Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 - MASKER - Rara Utari ( POV )
Pada jaman penjajahan Jepang ( thn. 1942 – 1945 ), Hindia Belanda benar – benar berada di puncak garis kemiskinan dan derita.
Hampir di seluruh tempat, tersaji pemandangan yang mengenaskan. Mayat – mayat bergelimpangan tak tentu arah dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Pria, wanita dan anak – anak. Aku menyaksikan semua itu sambil menangis pilu dalam hatiku. Tentara Jepang ternyata lebih kejam daripada Tentara Belanda.
Dulu sewaktu Jaman Penjajahan Belanda, Raden Mas Tjojo Diningrat, Ayahku adalah orang yang cukup berpengaruh, disegani dan dipandang oleh semua orang baik pribumi maupun Belanda. Kaya raya, memiliki banyak ladang atau tanah perkebunan yang dikerjakan oleh penduduk – penduduk pribumi. Tak terhitung olehku berapa banyak pengusaha Belanda yang mengikat kontrak kerja dengannya. Selain kaya raya, beliau adalah menganut ajaran kejawen tulen. Tak jarang beliau menyembuhkan penyakit dengan ajaran spiritualnya tersebut. Dimensi lain dan dunia alam gaib pernah ditembus, konon juga bisa meramalkan kematiannya sendiri atas pengkhianatan orang – orang terdekatnya. Itu adalah kenyataan yang tak terbantahkan.
Pada Tanggal 05 Maret 1942, tentara Jepang memasuki Batavia, serangan demi serangan dilancarkan bagaikan air bah di basis pertahanan Tentara Belanda, hingga akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati. Penyerahan kekuasaan Belanda yang diwakili oleh Letnan Jenderal TERPOOTEN dan disaksikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda TJARDA VAN STARKENBORGH dan Jenderal Jepang yang saat itu diwakili oleh Jenderal Immamura menandai berakhirnya kekuasaan Kolonial Belanda atas Hindia Belanda.
Ayah pernah berkata bahwa sekejam – kejamnya Penjajah Belanda, namun, Nippon lebih kejam dan beringas. Pemerahan tenaga kerja manusia di berbagai bidang yang tidak manusiawi dengan romusha-nya, hasil bumi dikuras habis demi kepentingan politik Nippon. Perang meletus dimana – mana, nyawa manusia seakan tidak ada artinya.
Untuk mencegah jatuh korban lebih banyak, Ayahku menjalin hubungan asmara diam – diam dengan RIA TAKANO, puteri salah seorang berpangkat dari Nippon Jenderal Akimoto Takano.
Hubungan antara Jenderal Takano dan ayahku adalah sebagai rekan bisnis, tapi, ayahku adalah seorang yang paham benar dengan latar belakang Jenderal ambisius tersebut. Dan memang, Jenderal Akimoto, tidak ingin selamanya menjadi rekan kerja ayah, ia ingin memiliki semua yang dimiliki oleh Ayah. Hingga pada suatu hari, ayah memergoki Jenderal itu berbuat tidak senonoh terhadap beberapa pelayan wanita. Sejak saat itulah hubungan Ayah dengan Jenderal Akimoto merenggang, sementara hubungannya dengan Ria Takano dipisahkan secara paksa beberapa hari setelah melahirkanku. RARA UTARI. Dan aku masih ingat dengan jelas bagaimana Ayah meninggal.
Malam itu, aku tak mengerti ... tak seperti biasanya KI SENTONO, guru spiritualku datang bertamu sambil membawa beberapa orang pria berbadan tegap dan kekar dari perawakan dan aura yang keluar dari tubuhnya, mereka semua memiliki kemampuan di atas rata – rata manusia biasa. Ki Sentono menyuruhku bersembunyi di dalam kamar tidurku, namun, aku yang masih berusia 4,5 tahun bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka di ruang tengah. Ayah, Ki Sentono duduk dikelilingi lebih kurang 25 orang.
‘Terima kasih pak Sentono sudah datang ke rumah ini. Orang – orang berkulit kuning langsat yang menyebut diri mereka Nippon tersebut sudah bertindak di luar batas. Perjanjian yang kubuat dengan Jenderal Akimoto Takano tak dapat lagi mencegah jatuhnya korban dari saudara – saudara kita,’ kata Ayah.
‘Lalu apa kau sudah menemukan musuh dalam selimut itu ?’ Ki Sentono bertanya dengan suara sedikit berbisik.
