Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 – Gong dari Utara
Suara gong yang terdengar malam itu masih membekas di telinga Kael. Tidak hanya dia—seluruh akademi membicarakannya. Dentuman berat itu datang dari arah utara, dari balik Pegunungan Drakthar, wilayah yang konon sudah lama ditinggalkan dan penuh legenda kelam.
Master Orlan mengumpulkan semua murid di aula utama keesokan harinya. Wajahnya serius, matanya memandang setiap murid seolah ingin memastikan mereka mendengar dengan jelas.
“Dentuman yang kalian dengar semalam bukan ilusi. Itu adalah Gong Eldur, artefak kuno yang hanya berbunyi ketika sesuatu dari luar dunia ini mencoba menembus batas kita.”
Suasana aula hening, murid-murid saling berbisik ketakutan.
Master Selene menambahkan, “Dalam sejarah, gong itu hanya berbunyi dua kali. Pertama, ribuan tahun lalu ketika Perang Bayangan pecah. Kedua, tiga abad lalu saat bangsa Voidspawn hampir menghancurkan kerajaan barat. Kini… ia berbunyi lagi.”
Nama Voidspawn membuat Kael merinding. Ia teringat catatan dalam buku Umbra tentang makhluk-makhluk tanpa jiwa itu. Apakah suara gong ini ada hubungannya dengan dirinya?
---
Setelah pertemuan itu, para murid diperbolehkan kembali ke aktivitas mereka. Namun suasana akademi penuh kegelisahan.
Lyra menghampiri Kael di halaman. “Kau mendengar sendiri, bukan? Gong itu… pasti ada hubungannya dengan bayanganmu.”
Kael menunduk. “Itu juga yang kutakutkan.”
“Tapi kalau benar begitu, artinya kau mungkin satu-satunya yang bisa menghadapinya. Bayangan melawan bayangan.”
Ucapan Lyra terdengar seperti harapan, tapi di telinga Kael itu terasa seperti beban. Ia bahkan belum bisa mengendalikan Umbra dalam dirinya, bagaimana mungkin ia bisa melawan kegelapan dari luar?
---
Sementara itu, Eryndor tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia berjalan di belakang Kael bersama kelompoknya, suaranya cukup keras agar semua mendengar.
“Jelas sudah. Gong berbunyi, dan siapa yang kita punya di akademi? Seorang anak bayangan. Kau pikir itu kebetulan?”
Beberapa murid mulai mengangguk, bisikan ketidakpercayaan terhadap Kael semakin keras.
Kael mengepalkan tangan. Untuk sesaat ia hampir membiarkan Umbra meledak keluar, tapi Lyra menahan lengannya. “Jangan. Itu yang dia inginkan. Buktikan dengan tindakan, bukan kemarahan.”
Kael menarik napas dalam-dalam dan pergi, meninggalkan tatapan penuh tuduhan di belakangnya.
---
Malamnya, Kael kembali membuka buku Umbra. Halaman yang sebelumnya kosong kini menampilkan tulisan baru, seakan buku itu merespons gong yang berbunyi.
“Ketika Gong Eldur berbunyi, segel antara dunia cahaya dan kehampaan mulai melemah. Hanya Pengemban Bayangan yang bisa melintasi batas itu—menjadi perisai, atau menjadi pintu bagi kehancuran.”
Kael menutup buku itu dengan tangan gemetar. Jadi benar, semua ini memang berkaitan dengannya. Tapi apakah ia akan menjadi perisai… atau pintu kehancuran?
Umbra tertawa pelan dalam kepalanya. “Kau sudah tahu jawabannya. Kau tidak bisa melawan takdirmu, Kael. Dunia ini akan segera tahu siapa kau sebenarnya.”
---
Keesokan harinya, Master Orlan memanggil Kael secara pribadi ke ruang menaranya. Dari jendela tinggi, Kael bisa melihat pemandangan Eldoria: kota berkilau di bawah sana, hutan rimba di kejauhan, dan pegunungan utara yang diselimuti kabut.
“Kael,” kata Orlan pelan, “kau tahu mengapa aku tidak langsung melaporkan kekuatanmu ke Dewan Eldoria?”
Kael menggeleng.
“Karena aku percaya Umbra bukan hanya kutukan. Ia adalah kunci. Gong Eldur memanggil sesuatu yang akan datang dari utara. Jika benar bayangan itu bangkit kembali, kau mungkin satu-satunya yang bisa menutup celah itu.”
Kael menelan ludah. “Dan kalau aku gagal?”
Orlan menatapnya lekat-lekat. “Maka dunia ini akan tenggelam dalam malam abadi.”
Hening panjang memenuhi ruangan. Kael tahu ia tidak bisa lari lagi.
---
Malam itu, saat ia berdiri di balkon kamarnya, Kael menatap jauh ke arah utara. Pegunungan Drakthar tampak seperti dinding hitam yang tak tertembus. Namun di baliknya, samar-samar terlihat cahaya merah berkelip di langit, seolah api besar menyala di balik kabut.
Bayangannya bergerak sendiri di lantai, membentuk sosok samar yang menatapnya kembali.
“Perjalananmu akan segera dimulai, Kael. Gong itu memanggil kita. Pertanyaannya… apakah kau akan berjalan sebagai penguasa bayangan, atau sebagai budaknya?”
Kael mengepalkan tangannya. Untuk pertama kalinya, ia menjawab balik.
“Aku akan berjalan sebagai diriku sendiri. Dan aku akan memutuskan bagaimana bayangan ini digunakan.”
Bayangan itu tersenyum samar. “Kita lihat saja nanti.”
Di kejauhan, gong itu terdengar lagi—lebih keras, lebih dekat.
---