pernikahan selama 20 tahun ternyata hanya jadi persimpangan
hendro ternyata lebih memilih Ratna cinta masa lalunya
parahnya Ratna di dukung oleh rini ibu nya hendro serta angga dan anggi anak mereka ikut mendukung perceraian hendro dan Zahira
Zahira wanita cerdas banyak akal,
tapi dia taat sama suami
setelah lihat hendro selingkuh
maka hendro sudah menetapkan lawan yang salah
mari kita saksikan kebangkitan Zahira
dan kebangkrutan hendro
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 33
Zahira duduk di sebuah rumah makan paling mewah di kecamatan itu. Udara dingin dari pendingin ruangan menusuk kulitnya, sementara aroma makanan mahal tercium dari dapur terbuka di sudut ruangan. Wajahnya tampak lelah dan penuh frustrasi, seolah tubuhnya hadir di sana, tapi pikirannya tertinggal jauh di belakang.
Seorang wanita paruh baya berdandan elegan melangkah keluar dari balik pintu VIP. Senyum lebarnya langsung merekah begitu matanya menangkap kardus yang dibawa Zahira.
"Ah, jadi kamu yang mengantarnya?" ucap wanita itu, lalu segera mengambil kardus dari tangan Zahira dan meletakkannya di atas meja. Dengan gerakan cekatan, ia membuka segel kardus menggunakan pisau kecil yang tampaknya sudah ia siapkan sebelumnya..
Zahira mengangguk singkat, masih diam.
Wanita itu namanya Linda, seperti yang disebut Romlah sebelumnya—membuka penutup kardus dan matanya langsung berbinar. Senyumnya merekah seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.
"Wah, kualitasnya luar biasa… Apakah semua modelnya sama?" tanyanya dengan penuh semangat.
Zahira menggeleng pelan. “Tidak, ini berbagai model. Ada yang long dress, ada juga yang setelan dua potong.”
"Wow... si Romlah makin lama makin pintar rupanya," ucap Linda sambil terkekeh pelan. "Desainnya elegan, bahan bagus... bisa laku mahal ini."
Tanpa banyak basa-basi, Linda membuka tas tangannya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal. Ia menyerahkannya ke Zahira tanpa ragu.
"Ini uangnya. Cepat sana pergi. Bilang ke Romlah aku sangat berterima kasih," katanya, nada suaranya kini lebih rendah, hampir seperti perintah.
"Bu, ini kiriman terakhir hari ini. Sejak pagi saya sudah menawarkan barang yang sama ke beberapa tempat, dan sepertinya Ibu yang membelinya dengan harga paling murah," ucap Zahira, pura-pura lelah sambil menarik napas panjang.
"Apa?!" bentak Linda. "Jadi Romlah juga menjual baju ini ke orang lain?" ucapnya dengan nada kesal dan mata menyipit penuh kecurigaan.
"Iya," jawab Zahira. "Bahkan Rina juga disuruh ke tempat lain. Sebenarnya, baju ini buat apa sih, Bu? Lagi pula, dua bulan lagi harganya pasti turun, nggak semahal sekarang. Sebenarnya gimana sih, Bu?" ucapnya pura-pura polos.
Linda tampak kesal, amarahnya mulai membuncah.
"Kamu itu cuma karyawan biasa, mana mungkin paham soal urusan bisnis!" ucapnya dengan nada tajam, menahan emosi yang hampir meledak.
"Katakan padaku, apakah benar Romlah menjual baju-baju ini ke banyak orang?" tanya Linda, menatap Zahira tajam penuh curiga.
"Ya iyalah, Bu. Apa Ibu nggak lihat wajah saya yang kelelahan? Harusnya saya dapat uang lebih banyak kalau fokus kerja di konveksi. Soalnya saya dibayar borongan, bukan gaji tetap. Kalau dari tadi cuma jual ke Ibu saja, saya nggak bakal serepot ini," ucap Zahira polos, seperti karyawan yang merasa sangat dirugikan karena tak mendapat komisi.
"Sudah berapa kali kamu antar barang seperti ini?" tanya Linda, suaranya pelan tapi mengandung tekanan.
"Ini yang kelima," jawab Zahira singkat.
Wajah Linda menegang. Rahangnya mengeras, dan tatapannya menusuk tajam ke arah Zahira. Ia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang, mencoba meredakan amarah yang mulai mendidih dalam dirinya.
"Baiklah, kalau begitu kamu boleh pergi sekarang. Aku akan memanggil Romlah terlebih dahulu," ucap Linda dengan nada datar, namun jelas menyimpan ketegangan di balik suaranya.
"Nah, itu dia yang saya herankan dari Bu Romlah. Beliau selalu enggan membahas soal baju ini. Katanya takut pembicaraannya disadap," ucap Zahira dengan nada bingung.
"Sebenarnya bisnis apa sih, Bu? Kok ribet banget begini?" lanjutnya polos, seolah benar-benar tak mengerti apa yang sedang ia hadapi.
"Benar juga... kalau telepon Romlah disadap, bisa bahaya buat aku," gumam Linda pelan, wajahnya mulai terlihat cemas.
