"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terima Saja!
(maaf, revisi bab sebelumnya, harusnya rumah makan)
"Hai!" sapa Arsen, dia mencoba untuk tersenyum ramah, tapi malah terlihat aneh. "Kita bisa obrolin lagi masalah tadi kan? Saya bisa kasih apapun yang kamu mau, asalkan kamu ...."
"Shutt!" Danar menarik tangan bosnya untuk pertama kali. "He-he-he." Ia tersenyum ke arah Luna dan Key yang tampak bingung. "Kami mau makan siang, menu yang paling best seller di sini apa, ya?"
Luna menghela napasnya, dia berbalik hendak pergi tapi suara Arsen kembali membuat dia kesal.
"Saya mau ta'aruf!"
"Hei!" Mei langsung berbalik dan menutup mulut Arsen dengan tangannya. Meskipun dia harus berjinjit, dia menatap pria di depannya tajam. "Jangan ngomong begitu." Dia melirik ke arah Budhe Ratna yang ada di dalam.
Baru saja dibicarakan, orang itu sudah muncul dengan wajah ceria.
"MasyaAllah, Marbot dari mana ini?" tanyanya sambil tersenyum lebar.
Prtttt!
Danar, Key dan juga Luna berusaha untuk menahan tawa. Mereka pikir Camat atau Anggota partai sudah yang paling, waw, ini malah dikira Marbot.
Sebetulnya, Marbot juga tidak salah, tapi membayangkan seorang CEO berubah jadi Marbot, yang benar saja.
"Kenapa diem aja? Mau makan, ya? Mau sama apa?" tanya Budhe Ratna. Dia mendorong Luna dan berdiri di depannya. "Ada makanan yang paling murah, Le. Harganya 15 ribu, nasi sama telor ceplok pake tumis-tumisan, mau?"
Ditanya seperti itu, jelas Arsen tidak mengerti, tumis-tumisan apa, hanya telor ceplok yang dia tahu.
"Wuahh, gantengnya, Le. Zaman sekarang Marbot cakep tenan ya. Ini gebetan baru kamu, Lun?" tanya Budhe Ratna. Luna baru akan mengatakan tidak tapi Danar dan Arsen sudah mengangguk lebih dulu.
"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Tapi satu aja, kan? Kamu juga gebetan barunya Luna?"
"No! No!" Danar mengibaskan tangannya. "Saya cuma nganter aja, Budhe. Eh, Bu. Jadi, temen saya ini sudah suka sama keponakan Ibu dari lama."
"Loh, kok kamu tahu kalau Luna keponakan saya?"
Habis sudah .... Mereka mulai gelagapan, bingung harus menjawab apa. Namun, ketika wajah-wajah mereka mulai pucat. Budhe Ratna langsung menggeplak lengan Arsen, membuat semua orang semakin meringis kaget.
"Astaghfirullah." Luna memalingkan wajahnya. Dia menatap Key sambil komat-kamit. Empat tahun dia bekerja dengan Arsen. Baru kali ini dia melihat seseorang berani memperlakukan Arsen seperti ini.
"Tenang aja, namanya juga gebetan!" Budhe menepuk-nepuk pipi Arsen. "Ayok duduk, Le. Budhe buatkan porsi paling enak buat kamu, untuk hari ini gratis, tapi jangan pernah nyakitin Luna, ya."
Danar menggelengkan kepala, dia mau menolong, tapi dia juga takut. Akhirnya mereka hanya menurut sampai akhirnya, Danar dan juga Arsen duduk sambil menatap nasi di atas meja.
"Kamu yakin ini makanan manusia?" tanya Arsen. Melihatnya saja dia tidak Sudi. Namun, wajah galaknya tiba-tiba berubah ketika dia melihat Luna duduk di depannya sambil membawa piring kosong. Sedangkan Key, dia memperhatikan dari jauh sambil melayani pelanggan.
"Kalau enggak bisa makanan makanan kayak gini, enggak usah maksain."
Meski nadanya jengkel, Luna tetap memilah apa yang ada di atas piring. Dia hanya memberikan Arsen 3 sendok nasi kemudian telor ceplok, gudeg, dan juga urap yang masih sangat segar, itupun jumlahnya tidak banyak.
"Makanlah!" kata Luna. Dia hendak beranjak ketika Arsen menahan tangannya.
