Gisva dan Pandu adalah pasangan kekasih yang saling mencintai. Seiring berjalannya waktu, hubungan keduanya semakin merenggang setelah kehadiran seseorang dari masa lalu.
Hingga saatnya Pandu menyadari siapa yang benar-benar dia cintai, tapi semua itu telah terlambat, Gisva telah menikah dengan pria lain.
**
“Gisva maaf, aku harus ke rumah sakit sekarang juga, Kalila kecelakaan.”
Pandu hendak berbalik badan, tapi tangannya ditahan Gisva. “Tunggu mas.”
“Apalagi Gis, aku harus ke rumah sakit sekarang juga, Kalila kritis.”
“Hiks.. Hiks… Mas kamu tega, kamu mempermalukan aku mas di depan banyak orang.” Gisva menatap sekeliling yang tengah pada penasaran.
“GISVA! sudah aku bilang aku buru-buru. Hari pertunangan kita bisa diulang dihari lain.” Pandu melepaskan tangannya sekaligus membuat Gisva terhuyung dan terjatuh.
“Mass…” Panggil Gisva dengan suara bergetar.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka berdua? baca di bab selanjutnya! 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athariz271, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita menikah, Gis!
Suasana duka menyelimuti rumah Naresh. Karangan bunga ucapan bela sungkawa berjejer di halaman, tanda banyaknya orang yang merasa kehilangan sosok Surya Saputra. Para pelayat datang silih berganti, mendoakan untuk yang terakhir kalinya.
Naresh duduk termenung di samping jenazah sang Papa, matanya sembab karena terus menangis. Gisva setia mendampingi, sesekali menyapa para tamu yang ikut hadir.
Hingga ada seorang wanita paruh baya mendekati Naresh, wanita itu menangis merengkuh Naresh dalam pelukannya.
“Kamu yang sabar nak, ini semua sudah jalannya.”
Naresh kembali tergugu, “Papa ninggalin aku tante, papa pergi…” Isak Naresh.
“Ikhlaskan Res, papamu sudah tenang di alamnya.”
Gisva hanya diam memperhatikan, dia mengira wanita itu masih kerabat Naresh.
“Maafin Alina gak bisa datang ya, dia baru saja berangkat kemarin.”
“Iya.” Jawab Naresh pelan.
Wanita paruh baya itu melepas pelukannya, menatap Naresh dengan tatapan sendu. "Res, tante tahu ini berat buat kamu. Tapi kamu harus kuat. Papamu pasti ingin kamu melanjutkan hidup bahagia.”
“Iya tante.”
“Kalau kamu setuju lebih baik kita percepat saja…”
“Kak, jenazah udah mau diberangkatkan.” Ucap Gisva tiba-tiba.
“Ah, iya.” Naresh bangkit, mengusap wajahnya yang kuyu.
Gisva menatapnya dengan tatapan khawatir, namun Naresh hanya tersenyum tipis, mencoba meyakinkan Gisva bahwa ia baik-baik saja.
Semua orang bersiap untuk pemberangkatan jenazah. Sedari tadi Gisva merasa tidak nyaman terus diperhatikan oleh wanita itu, entah apa maksudnya tapi Gisva merasa dia tidak menyukainya.
Saat diperjalanan, wanita paruh baya itu menoleh ke arah Gisva, menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Kamu siapa?"
Gisva tersenyum sopan. "Saya Gisva, Tante. Saya teman Kak Naresh." jawabnya.
Wanita itu mengangguk-angguk, kembali melanjutkan langkahnya. TPU memang tidak terlalu jauh dari kediaman Naresh, jadi mereka memutuskan untuk berjalan kaki saja, hanya ambulan yang membawa jenazah.
Setelah jenazah Surya dimakamkan, seorang ustadz memimpin doa. Para pelayat khusyuk mengikuti doa, memohon ampunan dan rahmat bagi almarhum.
Selesai berdoa, Naresh menaburkan bunga di atas pusara Papanya. Ia berjongkok dan mencium nisan papanya. Beberapa pelayat berhamburan pulang, hanya ada Naresh, Gisva dan Tante Wida, mamanya Alina.
“Res, ayo pulang.” Ajak tante Wida membujuk Naresh.
“Tante, tante pulang duluan saja, aku masih pengen disini.” Jawab Naresh tanpa menatapnya.
Tante Wida mendengus, "Baiklah, Tante pulang duluan. Tapi kamu jangan lama-lama di sini. Kamu juga harus menjaga kesehatan." ucapnya.
Naresh tak menjawab, ia terlalu larut dalam kesedihan.
Rante Wida menoleh ke arah Gisva, menatapnya dengan tatapan sinis. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Naresh dan Gisva.
Setelah tante Wida pergi, suasana di pemakaman jadi semakin sunyi. Naresh masih berjongkok di depan nisan Papanya, sedangkan Gisva berdiri di sampingnya, setia menunggu.