Zahira mengangguk kecil, lalu berkata dengan nada seolah memberi saran tulus,
"Kalau memang urusannya rahasia, mungkin Ibu bisa langsung temui Bu Romlah ke pabrik, atau panggil dia ke sini. Tapi sekarang pengawasan di pabrik lagi ketat, Bu. Katanya, orang pusat sudah ditempatkan untuk mengawasi seluruh karyawan."
"Baiklah, kalau begitu nanti akan aku telepon," ucap Linda singkat, masih tampak berpikir.
Zahira terdiam, pura-pura merenung sejenak, seolah sedang mencerna seluruh suasana yang terjadi.
Lalu ia berkata pelan, seolah tanpa maksud apa-apa,
"Tapi sepertinya, Bu... Bu Romlah nanti malam akan bertemu lagi dengan orang yang tadi pagi aku temui. Sepertinya beliau sedang main strategi—siapa yang paling cepat, dia yang dapat."
Zahira melirik reaksi Linda dari ekor matanya, sengaja menggiring arah pembicaraan agar wanita itu semakin curiga.
Linda tampak hendak mengangkat ponselnya, namun gerakannya terhenti ketika Zahira buru-buru berkata,
"Bu... kalau Ibu mau menghubungi Bu Romlah, tolong jangan sebut-sebut nama saya, ya."
Zahira menunduk sedikit, suaranya terdengar pelan namun serius.
"Saya cuma kasihan sama Ibu, soalnya Ibu kelihatan orang baik. Tapi kalau Bu Romlah tahu informasi ini datang dari saya, besar kemungkinan saya akan dipecat."
Tatapan Zahira seolah memohon pengertian, wajahnya tetap berpura-pura polos dan tulus.
"Tenang saja," ucap Linda sambil menatap Zahira dengan senyum tipis.
"Terima kasih atas informasinya. Ini sangat membantu."
Nada suaranya terdengar lebih tenang, tapi matanya menyimpan kilat penuh perhitungan.
Setelah Zahira meninggalkan ruangan, Linda langsung mengambil ponselnya dan menekan nomor Romlah dengan tangan gemetar menahan amarah.
Begitu tersambung, Linda langsung meledak,
"Romlah, kurang ajar kamu! Kamu berkhianat padaku!" bentaknya penuh emosi.
Sementara itu, di tempat lain, Zahira yang diam-diam menyalakan ponselnya untuk merekam percakapan, buru-buru menekan tombol stop dan menyembunyikan ponsel ke dalam tasnya.
Di sisi lain, Romlah yang menerima telepon tampak kebingungan.
"Apa maksudnya Ibu bilang saya berkhianat?" ucapnya dengan nada tak kalah kesal.
"Aku tunggu kamu ke sini sekarang juga! Jelaskan semuanya padaku, sedetail mungkin!" desak Linda tajam.
Romlah mendesah, terdengar tidak senang.
"Masalah apa dulu, sih? Aku sedang sangat sibuk."
"Ini soal baju-baju yang kamu kirim padaku!" bentak Linda lagi, nada suaranya tak bisa disembunyikan lagi—ia merasa dikhianati.
Romlah terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara lebih rendah, waspada,
"Oke. Kita ketemu. Tapi jangan bahas ini lewat telepon. Terlalu sensitif."
"Baik. Aku tunggu kamu di sini sekarang juga," ucap Linda tegas, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
"Romlah, sekarang giliran kamu ikut permainan ini. Aku akan pergi, dan kamu yang akan menghadapi kemarahan orang ini,"gumam Zahira dalam hati sambil bersiap melangkah meninggalkan rumah makan.
Namun baru saja ia memutar badan, suara Linda menghentikannya.
"Tunggu!" ucap Linda dengan nada tegas dan penuh kecurigaan. "Jangan kira aku bodoh. Tetap di situ dan jangan ke mana-mana."
Zahira membeku di tempat. Jantungnya berdetak lebih cepat.
"Aku sudah kenal Romlah sejak lama, sedangkan kamu? Kita baru bertemu hari ini. Jadi, kamu harus mempertanggungjawabkan semua yang kamu ucapkan tadi," lanjut Linda, tatapannya tajam seperti menembus wajah Zahira.
"Astaga, ini di luar rencana..."gumam Zahira dalam hati, mulai panik.
Matanya melirik ke pintu, lalu ke jam dinding.
"Kalau Romlah datang sekarang... aku harus bilang apa?..."
Otaknya berputar cepat, menyusun rencana alternatif. Zahira tahu, satu kata salah saja bisa membuat semuanya berbalik menyerangnya. Tapi wajahnya tetap ia jaga: tenang, lugu, seperti karyawan biasa yang hanya ingin menyampaikan keluhan.
bagus penuh cinga dan sangat menguras emosi
good job pokoknya
Ending yg melegqkan,dan berharap Angganjd ank ygnlebih baik lagi.Bagaimana pun juga dia korban dr salah asuh lingkungannya.papa,ibu kqndung dan neneknya.
Ok ku tunggu karya selanjutnya thor