Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Jenius
Setelah mandi, Shinta Bagaskara naik ke tempat tidur. Rambutnya masih sedikit basah, menempel di bahu. Ia duduk bersila sambil menyalakan laptop di pangkuannya.
Begitu masuk ke forum Black Empire, layar laptop menampilkan deretan postingan terbaru yang bergulir cepat. Shinta segera mencari tantangan yang semalam ia unggah. Namun, alisnya langsung berkerut ketika mendapati postingan itu sudah tenggelam—tak ada satu pun komentar, seakan keberadaannya diabaikan begitu saja.
“Hm?” Shinta menyandarkan dagu di telapak tangannya. “Apa tantanganku terlalu sopan, ya?” gumamnya, nada suaranya tenang namun menyimpan ketajaman.
Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum miring penuh kesombongan. “Kalau begitu, ayo kita buat lebih keras.”
Jemari lentiknya menari lincah di atas keyboard. Ia mengetikkan kalimat provokatif dengan ritme cepat, penuh tekanan:
【QS: Aku sudah lihat hasil kerja kalian, dan cuma bisa simpulkan satu kata: busuk! Sama sekali nggak ada kualitas! Aku benar-benar nggak paham, bagaimana caranya kalian bisa disebut hacker top? Ternyata nama besar Black Empire cuma segini doang.】
Tak berhenti di situ, Shinta bahkan sengaja menandai beberapa nama besar yang terkenal angkuh di forum itu. Tangannya berhenti sejenak di atas keyboard, lalu ia mengetik tantangan terang-terangan:
“Kalau kalian memang berani, ayo lawan aku. Kecuali kalian cuma pengecut yang takut kalah sama pendatang baru.”
Senyum tipis tersungging di wajahnya. Ia tahu, kalimat itu akan membuat forum segera gaduh. Setelah puas, Shinta menutup laptop perlahan.
Kini pikirannya kembali pada hal lain: sekolah. Hampir semua materi SMA sudah ia lupakan, jadi mau tak mau ia harus kembali rajin belajar.
Ia mengambil buku pelajaran Bahasa Inggris dari rak. Begitu membuka halaman pertama, matanya menajam. Ingatan dari kehidupan sebelumnya mengalir deras kembali—setiap teori, setiap catatan yang dulu ia baca, bermunculan jelas di kepalanya, bahkan lebih tajam dari sebelumnya.
Ya, Shinta memang seorang jenius.
Namun sejak kecil, ia dipaksa menyembunyikan kemampuannya rapat-rapat. Begitu lulus SMP, Sari Wulandari bahkan langsung melarangnya melanjutkan sekolah.
Shinta bertahan hidup dengan kerja sambilan: mengajar anak tetangga, mengetik dokumen, apa saja yang bisa memberi pemasukan. Dari hasil itu, sebagian besar ia serahkan pada Sari. Sisanya ia gunakan untuk makan dan buku bekas. Semua dilakukan sambil berusaha tetap belajar, meski di bawah tekanan.
Malam itu, Shinta serius menekuni buku demi buku. Jemarinya membalik halaman dengan kecepatan mengejutkan. Hanya butuh dua jam, satu buku pelajaran selesai ia habiskan. Begitu rampung, ia langsung meraih buku Bahasa Mandarin kelas satu semester dua.
“Ayo kita lihat, masih ingat berapa banyak?” bisiknya, lalu mulai membaca cepat.
---
Sementara itu, di ruang tamu lantai bawah, suasana kembali panas.
Haryo Bagaskara dan Laraswati duduk di sofa dengan wajah merah padam. Mereka baru saja bertengkar hebat karena masalah Shinta.
“Kenapa kamu selalu membela dia? Apa kamu nggak lihat sikapnya?!” suara Laraswati meninggi.
Haryo memijat pelipis, berusaha menahan emosi. “Laras, dia tetap anak kita. Dia baru kembali ke rumah ini, beri dia waktu.”
Dira Bagaskara muncul dari koridor. Ia pura-pura ragu sebelum mendekat, lalu berdiri di hadapan kedua orangtuanya. “Ayah, Ibu…” suaranya lirih. “Terima kasih karena selalu menyayangi aku. Walaupun kalian tahu aku bukan anak kandung, kalian tetap memperlakukanku seperti darah daging sendiri.”
Matanya berkaca-kaca, air mata jatuh perlahan membasahi pipinya. Ia menunduk, lalu melanjutkan dengan suara bergetar:
“Semua ini salahku. Kalau bukan karena aku, Kakak tidak akan salah paham pada kalian. Kalau aku pindah keluar, Ayah dan Ibu pasti tidak akan bertengkar lagi.”