‘Yah, dia adalah salah satu pegawaiku. Rosyid. Demi sejumlah uang, dia memberitahukan segala – galanya pada Nippon. Termasuk gaman* - ku, juga bagaimana caranya aku menyembunyikan Ria Takano dengan ilmu Tebar Wedhut**. ( gaman & Tebar Wedhut --> Lihat pada catatan kecil ). Tapi, mungkin ini sudah takdirku. Tapi, aku tak ingin mati konyol, setidaknya aku mati sebagai seorang pendekar, mati dengan gagah berani ... bukan mati sebagai pengecut. Demi harga diri, demi mempertahankan negeri ini agar tidak jatuh sia – sia di tangan bangsa asing dan demi semua orang yang telah mengucurkan darah dan keringat. Aku rela,’
‘Anakku, kau berjiwa ksatria... tak sia – sia kami datang memberikan sedikit bantuan tenaga dan kekuatan untuk membasmi Nippon. Mudah – mudahan kelak negeri ini akan lahir RM. TJOJO DININGRAT yang lain. Ki Tedjo Diningrat, ayahmu pasti bangga,’
Menjelang tengah malam, aku mendengar suara ribut – ribut di halaman rumah. Suara desingan peluru, teriakan kesakitan dan bunyi sabetan – sabetan sejata tajam dan aku melompat kaget saat guruku mendadak masuk dan berteriak keras, ‘Mari kita pergi dari sini, takkan kubiarkan orang – orang Nippon itu melukaiku,’ bersamaan dengan itu beberapa orang tentara Jepang masuk sambil memegang samurai. Samurai – samurai tersebut teracung tinggi ke udara kemudian terayun ke arah batok kepala guruku. Tapi, begitu mata samurai mendarat di batok kepalanya, senjata itu bagaikan membentur sebuah benda yang cukup keras dan patah menjadi beberapa bagian.
‘Cepat, Ki pergi dari sini aku akan membendung serangan mereka !! Selamatkan Utari ! Akh !!’ teriakan keras itu disusul dengan jebolnya dinding kamar. Seorang pria dengan tubuh penuh luka bekas bacokan masuk dan aku menjerit ngeri manakala mengetahui itu adalah Ayahku. Detik berikut Ki Sentono berlari keluar sambil menggendongku sementara mataku tak lepas melihat mata samurai terayun bertubi – tubi mencincang tubuh ayah. “Ayah ...” teriakku sekencang mungkin, tapi, sepertinya hanya aku sendiri yang mendengar teriakanku.
Pohon – pohon seakan berkejaran, dunia seakan berputar dan pandanganku gelap gulita, kepalaku pening. Aku masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi dan saat membuka kedua pelupuk mataku, aku sudah berada di tempat lain. Sebuah tempat yang kelak menjadi tempat dimana aku harus menjalani kehidupan yang keras di bawah bimbingan KI SENTONO.
Ki Sentono mengajariku berbagai hal. Hanya satu yang beliau nasihatkan kepadaku jika ingin mencapai apa yang dinamakan kesempurnaan sebagai seorang manusia, aku harus melepas semua nafsu duniawi, mengabaikan dendam dan senantiasa menebar kebajikan. Ayah memang sudah meninggal dan kini yang menjadi pembimbingku adalah guruku. Pernah suatu kali aku mencari kabar tentang Ria Takano, ibuku setelah negeri ini merdeka di tahun 1945. Tapi, tak ada kabar tentang keberadaannya.
***
Saat aku berumur 17 tahun, aku baru bisa diijinkan keluar untuk mencari pengalaman di dunia luar yang kini sudah berubah. Pertama kali yang kutuju adalah tanah kelahiranku.
Rumahku, tempat dimana aku dilahirkan juga dimana kulihat Ayahku tewas secara mengenaskan. Tampaknya rumah itu masih berdiri kokoh, terawat dan ditata seperti dulu sebelum malam kelam itu terjadi. Paman Suratno. Dialah yang kini menjaga rumah Almarhumah RM TJOJO DININGRAT, dia adalah salah seorang buruh setia, dulu ia berbadan tegap dan kekar tapi, kini bagaikan seonggok kayu kering dan sakit – sakitan.
