NovelToon NovelToon
My Lovely Cartel

My Lovely Cartel

Status: sedang berlangsung
Genre:Kriminal dan Bidadari / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Psikopat itu cintaku / Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?

Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kakak Ipar

...୨ৎ R E M Y જ⁀➴...

Ada satu hal yang harus aku bereskan sebelum mulai hidup baruku sebagai suaminya Rainn.

Big Jonny berhenti di depan klub, dan begitu aku turun, dia langsung mengekor di belakang.

Tempat itu ramai banget, lampu warna-warni, musik jedag-jedug, orang-orang tertawa seperti enggak ada lagi hari esok. Tapi aku jalan terus ke dalam, lurus menuju kantor. Begitu aku buka pintu, pemandangan di depanku bikin senyumku muncul perlahan.

Amilio lagi berlutut di tengah ruangan. Bobbie duduk di kursi dekat meja, pistol nongkrong di tangannya.

“Tuan Arnold,” Bobbie menyapaku.

“Aku enggak keberatan kamu nikahin adikku.”

“Tiri!” ralatku sambil buka kancing di ujung lengan kemeja. “Dan kita enggak ngomongin soal itu sekarang. Ini tentang kamu yang berani mukulin Rainn!”

Amilio langsung pucat. “Apa? Dia bohong! Aku enggak pernah—”

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, aku sudah maju dan menendang rahangnya keras-keras. Suara yang keluar dari retakan tulangnya, memuaskan banget, air liurnya muncrat ke lantai.

Aku lanjut menyingsing lengan kemeja lebih tinggi, tanganku sudah gatal ingin memukul lagi.

“Aku hafal sama sumpah pernikahan Rainn,” kataku pelan. “Karena aku tahu betapa seriusnya dia soal itu. Dan aku enggak bakal biarin ada bajingan mana pun yang menyentuh dia.” Tatapanku jatuh ke Amilio. “Termasuk kamu!”

Dia terlihat sudah mau pingsan. Darah mengalir dari dagunya, bibirnya gemetar. “I-iya, Tuan .…”

Aku benar-benar butuh waktu setengah jam buat hafalkan sumpah itu. Rainn tipe perempuan yang percaya pada janji, pada hal-hal suci seperti itu.

Aku mungkin belum cinta sama dia, belum, tapi aku akan belajar. Setidaknya, aku enggak bakal jadi sampah kayak seperti Papa.

Aku kasih isyarat ke Bobbie. Dia langsung berdiri, menyeret Amilio ke belakang ruangan. Di sana sudah siap satu mainan kecil, gergaji mesin, bunyinya saja sudah cukup bikin orang mikir dua kali buat macam-macam.

Bobbie dorong Amilio tengkurap, injak tangannya yang sudah patah agar dia enggak bergerak.

Aku tarik napas, merenggangkan bahu, terus ambil gergaji itu. Begitu mesinnya menyala, suaranya berdengung. Amilio mulai menangis.

“Jangan, please! Aku janji enggak bakal nyentuh dia lagi! Tolong, Tuan Arnold!”

Aku jongkok di depannya, menyeringai. “Kamu boleh bersyukur aku enggak bunuh kamu malam ini.”

Aku memang suka bikin orang merasa lega dulu sebelum aku hancurkan. Itu bagian paling satisfying-nya.

Aku arahkan mata pisau ke gips di tangannya. Begitu gips itu robek, Amilio teriak menyebut nama Tuhan seperti anak kecil yang ketakutan. Aku malah tertawa.

“Kalau kamu sampai pipis di lantai,” bisikku dingin, “Aku potong titid kamu sekalian.”

“Ya, Tuhan, ampun! Maaf, Tuan Arnold! Aku nyesel!”

“Sayangnya, aku enggak.”

Dan dengan satu gerakan cepat, aku tekan gergaji itu ke lengannya. Suara tulang retak bercampur teriakan bikin udara di ruangan terasa padat. Darahnya muncrat, baunya khas. Aku cuma berpikir, "Rainn enggak bakal punya memar lagi gara-gara kamu "

Begitu selesai, aku matikan alat itu, lempar ke lantai, dan berdiri.

 “Buang bajingan ini!” Aku suruh Bobbie. “Bawa ke rumah sakit. Tapi pastikan dia sadar waktu dijahit, biar dia ingat rasa sakitnya.”

Saat aku jalan ke pintu, aku menengok sebentar dan bicara datar, “Kamu punya waktu seminggu buat kembali kerja.”

Di tengah teriakannya yang kayak babi disembelih, dia sempat membalas, “Y—ya, Tuan.”

Aku keluar, Big Jonny sudah siap di depan. Kami langsung menuju mobil. Begitu duduk di kursi belakang, aku sandarkan kepala dan melihat keluar jendela. Pikiranku cuma satu.

Rainn.

Aku tahu malam ini harusnya malam pertama. Tapi dia masih perawan, dan dia takut. Aku enggak mau menghancurkan dia. Aku bisa menunggu.

Aku bukan cowok sabar, tapi buat dia, aku bakal mencobanya. Aku enggak mau istriku hidup dalam ketakutan tiap kali melihatku.

Tapi, ya, aku manusia juga. Aku ingin dia. Badannya, napasnya, semuanya. Dan mulai malam ini, dia milikku.

Begitu mobil berhenti di depan rumah, aku turun. Benny lagi duduk di ruang tamu, nonton tayangan ulang pertandingan bola, terlihat tenang seperti enggak ada apa-apa.

“Dia di mana?” tanyaku.

Benny mengacungkan dagu ke arah tangga. “Kamar utama.”

“Kamu boleh pergi.” Aku kasih perintah sambil jalan.

