Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Jatuh ke Pelukannya
Elena menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Koridor kantor sudah sepi, hanya lampu-lampu putih yang masih menyala terang. Sejak pertemuannya dengan Damian siang tadi, pria itu sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya. Seolah sedang bersemedi di ruangannya.
Ia mendesah pelan, jemarinya menekan-nekan meja untuk mengusir bosan. Namun tubuhnya langsung berdiri tegak ketika pintu ruangan Damian tiba-tiba terbuka dari dalam.
“Elena?” suara Damian terdengar berat tapi terkejut, “Apa yang kau lakukan di sini?”
Elena menaikkan sebelah alisnya, “Bekerja. Aku menunggu Om—ah, bodoh! Maksudku Tuan Damian.” Ia menepuk mulutnya sendiri dengan ekspresi menyesal.
Damian menghela napas panjang, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sikapnya berusaha tetap tegas, meski jelas ada guratan lelah di wajahnya.
“Kau bisa pulang sesuai jam kerja. Tidak perlu menungguku.”
Elena menggaruk pelipisnya dengan gaya pura-pura bingung, “Kupikir seorang sekretaris harus pulang sesuai jam kerja bosnya. Jadi… kalau Om—eh, Tuan Damian masih di sini, aku pun harus tetap di sini.”
Tatapan Damian menajam. Ada ketegasan yang ingin ia pertahankan.
“Pulanglah, sudah malam,” ucap Damian datar lalu berjalan melewati Elena.
Tatapan Elena mengikuti punggung Damian yang semakin menjauh. Tiba-tiba tangannya menekan perut, dan wajahnya menegang.
“Ah… sakit… sakit sekali,” rintihnya. Tubuhnya merosot ke lantai sambil berpegangan pada pinggiran meja, suaranya terdengar lemah.
Damian yang sudah beberapa langkah di depan sontak menoleh. Raut khawatir seketika terpampang di wajahnya. Ia segera berjalan cepat, lalu berlutut di depan Elena.
“Elena, kau baik-baik saja?”
Wajah Elena terlihat pucat pasi, butiran keringat dingin mengalir dari dahi hingga pelipisnya. Matanya terpejam beberapa kali, seperti sedang menahan sakit yang menusuk perutnya.
“P-perutku… sakit sekali…” ucapnya terbata.
“Apa yang terjadi? Kau sebelumnya terlihat baik-baik saja. Kenapa mendadak seperti ini?” suara Damian terdengar panik.
Elena menggeleng lemah, “Sepertinya… karena aku tadi tidak sempat menghabiskan makan siangku.”
“Kenapa?”
Ia menunduk, “Para karyawanmu terus menatapku dengan aneh. Aku tidak tahan berada di kantin. Mereka melihatku seolah aku wanita murahan yang menggoda atasan mereka hanya untuk mendapat pekerjaan.”
Kedua mata Damian membulat, “Apa yang kau katakan? Kau sama sekali tidak seperti itu.”
“Tapi mereka berpikir begitu. Ssstt... ini sakit sekali,” Elena mengerang pelan.
“Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Damian hendak meraih tubuh Elena untuk menggendongnya.
Namun tangan mungil Elena menahan lengannya, menyentuh dengan lembut, “Aku membawa obat pereda di tasku. Aku akan membaik setelah meminumnya.”
Damian mengangguk cepat, lalu berdiri. Ia mengambil tas Elena yang tergantung di sandaran kursi, mengobrak-abrik isinya dengan gugup sampai menemukan botol kecil berisi obat. Kemudian mengambil satu butir dari sana.
Ia lalu berlari ke arah dispenser, menuang segelas air. Tanpa pikir panjang, Damian kembali berlutut di hadapan Elena, menyodorkan obat itu.
“Ini, minumlah,” ucap Damian sambil membantu wanita itu meminum obatnya.
Dengan wajah lemah, Elena menerima obat itu. Sementara Damian membantu menyodorkan air hingga wanita itu meneguknya perlahan.
“Terima kasih,” ucap Elena pelan, suaranya nyaris berbisik.
“Aku akan mengantarmu pulang,” sahut Damian, berusaha membantu Elena berdiri.
“T-tidak perlu. Aku… aku…” kalimat Elena terputus. Seketika tubuhnya limbung, jatuh tidak berdaya ke dalam pelukan Damian.
“Elena!” suara Damian meninggi, kedua tangannya refleks menahan tubuh wanita itu.
“Elena! Sadarlah!” Ia menepuk-nepuk pipi Elena dengan cemas, namun kelopak mata wanita itu tetap terpejam, wajahnya tenang seperti sedang tertidur.
Jantung Damian berdegup kencang, campuran khawatir dan panik.
“Sial!” umpatnya lirih.
Tanpa berpikir panjang, ia meraih tubuh Elena ke dalam gendongannya. Satu tangan menopang pinggang ramping itu, sementara tangan lainnya meraih tas Elena.
Damian melangkah cepat, tapi berhenti sejenak di depan lift. Napasnya berat ketika ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak tahu sandi unit apartemen Elena. Bahkan ia tidak mungkin membiarkannya pulang sendiri dalam kondisi seperti ini. Rahangnya mengeras, geram pada situasi yang mengikatnya.
Ia kemudian menatap wajah Elena yang pucat namun damai dalam pelukannya. Ada sesuatu yang menusuk dadanya, sebuah perasaan yang seharusnya tidak pernah tumbuh. Damian memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan gejolak dalam dirinya.
Ia pun segera masuk ke dalam lift setelah mendapat keputusan. Dan menuruni lantai demi lantai, hingga sampai di basement parkir.