Selain Paman Suratno masih ada orang lain lebih kurang 5 orang yang menjaga rumah tersebut : Hadiman, Farida, Yunna dan Yudhi. Mereka semua adalah pegawai ayah yang setia. Mereka semua sudah dianggap keluarga oleh Keluarga DININGRAT maka dari itu begitu melihat kedatanganku, mereka tampak gembira bercampur haru, bercerita tentang masa lalu dan juga menghilangnya diriku selama lebih kurang 17 tahun ini. Aku kembali menempati rumah tersebut dan bekerja sebagai tabib. Karena itu adalah cita – citaku sedari kecil. Tapi, justru yang kuhadapi adalah orang – orang yang sakit aneh dan tidak wajar, tidak bisa dinalar oleh pikiran manusia biasa. Absurditas Possesion, begitulah aku menyebutnya. Dan aku dihadapkan pada hal – hal yang baru, terkadang membahayakan nyawaku. Demi menyelamatkan mereka, aku akan berusaha sebisa mungkin untuk menyingkap tabir yang menyebabkan para gadis – gadis remaja calon pengantin menderita Absurditas Possession.
***
Wajah gadis itu tampak garang, tatapan matanya begitu liar dengan bola mata yang berwarna coklat tua membuat siapapun yang melihatnya merinding, mulutnya sesekali menggeram, mendesis dan mengeluarkan suara parau. Dari permukaan kulit wajah tampak urat – urat berwarna biru gelap bertonjolan keluar mirip cacing. Sekujur tubuhnya tampak mengejang, tangan dan kakinya meronta hebat hendak melepaskan tali yang mengikatnya pada bangku kayu. Ia berteriak – teriak, melolong pilu dan panjang. Kepalanya dihentak – hentakkan ke depan dan ke belakang tak terkendali. Dia adalah salah satu gadis penderita Absurditas Possession, Amelia.
Aku sudah mengenal Amelia semenjak pertama kali menginjakkan kakiku di kampung tanah kelahiranku ini, dia adalah gadis yang cantik dan periang. Siapapun yang bercakap – cakap dengannya takkan pernah bosan sebab, ada banyak cerita yang ia punya dan aku adalah salah satu pendengar setianya, walau terkadang ceritanya ngawur tapi beralasan. Tapi, setelah mendapatkan belahan jiwanya, kami jarang bertemu terlebih kudengar 1 minggu lagi akan melangsungkan pernikahannya.
Menurut orang – orang di desa kami, siapapun yang hendak menikah haruslah meminta restu dari nenek moyangnya yang sudah meninggal. Ada sebuah tempat yang dianggap sakral dan dikhususkan untuk para gadis yang hendak menikah. Tempat itu adalah sebuah pemakaman kuno yang terletak di sebelah Selatan Desa Pancoran ini.
Disana terdapat sebuah sendang atau danau yang dikelilingi oleh pepohonan lebat dan rimbun. DANAU TELUGU. Barangsiapa yang hendak menikah diharuskan menyucikan diri dengan MATI RAGA, tidak makan dan tidak minum selama 3 hari. Sebagai puncak dari ritual itu, ia harus mandi di danau tersebut.
Konon yang melakukan ritual akan bertemu dengan KANJENG RATU NIMAS SELO, jika Kanjeng ratu memberi ijin untuk menikah, gadis itu akan diberi anugerah kecantikan dan keelokan agar kelak rumah tangganya terhindar dari bencana / malapetaka dan sang suami tidak akan berani selingkuh. Dianugerahi banyak anak dan rejeki.
Yah, aku ingat beberapa hari terakhir ini ia mengajakku pergi ke danau Telugu, untuk mengadakan ritual Mati Raga, tapi aku menolak. Dan, rata – rata gadis – gadis yang hendak menikah pergi kesana untuk ritual. Tapi, mereka semua meninggal secara mengenaskan, mungkinkah ini ada hubungannya dengan ritual tersebut. Kalau memang ada, maka, ini adalah tugasku menyelamatkan nyawa orang. Khususnya, Amelia sahabatku. Aku merasa bersalah karena menolak untuk menemaninya menuju Danau Telugu dan aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku itu.
Saat ini Amelia duduk di hadapanku, meronta, menjerit, melolong dan mengatakan hal – hal yang aneh sekalipun dia adalah Amelia tapi yang ada di dalam tubuhnya bukanlah sosoknya yang asli. Dalam pandanganku, sosok itu adalah seorang wanita berbaju merah, berambut hitam panjang tergerai. Para sesepuh dari keluarga Diningrat dalam hal ini para buruh, berdiri mengelilinginya, tatapan mata mereka tampak tegang. ‘Den Ayu, yakin kau bisa mengeluarkan sosok itu dari dalam tubuh den Amelia ?’ tanya Paman Suratno.