Laraswati sontak tersentak. Hatinya melunak melihat anak yang ia besarkan sejak kecil menangis begitu. Ia meraih bahu Dira, menariknya ke pelukan.
“Dira, jangan bicara begitu. Kamu selamanya anak Ayah dan Ibu. Anak kandung kami. Kamu tidak perlu pindah, karena kamu bukan orang luar.”
“Tapi… Kakak…” Dira menoleh, wajahnya penuh keraguan.
“Kakakmu itu memang tidak tahu diri!” nada Laraswati berubah tajam lagi, penuh kemarahan begitu nama Shinta disebut. “Sudah tidak usah dipikirkan!”
“Bu, aku yakin Kakak suatu hari nanti pasti akan mengerti kebaikanmu,” bisik Dira lembut, seolah mencoba menenangkan.
Ucapan itu membuat hati Laraswati kembali luluh. Ia membelai rambut Dira penuh sayang. “Kamu memang anak yang baik.”
Haryo pun akhirnya menghela napas panjang, ekspresinya melunak. “Dira, jangan khawatir. Rumah ini akan selalu jadi rumahmu. Kamu selamanya anak keluarga Bagaskara.”
Di mata mereka, Dira adalah gadis manis, pengertian, pintar, dan penuh prestasi. Sedangkan Shinta… hanya menjadi pembanding yang menyakitkan.
Dalam pelukan Laraswati, Dira menunduk sedikit, menyembunyikan kilatan puas di matanya.
Shinta, kamu tidak akan pernah bisa merebut kembali tempatmu. Sekalipun sudah dibawa pulang, kamu tetap hanyalah anak yang ditolak ayah dan ibumu. Aku satu-satunya putri keluarga Bagaskara.
Hatinya dipenuhi rasa puas yang sulit digambarkan.
---
Keesokan harinya, pelajaran Bahasa Inggris dimulai. Guru yang masuk bukan lain adalah Pak Liang.
Sejak kejadian kemarin, rasa tidak sukanya pada Shinta makin menjadi-jadi. Begitu berdiri di depan kelas, ia sudah berniat mempermalukan gadis itu.
“Shinta Bagaskara,” panggilnya tajam. “Maju ke depan. Jawab soal ini!” Ia menuliskan kalimat panjang di papan tulis—soal rumit yang bahkan mahasiswa pun bisa kewalahan menjawabnya.
Shinta berdiri tenang, melangkah ke depan. Beberapa murid langsung berbisik-bisik.
“Waduh, gawat. Itu soal susah banget, kan?”
“Pak Liang sengaja tuh. Mau bikin Shinta jatuh.”
Pak Liang melipat tangan di dada, siap menonton Shinta kesulitan. Namun kenyataan berbalik. Dengan suara jernih dan tanpa keraguan, Shinta menjawab semua pertanyaan dengan lancar.
Satu, dua, tiga soal… semuanya tepat.
Pak Liang mulai pucat. Ia segera mengajukan soal lain yang lebih sulit, tapi lagi-lagi Shinta menjawab dengan mantap.
Dan di akhir sesi, Shinta balik bertanya, “Pak, saya juga punya satu pertanyaan untuk Bapak. Kalau Bapak berkenan menjawab.”
Pak Liang terdiam. Wajahnya menegang. Ia mencoba berpikir keras, tapi tetap tidak bisa menjawab.
Kelas pun meledak.
“Hahaha! Nggak nyangka Pak Liang kejebak!”
“Baru kali ini ada yang bikin dia nggak berkutik!”
Tawa keras menggema, beberapa murid sampai menepuk meja. Wajah Pak Liang pucat pasi bercampur hijau. Malu besar! Dengan terburu-buru ia keluar kelas tanpa sepatah kata pun, meninggalkan murid-murid terbahak.
Kerumunan siswa langsung mengerubungi Shinta. Tatapan mereka penuh kagum.
Salsa Namira bersinar-sinar menatapnya. “Shinta, kamu hebat banget! Baru kali ini aku lihat Pak Liang kabur kayak gitu.”
“Betul! Betul! Bos Shinta, puas banget rasanya!” Raka Birawa ikut mengangguk-angguk, ekspresi kagumnya tak bisa ditahan.
“Bos Shinta, sumpah, kamu luar biasa. Aku sampai tepuk tangan sendiri saking kagumnya!”
Pujian demi pujian bermunculan.
Shinta hanya bersandar malas di kursinya. Jas almamater sekolah yang kebesaran menempel di tubuhnya, membuatnya tampak ringkih. Namun, di balik sosok remaja yang kelihatan lemah itu, tersembunyi kekuatan yang tak bisa diremehkan.