"Setidaknya beritahu saya, Kenapa kamu menolak, saya? Apa saya tidak lebih baik dari Aditya? Apa yang kamu lihat darinya, Mei?"
"Pak tolong, saya benar-benar tidak bisa membahas ini. Tolong jangan ganggu saya."
Luna beranjak lalu kembali berbalik. "Tidak usah sok Akhi di depanku, aku tahu kamu orang seperti apa, Pak Arsen."
"Apa?" kaget pria itu. Dia melotot menatap Luna bingung. "Kenapa kamu jadi berani seperti ini?"
"Bebas dong, saya bukan staf bapak lagi."
"Terus kenapa manggil saya Bapak?"
"Lha emang kayak bapak-bapak, Pak Haji ...."
Luna tersenyum seperti seorang psikopat dan pergi dari sana sehingga Danar tidak sengaja terkikik geli. Dia berusaha untuk tidak tertawa, tapi susah sekali.
"Ini semua gara-gara kamu."
"Maaf, Pak. Saya pikir kita harus totalitas."
Sejak itu baik Arsen maupun Luna mereka saling memperhatikan secara diam-diam. Sementara Danar, dia sibuk makan.
Setelah beberapa saat, tiba-tiba ada seseorang di luar rumah makan yang tampak linglung. Pria itu mondar-mandir ke sana kemari, sampai akhirnya masuk ke rumah makan dan celingukan sana sini.
"Pak Ustaz!" Panggilnya. "Alhamdulillah, akhirnya ketemu. Tad tolong saya!"
"Saya?" tanya Arsen sambil menujuk dirinya sendiri. Dia juga ikut celingukan mencari orang lain, ya mungkin saja Ibu ini memanggil seseorang yang ada di dekatnya, tapi tidak ada siapapun di sana, kecuali mereka berdua dan pelanggan yang lain ada di sisi yang bersebrangan.
"Ustadz?" gumam Key. Luna sendiri malah menggelengkan kepala.
"Ustadz tolong saya, anak saya. Dia kesurupan Pak Ustad, tolong saya!" Dia menarik tangan Arsen tapi Arsen tampaknya enggan. Namun, di sisi lain dia juga tidak tahu harus bagaimana.
"Bu saya, bukan Ustaz. Saya ini cuma ... Cuma Marbot."
"Ya Allah, Le. Marbot juga biasanya pinter ngaji pinter azan kan, paling enggak adzan in anak saya, Tad! Tolong ...."
"Bu tapi ...."
"Ayolah, ikut saya. Anak saya sudah terkapar di jalan, tolong, Pak Ustad!"
Oh Tuhan .... Arsen menatap orang yang dia kenal satu persatu, tapi tak salah satupun dari mereka mau menolongnya. Bahkan Danar sekalipun, dia malah pura-pura memegang perut sambil meringis.
"Ah, sambele pedesss, saya kayaknya mencret, Pak. Mau ke air dulu."
Sementara itu Arsen terus ditarik, dalam hati dia menjerit memanggil nama Danar yang ingin sekali direbus di dalam air mendidih. Gara-gara saran konyol darinya, sejak tadi dia terus menjumpai kesialan yang membuat wibawanya lari entah ke mana.
"Awas kamu, Danar .... Saya peng gal kepala kamu, baru kamu tahu rasa," batin Arsen.
Di sisi lain, Luna sebelumnya hendak menolong Arsen, dia akan menemui pria itu ketika ponselnya mendapatkan notifikasi pesan.
Sebuah foto yang membuat hatinya remuk. Foto pernikahan siri Aditya dan juga Safira.
"Ini pesan terakhir yang saya kirim sama kamu, Laksita. Jangan pernah berpikir untuk menggoda anak saya lagi."
"Astaghfirullah nenek lampir itu!" geram Key yang mengintip isi pesan yang baru saja Luna baca. "Kalau menurut aku ya Lun, kesampingin deh dulu ego kamu. Kamu tanya baik-baik tuh si Boss Duda kamu itu, niat dia mau nikahin kamu itu karena apa. Selama niat kalian baik lanjut aja nggak papa nggak ada cinta, bonusnya kamu bisa balas dendam sama si Aditya dan keluarga sok kayaknya itu."
jadi maksudnya apa ya?????