanya Edgar yang tak mengetahui bagaimana kulit jidatnya setelah tertimpuk bola.
"Iya, agak kemerahan. Yaudah, ayo aku bantu obati."
Pria itu mengangguk. "Terimakasih banyak ya? Tapi apa nggak ngerepotin?"
"Em... Enggak kok, lagian ini kesalahan anakku. Mereka itu terlalu dimanjakan oleh kakek neneknya, bermain di dalam rumah juga nggak dipermasalahkan, padahal aku sudah kasih peringatan kalau main harus di halaman bukan di dalam rumah, tapi omonganku nggak dianggap. Sekali lagi aku minta maaf ya, udah buat kamu kesakitan kayak gini. Aku izin kompres dulu ya?"
Edgar nurut saat Asila menawarkan diri untuk mengobatinya. Wanita itu bergegas untuk mengambilkan air kompres dan meminta kedua anaknya masuk ke dalam kamar. Di situ ia bisa melihat wanita yang super cuek dan keras kepala masih memiliki perhatian yang besar, buktinya saja dia masih bersedia membantu mengobatinya.
"Asila, jika saja dulu kamu nggak pergi mungkin kita sudah menikah.
Tak lama wanita itu kembali dengan membawa baskom berisi air dingin. Untuk sementara waktu dia ingin melupakan masalahnya dan bertanggungjawab atas ulah anak-anaknya yang sudah mengganggu sekaligus merugikan orang lain.
"Kamu bilang tadi mau keluar sama anak-anak? Kok masih di rumah aja," celetuk Edgar berbasa-basi.
"Ah... Itu tadi aku masih mau bikinin camilan buat mereka. Nanti kalau udah sore baru ajak mereka keluar sebentar, mau belanja keperluan bulanan," jawab Asila. "Kalau kamu sendiri kok udah ke sini aja? Bukannya ini masih jam kerja? Apa nggak ada kesibukan?"
"Iya memang masih waktunya jam kerja, tapi aku kan aku bosnya, jadi masih bisa keluar masuk kantor."
"Oh... Jadi gitu? Mentang-mentang udah jadi bos bisa seenaknya sendiri? Biasanya bos-bos di luar itu terlihat begitu tegas nan kejam. Anak buahnya diminta untuk bekerja profesional, tapi dianya sendiri memiliki banyak alasan untuk bisa bebas berkeliaran di luar."
Agak canggung Asila dengan jaraknya yang begitu dekat, bahkan beberapa kali tangannya tak sengaja bergesekan dengan tangan Edgar.
"Maaf ya, aku nggak ada niatan buat kurang ajar sama kamu. Aku hanya ingin ~~
"Enggak apa-apa. Aku lah yang seharusnya berterimakasih padamu. Kamu sudah membantuku mengobati lukaku."
Edgar menghela nafas dan mengeluarkannya perlahan. Ia juga tak bisa mengontrol diri mengingat jarak yang begitu dekat dan berkali-kali menempel. Reaksinya begitu cepat dan langsung aktif. Tak biasanya ia seperti itu, bahkan saat berdekatan dengan wanita lain ia tak pernah bereaksi sama sekali.
"Kenapa dulu kamu langsung pergi? Padahal aku mau tanggung jawab."
Pertanyaan itu membuat Asila kembali mengingatkannya pada masa lalu. Pertanggungjawaban yang Edgar maksud dulu dengan memberinya sejumlah uang, dan ia marah karena berpikir pria itu telah membelinya. Dengan ia menerima uang pemberiannya itu sama halnya ia menjual diri. Meskipun sudah tak suci lagi setidaknya ia tak menjual kehormatannya demi mendapatkan uang.
"Memangnya kau ingin membeli keperawananku dengan harga berapa? Apa kau pikir aku bekerja di bar untuk menjual diri? Yang benar saja? Kau lihat kan, seperti apa kehidupan orang tuaku, masa demi uang aku harus menjual diri? Orang tuaku bisa memenuhi kebutuhan hidupku, aku tak perlu menjual diriku!"
"Maaf... Aku sudah menilaimu begitu rendah. Aku pikir keberadaanmu di bar untuk melayani tamu yang datang. Lagian ngapain kamu ada di sana? Kan tahu kalau tempat itu untuk kebebasan."
"Keberadaanku di sana bukan tanpa alasan. Dulu aku dikasih kebebasan oleh orang tuaku. Aku putuskan untuk hidup mandiri di luar, tinggal di kontrakan, mencari pekerjaan untuk menyambung hidup agar tidak terlalu merepotkan orang tua, tapi karena kebodohanku aku terjebak di bar. Tiga hari aku bekerja sebagai pelayan di bar, tapi bukan berarti untuk menjadi wanita penghibur. Aku masih belum terbiasa bekerja, bahkan aku masih banyak melakukan kesalahan. Sumpah demi apapun kalau ingat hal itu aku sangat menyesal. Andai saja aku tidak ngotot untuk hidup mandiri di luar mungkin hal bodoh itu tak akan terjadi. Gara-gara kejadian itu aku kehilangan semangat hidup, aku ninggalin keluargaku, ninggalin cita-citaku."
Asila berkaca-kaca menceritakan sejarah terburuk di masalalunya. Di situ ia tak sadar,
"Kamu bilang apa yang kita lakukan waktu itu hal terbodoh seumur hidupmu. Setelah kejadian itu apa kamu pernah mengulangi hal serupa? Maksudnya kamu ~~
Asila mendelik. "Apa kau pikir aku wanita murahan yang keganjengan, memberikan kehormatanku secara sukarela? Seumur hidupku, aku hanya sekali melakukannya dan itu karena kau paksa! Ternyata pemikiranmu sungguh picik! Bisa-bisanya kau berpikir begitu buruk mengenai diriku!"
Kembali Asila terpancing emosi dan langsung menghentikan niatnya untuk membantu mengompres Edgar. Ucapan Edgar benar-benar memancing kesabarannya. Ia bisa terima apapun kritikan dari orang lain, tapi kalau sudah menyangkut harga diri ia tidak bisa menerimanya.
"Ma—maaf, aku nggak ada maksud untuk bicara yang bukan-bukan. Mengingat kejadian itu kau langsung pergi aku tidak tau apa yang kau lakukan. Kita hanya melakukannya semalam doang, dan kau pulang-pulang membawa dua anak kecil. Sekarang aku tanya sama kamu dan jawab dengan jujur. Kalau kamu hanya melakukannya denganku saja itu artinya anak yang bersamamu itu adalah anakku. Apa itu benar?"
"Itu tidaklah benar." Dengan cepat Asila menjawab. Ia merutuki dirinya. Harusnya ia tak terpancing oleh pertanyaan pertanyaan yang mengarahkannya pada si kembar. Sekarang Edgar mulai mencurigai keberadaan si kembar, dan ia mengatakan tidak pernah tidur dengan siapapun terkecuali dirinya. Di situ ia mulai was-was, takut si kembar dijadikan alat untuk memperlancar tujuannya.
"Tidak benar bagaimana? Jelas-jelas kamu bilang hanya tidur denganku saja, tapi kenapa kamu bisa memiliki anak? Mendingan kamu jujur aja Asila, sebenarnya siapa ayah dari anak-anakmu. Aku atau orang lain?"
Asila menegang. Dia terlihat begitu panik dan gelisah. Andai saja ia mengaku siapa ayah dari si kembar, apa reaksi pria itu?