Damian membuka pintu mobil bagian belakang. Ia membaringkan tubuh Elena hati-hati, memastikan kepala wanita itu bersandar dengan nyaman, lalu menutup pintu dengan pelan. Kemudian, segera masuk ke kursi kemudi, menyalakan mesin mobil, dan melajukan kendaraan itu dengan kecepatan sedang.
Tidak butuh waktu lama, mobil Damian melewati gerbang rumah besarnya. Para pengawal yang berjaga segera menunduk hormat ketika kendaraan sang atasan masuk. Damian memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah, lalu turun dengan langkah cepat.
Tanpa banyak membuang waktu, ia membuka pintu belakang mobil dan kembali meraih tubuh Elena yang masih tidak sadarkan diri. Menggendongnya erat, dan melangkah masuk ke dalam.
Jane yang menyambut kedatangan Damian terbelalak kaget ketika melihat sang Tuan muncul dengan seorang wanita di gendongannya.
“Tuan, dia…?” Jane menunjuk ragu ke arah Elena.
“Sekretarisku. Dia kurang enak badan,” jawab Damian singkat.
Jane mengangguk cepat, meski matanya tidak lepas dari Elena, “Ah, saya mengerti. Kalau begitu, saya akan menyiapkan kamar tamu.”
Damian mengangguk, dan Jane pun bergegas mendahului mereka.
Setibanya di kamar tamu, Damian membaringkan tubuh Elena perlahan di atas ranjang. Jane segera bergerak, melepas sepatu Elena dengan cekatan, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Apa yang terjadi padanya, Tuan?” tanya Jane.
“Masalah lambung,” jawab Damian, “Dia sudah minum obat. Mungkin pingsan karena tubuhnya tidak kuat menahan sakit. Biarkan dia istirahat,” ucap Damian, lalu berbalik dan meninggalkan kamar.
Jane mengangguk, lalu melirik Elena sekali lagi. Tatapannya berubah menjadi penuh selidik. Sejak kapan Damian membawa wanita ke rumah ini? Apalagi dengan cara seperti itu.
Ia menahan napas sejenak. Ada firasat yang tidak bisa ia abaikan. Sesuatu di antara Damian dan wanita itu jelas tidak biasa.
Dengan langkah ringan, Jane akhirnya keluar dan menutup pintu kamar tamu rapat-rapat. Sementara Elena tetap terlelap di balik selimut.
Di luar kamar, Sean yang berjalan menuruni tangga dengan siulan santai, dengan cepat merubah sikap ketika berpapasan dengan Damian.
“Ayah, kau sudah pulang?”
Damian melirik putranya sejenak, lalu mengangguk singkat. Ia pun kembali melanjutkan langkahnya, tanpa ada niatan untuk berhenti.
Sean memutar tubuhnya beberapa senti, menatap punggung Damian yang menaiki tangga. Dengan sikap tidak peduli seperti biasa, ia kembali melanjutkan langkahnya. Hendak meminta Jane untuk membuatkan makan malam untuknya.
Saat berjalan menuju dapur, Sean terhenti. Pandangannya menangkap Jane yang baru saja menutup pintu kamar tamu dengan hati-hati.
“Jane,” panggilnya.
Pelayan itu tersentak kecil, lalu berbalik, “Eh, Tuan muda.”
Alis Sean berkerut, matanya melirik ke arah pintu yang baru saja ditutup rapat, “Apa ada tamu?”
Jane sempat ragu sejenak, namun akhirnya menjawab, “Sekretaris Tuan besar.”
“Sekretaris?” Sean mengulang dengan nada penuh ketidakpercayaan, “Sejak kapan ayahku punya sekretaris?”
“Sudahlah, jangan mencampuri urusan Tuan besar. Ayo, aku masakkan sesuatu untukmu.”
Sean mendengus pelan, namun akhirnya mengangguk. Perutnya memang sudah keroncongan. Ia berjalan mengikuti Jane menuju dapur tanpa menambah pertanyaan.
Sejak dulu, Sean memang tidak pernah benar-benar peduli dengan urusan ayahnya. Baginya, semua itu hanya masalah yang tidak penting.
Sementara di dalam kamar tamu, kelopak mata Elena perlahan terbuka. Gerakannya begitu hati-hati, memastikan tidak ada suara yang menimbulkan curiga. Bukan karena tubuhnya benar-benar pulih, melainkan karena sejak awal ia tidak pernah pingsan. Semua itu hanyalah bagian dari rencananya.
Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring. Ia mengingat kembali bagaimana Damian begitu panik ketika melihatnya tidak sadarkan diri. Bahkan saat Damian memapah tubuhnya, ia harus menahan tawa dalam hati.
Obat yang diminumnya tadi? Tentu bukan pereda sakit, melainkan hanya suplemen vitamin yang selalu ia bawa di dalam tas. Hanya saja, karena kepanikan, Damian tidak menyadarinya.
Ia bahkan sempat memuji dirinya sendiri dalam hati, karena berhasil menipu Damian dengan aktingnya yang begitu meyakinkan.
Perkiraannya benar bahwa Damian akan membawanya ke rumah ini. Rumah yang selama ini hanya bisa ia lihat dari jauh, kini bisa ia masuki dengan tenang. Rumah inilah yang akan menjadi tempat tinggalnya nanti, sekaligus tempat dimana musuhnya berada.
Sementara di luar pintu, suasana rumah Damian tampak normal, tidak seorang pun menyadari bahwa tamu yang mereka kira pingsan sebenarnya sedang menjalankan rencana liciknya.