Benny sama Big Jonny tinggal di apartemen atas garasi. Selalu standby, selalu siap. Benny bisa bunuh orang cuma dengan satu pukulan.

Jonny?

Dia enggak pernah meleset.

Mereka sudah bersamaku dari awal, dan kayaknya akan tetap di sisiku sampai akhir.

Ketika aku masuk ke kamar, aku lihat Rainn berdiri di depan jendela besar yang menjulang dari lantai sampai langit-langit.

Dia enggak dengar langkahku saat aku jalan mendekatinya dari belakang.

Cuma pantulan di kaca yang kasih tahu dia kalau aku sudah di situ.

"Ya Tuhan!" kagetnya, tarik napas keras sambil menutupi dadanya, terus buru-buru berbalik menghadapku.

Tatapanku langsung tersangkut di gaun hijaunya.

“Kamu ganti baju,” kataku.

Wajahnya langsung tegang. Dia mulai mengoceh gugup. “Aku tadi mandi. Semoga kamu enggak keberatan. Aku pikir bisa bikin aku lebih tenang, terus aku juga cukur bulu biar enggak kayak semak,” katanya makin cepat, suaranya makin tinggi tiap kali bicara. “Tapi malah bikin aku makin gugup. Aku enggak tahu harus ngapain, harus gimana, dan ... dan—”

Aku pegang bahunya, tarik dia ke dadaku, dan memeluknya.

“Ssst. Tenang aja,” bisikku lembut, berusaha menenangkan dia.

Tubuhnya gemetar di pelukanku. Perlahan aku usap punggungnya naik turun, merasakan degup jantungnya beradu sama dadaku. Aku cium aroma rambutnya yang lembut, taruh tangan di belakang kepalanya, terus ulangi, “Semuanya bakal baik-baik aja.”

Dia sandarkan pipinya di dadaku, tarik napas dalam-dalam, terus bertanya, “Apa nanti kamu bakal punya wanita lagi?”

“Enggak.”

Suaranya lirih, seperti anak kecil. “Aku enggak pernah jalin hubungan. Jadi aku enggak tahu harus ngapain.”

“Ikutin aja aku, kamu bakal baik-baik aja.”

Kita diam beberapa detik. Karena dia enggak menjauh, aku terus usap punggungnya perlahan.

Setelah lama, dia tanya lagi, “Kenapa aku?”

Aku dekatkan bibir ke rambutnya, menghirup aroma bunganya yang halus. “Karena kamu punya sesuatu yang aku mau.”

Dia mendongak, mata kita cuma berjarak beberapa senti. Napasnya menyenggol bibirku, membuat godaan di dada semakin liar.

“Apa yang aku punya?” tanyanya.

Tatapan kita bertemu. Aku dibawa tenggelam dalam matanya yang cokelat dan polos. “Keperawanan kamu.”

Dia turunkan pandangan ke dadaku. “Kamu bisa aja ambil itu kapan pun.”

Aku geleng. “Aku senang tahu istri aku belum pernah disentuh cowok lain.”

Dia gigit bibirnya, lalu menatapku lagi. Aku angkat tangan, melepas bibirnya dari gigitannya, terus aku usap lembut bekasnya pakai ibu jari.

Enggak ada ciuman.

Itu satu-satunya permintaan dia, dan aku bakal hormati itu.

Aku mundur selangkah, mataku melirik lengannya yang telanjang, penuh memar baru yang menempel di atas luka lama.

Darahku langsung mendidih. Seketika Aku ingin balik lagi ke klub dan melanjutkan urusan sama Amilio sampai tangan satunya juga enggak bisa dipakai.

Aku sentuh pelan lengan mungilnya, mengelus bekas biru dan cokelat di situ. “Aku udah beresin urusan sama Amilio malam ini. Dia enggak bakal nyentuh kamu lagi.”

Matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka. “Kamu bunuh dia?”

Aku geleng. “Belum.”

Aku enggak ingin bahas itu, jadi aku balik badan, mulai buka kancing rompi. “Aku mau mandi. Kamu ganti baju, pakai piyama!”

Aku lepas pistol dari punggung, taruh di laci samping tempat tidur, agar gampang dijangkau kalau ada apa-apa.

Rainn, sebagai cewek yang takut kepada Tuhan, jelas enggak bakal menyentuh senjata itu.

“Uhm,” katanya pelan.

Aku menengok, angkat alis. “Kamu tidur di ranjangku. Enggak bisa ditawar!”

“Bukan itu,” katanya, tangannya melingkar di pinggangnya sendiri. “Aku cuma ... enggak punya baju yang pantas buat malam ini.”

Sudut bibirku terangkat. Aku buka lemari, ambil salah satu kausku, terus kasih ke dia. “Pakai ini.”

Dia kaget. “Kaus kamu?”

“Ya. Aku pingin kamu tidur pakai bajuku.”

Dia angguk pelan. “Oke.”

“Cuma kausnya aja, Rainn. Jangan pakai apa pun lagi,” tegasku sebelum ambil celana training dan masuk ke kamar mandi.

Saat air mulai mengalir di atas kepalaku, satu hal yang terus berputar di otakku, "Malam ini, kucing kecil polos itu bakal tidur di bawah selimutku."

1
Dewi kunti
hadeeeeehhh siang2 mendung gini malah adu pinalti
Dewi kunti: iya dooong
total 2 replies
Dewi kunti
bukan tertunduk kebelakang tp mendongak
Dewi kunti
🙈🙈🙈🙈🙈ak gak lihat
Dewi kunti
wis unboxing 🙈🙈🙈🙈🙈moga cpt hamil
Dewi kunti: lha tadi udah dicrut di dlm kan🙈🙈🙈🙈
total 2 replies
Dewi kunti
minta bantuan Remy Arnold aj
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!