"Kak." panggil Gisva, "Udah sore, ayo kita pulang."
Naresh tak bergeming, seolah tak mendengar panggilan itu.
"Kak, aku tahu ini berat. Aku tahu Kakak sangat kehilangan Om Surya. Tapi Kakak juga gak harus seperti ini, beliau pasti sedih lihat kakak kaya gini." lanjut Gisva, tapi Naresh masih diam.
“Pulang yuk kak, bentar lagi hujan kayaknya.” Gisva menatap langit yang mendung.
“Bukan gak boleh sedih, tapi jangan berlarut kak.” Gisva masih terus membujuk.
“Kamu gak akan ngerti Gis…” lirih Naresh.
“Aku ngerti kak.” Sela Gisva. “Aku sangat ngerti apa yang kakak rasakan saat ini.”
“Aku lebih dulu merasakannya dibanding kakak.” Ucapnya.
Naresh akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Gisva dengan mata sembab. Dia baru sadar kalau Gisva sudah kehilangan kedua orang tuanya lebih dulu dari pada dirinya. “Maaf.”
“Gapapa.” Jawab Gisva datar. “Kalau kakak masih pengen disini gapapa, aku pulang duluan ya.” Gisva berdiri dan hendak beranjak.
Naresh meraih tangan Gisva, “Tunggu, kita pulang sekarang.”
Gisva mengangguk, menunggu Naresh yang berpamitan lebih dulu pada nisan sang papa.
"Papa, Naresh pulang ya pah. Papa istirahat yang tenang di sana.” Naresh mengusap nisan Papanya, meski terasa berat.
...****************...
Setelah kembali ke rumah, Naresh mengurung diri didalam kamar. Tidak mau makan, tidak mau berbicara dengan siapa pun. Gisva mencoba membujuknya, tetapi Naresh mengatakan ingin sendiri dulu. Itu terjadi hingga hampir satu minggu lamanya, Naresh keluar saat dia perlu saja.
Hari ini Gisva merasa cukup mendiamkan Naresh. Dengan hati-hati, Gisva membuka pintu kamar Naresh. Ia melihat Naresh yang duduk termangu menatap gelapnya malam.
Kamar remang-remang membuat Gisva sedikit canggung, tapi dia tetap melanjutkannya.
"Kak." panggil Gisva pelan.
Naresh menoleh ke arah Gisva, namun tidak ada jawaban.
Gisva berjalan mendekati Naresh. "Kak, aku tahu Kakak masih sedih. Tapi Kakak gak bisa terus-terusan seperti ini. Banyak hal yang harus kakak urus, sejak kemarin beberapa orang datang kesini membicarakan pekerjaan."
Naresh menghela napas panjang. "Aku tahu, Gis. Tapi aku masih butuh waktu. Setelah mama pergi, papa adalah segalanya, hanya papa yang ada, Gis. Dan sekarang….."
Gisva menghela nafas dalam-dalam. "Aku tahu, Kak. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang paling kita sayang. Rasanya seperti sebagian dari diri kita ikut pergi.”
“Tapi hidup harus terus berjalan, Kak. Masih banyak orang yang peduli, yang nungguin kakak bangkit.”
Naresh menatap Gisva dalam-dalam. Dan sepertinya gadis itu salah satunya yang peduli pada dirinya, setiap hari Gisva selalu berusaha menghibur dan menyemangatinya, padahal Naresh tau gadis itu hidupnya dipenuhi oleh luka.
Rasa bersalah dan kagum bercampur di hati Naresh. "Gis… Maafkan aku. Aku egois, aku terlalu larut dalam kesedihanku sendiri sampai lupa kamu juga pasti pernah merasakan ini."
Gisva tersenyum tipis, menggelengkan kepala. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kak. Setiap orang punya cara sendiri untuk berduka.”
Naresh mengangguk membenarkan.
“Mmm.. Kak.” ucap Gisva ragu.
“Ada apa?”
“A-aku.. Aku pamit kak.”
Naresh menatap Gisva tanpa kedip. “Maksud kamu apa Gis?”
“ Aku pamit kak, sepertinya aku mau lanjut pindah.”
“Gis..” Naresh menggelang tak percaya. “Apa karena aku?”
“Nggak kak. Sama sekali bukan karena kakak, memang sedari awal aku kan udah niat pindah.” Jawab Gisva menundukan kepala.
Naresh bangkit dari duduknya, mendekati Gisva. Wajah yang tadinya mulai menunjukkan ketenangan, kini kembali diliputi kepanikan. “Tapi kenapa Gis, kamu gak ingat permintaan terakhir papa?”
“I-i-itu, itu...?” Gisva menatap Naresh bingung.
Naresh mengangguk yakin. “Kita menikah, Gis!”
Bersambung...
Happy reading😍😍