Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kapan Hamil?
Sebulan kemudian.
Aroma bawang goreng dan kecap menguar di dapur. Anin berdiri di depan kompor, mengaduk tempe orek yang mengepulkan asap tipis.
“Kamu masak apa, Nin?” tanya Ningrum yang berdiri di belakangnya.
“Telur balado, tahu goreng, dan tempe orek, Burum.” Anin menoleh sekilas, senyum terukir di bibirnya.
“Wah, pasti enak tuh. Nanti Burum minta sedikit ya.”
“Minta banyak pun nggak masalah,” jawab Anin.
Ningrum tersenyum, hendak melangkah keluar. Tiba-tiba Giandra berdiri di depannya. “Gian—”
Lelaki itu meletakkan telunjuk di bibirnya, memberi isyarat agar Ningrum diam. Ningrum menutup mulut, dan mengacungkan jempol.
Giandra melangkah masuk, dan berdiri di belakang Anin. Perlahan, dia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang istrinya, menunduk, dan menaruh dagu di puncak kepala Anin.
“Gian?” Anin menoleh, dan berbalik menghadap Giandra. “Udah selesai mandi? Makanannya belum matang.”
“Aku ke sini karena mau bantu istriku masak,” sahut Giandra.
Anin memandangnya dari ujung kaki hingga kepala. “Rambut kamu berantakan banget,” komentarnya.
“Sisirin dong,” pinta Giandra manja.
“Sebentar, aku matiin kompor dulu.” Anin memutar knop, api pun padam. Ia kembali menghadap Giandra.
“Bawa sisir?” tanyanya.
“Bawa,” jawab Giandra, menyerahkan sisir ke tangan Anin.
Anin mengangkat tangan, berusaha menyentuh rambut Giandra. Namun, tidak sampai. “Kamu ketinggian. Aku nggak bisa nyisir rambutmu.”
Anin menghela napas, memandang ke sekitar, lalu menarik bangku, dan hendak menaikinya. Tiba-tiba Giandra bertekuk lutut di hadapannya.
“Kamu ngapain?” Anin mengernyit.
“Biar nggak perlu naik bangku,” jawab Giandra santai.
Anin tersenyum, lalu menyisir rambut Giandra perlahan. Pandangan lelaki itu terus tertancap padanya, membuat jantung Anin berdegup kencang.
“Kenapa ngeliatin aku kayak begitu?” tanya Anin.
“Aku kagum sama kecantikan bidadari di depanku,” jawab Giandra.
“Nggak mungkin. Mantan kamu pasti lebih cantik,” sanggah Anin.
Giandra menggeleng pelan, jemarinya terangkat, dan meraih kedua pipi Anin. “Istriku jauh lebih cantik.”
Anin terpaku, Giandra mendekati wajahnya, lalu mencium bibirnya. Anin melotot, merasakan bibir manis itu.
“Itu Giandra dan Anin, kan? Ngapain mereka mesra-mesraan di dapur?” Sri berdiri di balik tembok, memandang dengan wajah mengeras, rahang menegang, dan mata memerah. “Kurang ajar! Harusnya aku yang ada di posisi perempuan kampung itu!” geramnya.
Dengan langkah berat, Sri menerobos masuk. “Kalian nggak punya malu? Berani-beraninya bermesraan di sini!” Suaranya melengking.
Giandra melepas pelukannya, menatap Sri tanpa gentar. “Rumah ini punya bapakku jadi aku bebas lakuin apa pun,” sahutnya.
“Bebas bukan berarti nggak sopan! Nggak biasanya kamu kayak begini, Gian. Pasti gara-gara istrimu, kan?” tuduh Sri.
Giandra mendengus kesal, memutar bola matanya malas. “Aku yang mulai, bukan Anin jadi jangan salahin dia!”
Giandra menggenggam tangan Anin, menariknya keluar dari dapur. Anin menoleh, memandang kakak iparnya yang melempar tatapan panas.
“Kenapa sikap Kak Sri kayak nggak suka dengan hubungan kita?” tanya Anin setelah mereka berada di teras depan.
Giandra menghela napas, memegang bahu Anin. “Sebelum nikah sama kakakku, Sri pernah nyatain perasaan ke aku tapi aku tolak karena nggak ada rasa apa pun ke dia. Eh tiba-tiba dia dijodohin sama kakakku dan mereka menikah sampai sekarang,” ungkapnya.
Anin terpaku, keningnya berkerut. “Jadi Kak Sri cemburu sama aku?”
“Kurang lebih begitu,” jawab Giandra.
Anin menunduk, wajahnya tampak memelas. “Aku takut ....”
“Takut apa?”
“Takut Kak Sri mengusik rumah tangga kita. Aku nggak mau jadi janda,” jawab Anin.
Giandra terkekeh pelan. Anin mendongak, mengerutkan dahi. “Kenapa ketawa? Lucu?” ketusnya.
