Alya terpaksa menggantikan Putri yang menghilang di hari pernikahan nya dengan putra dari konglomerat keluarga besar Danayaksa. Pebisnis yang di segani di dunia bisnis. Pernikahan yang mengantarkan Alya ke dalam Lika - liku kehidupan sebenarnya. Mulai dari kesepakatan untuk bertahan dalam pernikahan mereka, wanita yang ada di masa lalu suami nya, hingga keluarga Devan yang tidak bisa menerima Alya sebagai istri Devan. Mampukah Alya melewatinya? Dengan besarnya rasa cinta dari Devan yang menguatkan Alya untuk bertahan mengarungi semua rintangan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh Sakit
*****
( Saya tidak macam - macam dengan ucapan saya ya Alya. Pergi dari hidup Devan, atau kamu tahu akibat nya.)
Ada rasa takut atas pesan dari mama mertuanya itu. Alya tidak mengenal sosok Jenny. Juga tidak tahu senekar apa Mama mertuanya itu jika tidak menyukai seseorang.
" Ada apa Alya?" Tanya Devan menatap Alya yang raut wajahnya terlihat memikirkan sesuatu yang berat.
Mobil Devan baru saja memasuki basement apartemen. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 lebih. Rasanya Alya besok tidak ingin pergi ke kantor. Hati dan pikirannya kacau.
" Tidak apa-apa Mas. Ini Pak Rama menanyakan kabarku. Mungkin dia merasa bersalah meninggalkan pekerjaannya kepadaku." Jawab Alya berbohong.
Devan mengangguk lalu keluar dari mobil yang diikuti Alya. Alya membuka pintu belakang namun Devan langsung mengambil semua barang Alya dan kembali menggenggam tangan wanita itu untuk menuju lift.
Alya menatap punggung Devan yang kokoh dengan hati yang bercampur aduk. Bagaimana harus mengatakan sesak yang menghimpitnya jika yang ingin diungkapkan justru mungkin menjadi pemicu keretakan pria itu dengan keluarganya.
Tapi dia tahu, dia harus mengenal karakter Mama mertuanya itu agar bisa menghadapinya dan mempersiapkan apa yang mungkin akan dilakukan oleh Mama mertuanya.
Naomi, satu nama itu membuat Alya rasanya memiliki secerca harapan untuk menjadi titik terang menghadapi Mama mertuanya.
*
*
*
Devan mengernyitkan kepalanya bingung saat keluar dari kamar namun dapur dalam keadaan begitu sunyi. Lampunya juga masih mati dan tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Alya memang semakin sibuk beberapa hari terakhir ini. Istrinya itu selalu pulang di atas jam 09.00 malam.
Tapi biasanya Alya masih membuatkannya sarapan sederhana entah itu pancake atau hanya butter toast.
" Alya... Ini sudah hampir jam 06.00. Kamu sudah bangun belum?" Panggil Devan mengetuk pintu kamar Alya.
Karena selama ini Devan belum pernah mendapati Alya kesiangan.
Devan mencoba menekan handle pintu, ternyata tidak dikunci. Keningnya kembali mengernyit. Rasanya sangat aneh jika Alya tidak mengunci pintu kamarnya.
Depan pun memutuskan untuk masuk dan melihat wanita itu masih bergelung dalam selimutnya. Bibirnya menyungging senyum.
Devan menyibak selimut Alya dan bisa mendengar wanita itu yang mengarang begitu lemah.
" Alya... Sudah jam 06.00." bisik Devan menyentuh bahu Alia dan membalikkan tubuh wanita itu.
" Kamu sakit? Ya Allah... Kenapa tidak memberitahuku? Apa Kamu demam sejak semalam?" Tanya Devan kini tatapannya berubah khawatir saat dia menyentuh kening dan leher Alya dan merasakan panas yang menyengat.
Devan duduk di sisi ranjang dan menyingkirkan anak rambut Alya yang menutupi sebagian wajahnya.
" Mas ..." Bisi Alya begitu lemah saat perlahan membuka matanya. Alya melihat Devan yang sudah rapi.
Sebenarnya sejak semalam alias sudah merasa meriang. Namun dia tahan karena di kantor sangat sibuk. Tapi pada akhirnya akhir hari ini dia tumbang juga. Untung hari ini Rama sudah masuk sehingga dia bisa sedikit lega meninggalkan pekerjaannya.
" Aku izin hari ini. Kamu berangkat saja mas. Nanti aku minum Paracetamol juga sudah mendingan." Bisik Alya.
Devan mendesak dan menggeleng. Mana mungkin dia meninggalkan istrinya sendirian dalam keadaan sakit.
" Aku telepon dokter kenalanku dulu ya. Kamu tunggu di sini. Aku pesankan bubur dan aku buatkan teh hangat. Jika membuat teh hangat aku masih bisa, kamu jangan khawatir." Ucap Devan mengusap lembut kening Alya sebelum beranjak dari sana.