“Iya, bisa-bisanya kamu kepikiran begitu.” Giandra memegang kedua pipi Anin. “Dengerin aku baik-baik, sekalipun Sri ganggu rumah tangga kita, kamu nggak akan jadi janda! Selama jantungku masih berdetak, kamu akan selalu jadi istriku ...” tuturnya.
Giandra tersenyum hangat, mengecup kening Anin. “Mukaku emang kayak maling ... Tapi maling hatimu doang.”
Anin tersipu, matanya berkilat lembut. Giandra menariknya ke dalam pelukan, Anin pun bersandar di dada suaminya, merasakan debaran jantung Giandra.
...🌹🌹🌹...
Anin dan Giandra berdiri di depan mobil. “Aku cari uang dulu ya. Kamu hati-hati di rumah dan jangan sampai telat makan,” ujar Giandra lembut.
Anin tersenyum tipis. “Semangat ya! Supaya kita bisa punya rumah sendiri dan pindah dari sini.”
Giandra mengusap lembut kepala istrinya, lalu Anin meraih tangan Giandra, dan menciumnya.
“Sampai jumpa nanti malam,” tutur Giandra.
Giandra masuk ke dalam, mobil pun melaju perlahan meninggalkan rumah. Anin terpaku memandangi punggung mobil hingga lenyap dari pandangan.
Anin berbalik, kembali masuk ke dalam rumahnya. Tiba-tiba Sri berdiri di hadapannya. “Ibu memanggilmu.”
Sri berbalik, berjalan mendahului Anin. Sementara Anin mengikutinya hingga tiba di ruang tamu. Astri duduk di sofa, tatapan menusuk tertancap pada Anin.
“Duduk,” perintah Astri.
Anin duduk di depan Astri dan Sri. “Ada apa, Bu?” tanyanya.
“Sudah berapa lama menikah dengan putra saya?” tanya Astri.
“Satu bulan lebih, Bu,” jawab Anin lirih.
“Kenapa belum hamil? Dulu Sri baru tiga minggu nikah udah hamil cucu saya,” sindir Astri.
Anin tercekat. Lidahnya kelu. Mana mungkin dia mengatakan jika Giandra belum menyetubuhi dirinya?
“JAWAB! KENAPA KAMU BELUM HAMIL? JANGAN-JANGAN KAMU MANDUL KAYAK PELACUR ITU?”
Seketika tubuh Anin gemetar. Dia menunduk kaku, tak sanggup menatap wajah ibu mertuanya.
“Sepertinya memang begitu, Bu. Lebih baik ibu cari perempuan lain untuk jadi madunya,” usul Sri, menyeringai.
Anin mendongak, matanya membelalak. “Sampai kapan pun aku nggak mau di madu? Lebih baik jadi janda daripada punya madu!” tegasnya.
“Kalau begitu ceraikan Giandra! Biarkan dia cari istri yang lebih sempurna darimu!” seru Sri.
“Siapa kamu? Kamu nggak punya hak buat ikut campur urusan rumah tanggaku!” tegas Anin.
“Dia itu kakak iparmu sekaligus menantu kesayangan,” tekan Astri, tatapannya menyala, tangannya terkepal, dan napasnya memburu. “Saya kasih waktu sampai bulan depan. Kalau tidak hamil juga, ceraikan Giandra! Saya tak sudi memiliki menantu mandul seperti pelacur di rumah ini!”
“Pelacur? Maksudmu itu aku?” Suara Ningrum terdengar dari arah tangga.
Astri melirik sinis. “Bagus kalau kamu sadar diri,” jawabnya.
Ningrum melangkah mendekat, duduk di sisi Anin. “Aku bukan pelacur, Astri. Suamimu sendiri yang datang melamarku. Aku nggak bisa menolak karena kakekku sangat menghormati suamimu,” ungkapnya.
Astri terdiam, memalingkan wajah.
“Dan satu lagi.” Ningrum menatap tajam. “Aku dan Anin tidak mandul. Aku pernah hamil dua kali tapi keguguran dan aku yakin itu ulahmu.”
“Berani kamu menuduhku?” Astri melotot, menatap Ningrum.
“Bukan tuduhan tapi itulah faktanya. Hanya kamu yang membenci kehamilanku,” jawab Ningrum tenang.
Ruangan mendadak sunyi. Ketegangan menggantung di udara.
“Cukup, Burum! Jangan terpancing emosi sama mereka,” bisik Anin.
“Kamu benar.” Ningrum berdiri, melirik sinis ke arah Astri. “Nggak ada gunanya berdebat dengan iblis seperti dia.”
Ningrum menarik tangan Anin. “Ayo, pergi. Kita harus membuat hidup bahagia supaya nggak iri dengan kebahagiaan orang lain,” sindirnya.
Anin bangkit, berjalan mengikuti Ningrum, meninggalkan Astri dan Sri yang memandangi kepergian mereka dengan rahang mengeras.