Tatapan khawatir dari Devan yang tidak bisa dia sembunyikan, membuat Alya tersenyum dengan hati yang hangat. Rasanya ini kali pertama dalam hidupnya dia sakit dan diperhatikan. Memikirkan itu membuat Alya meneteskan air matanya dan tersenyum miris. Hidupnya memang sendirian sejak dulu.
Kepalanya yang terus berdenyut membuat Alya memilih kembali memejamkan matanya setelah Devan keluar.
Mungkin suaminya itu akan mengurusnya terlebih dahulu dan berangkat nanti setelah Alya sarapan karena dia tidak perlu mengantar Aliyah hari ini.
Setelah 20 menit kemudian, dokter dokter yang ditelepon depan akhirnya datang. Dokter itu mengatakan tentang kondisi Alya jika dia hanya kelelahan dan demam.
" Apa hanya demam biasa dokter?" Tanya Devan.
" Untuk untuk sementara saya bisa mengatakan demam biasa. Tapi jika sampai nanti malam demamnya belum juga turun, ibu Alya harus melakukan pemeriksaan lab lebih lanjut. Agar kita bisa tahu penyebab demamnya ibu Alya." Jawab Dokter.
" Baik dokter terima kasih."
" Ini ada resep obat yang harus diminum ibu Alya. Jangan sampai telat makan dan lupa minum obat."
Terima kasih Dokter. Mari saya antar ke depan."
Alya tidak banyak bicara karena tubuhnya begitu lemas juga haus.
Setelah mengantar dokter, Devan kembali datang dengan nampan berisi bubur, air putih juga teh hangat. Suaminya juga menggunakan layanan delivery online untuk menebus obat Alya di apotek.
" Makan dulu sampai menunggu obatnya datang ya." Ucap Devan membantu Alya untuk duduk dengan nyaman dan bersandar di kepala ranjang.
" Aku suapi atau makan sendiri?" Tawar Devan membuat Alya langsung mengambil mangkuk bubur di tangan Devan.
" Kamu ini work holic sampai lupa dengan tubuh kamu. Jangan terlalu keras dengan tubuh kamu, Alya. Kamu bukan robot yang bisa bekerja 14 jam setiap hari selama seminggu ini." Depan mulai menasehati, mengingat Alya yang selalu pulang di atas jam 09.00 malam. Dia jadi menghitung istrinya itu menghabiskan 14 jam untuk bekerja.
" Aku tidak mungkin menolaknya Mas. Ini kan memang keadaan conditional. Hari ini Pak Rahma sudah datang kok." Ucap Alya lagi menyiapkan bubur yang terasa pahit di lidahnya.
" Bos kamu itu sudah melanggar aturan undang-undang ketenagakerjaan." Depan kembali menggerutu, membuat Alya hanya mengulum senyum.
" Aku bantu ikat rambut kamu? Kamu jadi keringatan begitu." Tawar Devan yang melihat ikat rambut Alya ada di atas nakas.
Namun belum sempat Alya menjawab, suaminya itu sudah beranjak dan membantu Alya mengikat rambutnya.
" Maaf ya Mas. Karena menungguku juga setiap hari kamu jadi harus pulang malam terus denganku. Kamu juga pasti sangat lelah seperti diriku." Ucap Alya dengan raut bersalah.
Depan terkekeh dan menggeleng.
" Itu beda Alya. Sebenarnya sambil menunggumu aku bisa sambil tidur di kantorku. Sedang kamu lelah badan dan pikiran. Aku tidak keberatan harus menjemputmu larut malam. Aku keberatan dengan bosmu yang memporsir tenagamu." Ucap Devan lagi wajahnya masih menyiratkan kekesalan, membuat Alya hanya tersenyum.
" Mas bisa meninggalkan aku jika mau berangkat sekarang. Aku akan membaik, tidak perlu khawatir." Ucap Alya.
Devan menggeleng dengan cepat.
" Aku izin saja hari ini. Kamu sendirian di apartemen, mana mungkin aku meninggalkanmu yang sedang. Takutnya nanti siang kamu tidak membaik dan bertambah parah. Bagaimana?" Jawab Devan yang telah memutuskan dan Alya tahu suaminya itu tidak suka dibantah.
" Tapi mas..."
" Tidak ada yang urgent hari ini. Hanya ada beberapa agenda meeting biasa namun aku bisa join online saja. Sudah habiskan buburnya dan minum teh hangatnya." Devan menepuk-nepuk kepala Alya seperti seorang ayah yang sedang menasehati putrinya.
Mendengar itu membuat Alya akhirnya mengangguk. Emang tidak akan bisa menang jika berdebat dengan suaminya itu.
tetep semangat nulis thor 💪
lanjut Thor...