‘Aku akan mencoba sebisa mungkin. Amelia adalah sahabatku, maka, aku harus menyelamatkan nyawanya,’ Setelah berkata demikian, aku menekan jempol kaki Amelia, aku mendesis perlahan lalu berkata, “Aku dengan tulus memohon pada Yang Maha Kuasa, untuk mengeluarkan iblis yang bersemayam di dalam tubuh Amelia ! Keluarlah ... kembalilah ke asalmu ! Tempatmu bukan disini !!” Terdengar lengkingan keras memekakkan telinga, tubuh Amelia meronta hebat hingga tali pengikat yang mengikat tangan dan kakinya terlepas.
Tubuh Amelia melompat tinggi ke udara dan menempel pada langit – langit ruangan, sepasang sorot matanya tajam menatapku, ia menggertakkan gigi – giginya, “Amelia ! ini bukan dirimu lawanlah ! Aku butuh bantuanmu mengusir makhluk ini !” bentakku.
Sosok itu memutar kepalanya hingga dagu menghadap ke atas batok kepala menghadap ke bawah hingga rambutnya yang panjang menggantung di udara. Sebuah gerakan yang tidak wajar untuk seorang manusia biasa. Pada saat yang sama bagian dada hingga perut memutar ke atas dengan gerakan aneh. Kini posisi tubuh Amelia menjadi terbalik, “AMELIA, SADARLAH !!” bentakku.
“He ... he... he... kau pikir dirimu siapa hingga berani mengusirku dari tubuh wanita malang ini,” suaranya yang besar dan parau sempat membuatku terpana. “Siapa, kau ? Berani benar kau merasuki tubuh Amelia. Cepat keluar atau aku akan menggunakan CAMBUK SIH WILUJENG-ku untuk memusnahkanmu,”
“Apa kau tega melukai tubuh sahabatmu ini ? Bukankah kau sendiri pernah berkata, tak seorang pun kau biarkan melukai Amelia ? Mengapa sikapmu kini bertolak belakang ?”
“Itu tidak akan melukainya, tapi, untukmu ... mungkin kau akan sirna selamanya dari dunia ini. Katakan siapa kau, darimana asalmu, dan apa maksudmu dengan semua yang kaulakukan ini ?” sambil bertanya demikian aku melolos ikat pinggangku. Kini tangan kananku memegang erat sebuah kain berwarna putih, mataku tak lepas menatapnya dengan tajam.
Sosok yang menempel di langit – langit itu balas menatapku, tapi, tatapannya kini tak seliar tadi dan aku merasakan adanya perasaan gentar dalam dirinya. Terlebih setelah menatap kain putih di tangan kananku. ”Cepat katakan setelah itu keluarlah dari tubuh Amelia dan kembalilah ke asalmu !”
“He... he... he... he... kau menggertak dengan selendang kumal itu, apa kau tahu bagaimana cara menggunakannya ?” ejek makhluk itu. Aku tak menjawab melainkan melecutkan kain tersebut ke arahnya. ‘Tar ! Tar ! Tar !’ ujung kain tersebut berkelebat menyambar bahu, lengan dan buku – buku jarinya. Ia menjerit kesakitan dan jatuh berdebam di lantai ruangan. Aku segera mengikat tubuh Amelia dengan kain putih tersebut, Amelia berontak berniat melepaskan diri, “Panas ! Panas ! Singkirkan benda ini dariku, singkirkan !” teriakannya menulikan telinga siapa saja yang mendengar, tapi, aku tak peduli. Kuarahkan telunjuk kananku ke dahinya dan sebuah asap putih tipis mengepul keluar. “Katakan ! Siapa kau ? Darimana asalmu dan apa maksudmu mengganggu orang ?”
Tak ada jawaban. Perlahan – lahan wajah Amelia berubah, urat – urat berwarna biru gelap menghilang dan pandangan matanya berubah. Makhluk itu sudah keluar dari tubuh Amelia yang kini tak bertenaga. Amelia jatuh tak sadarkan diri. Aku berhasil mengeluarkan makhluk tersebut tapi, gagal memperoleh keterangan identitas makhluk itu.
Satu minggu setelah pengusiran setan dari dalam tubuh Amelia, gadis itu mengakhiri masa lajang dengan pemuda idamannya. Ia mendapatkan apa yang menjadi cita – cita, harapan dan tujuannya. Memiliki keluarga yang berbahagia. Tapi, sebelum menikah ia sempat menceritakan padaku tentang peristiwa yang menimpanya di Danau Telugu dan membuatku berhadapan dengan sesuatu yang mengganggu pikiranku. Tak ada jalan lain bagiku selain menuju ke Danau Telugu untuk menyingkap misteri yang menyelimuti daerah itu.
***
Aku berangkat ke Danau Telugu bersama dengan Bi Farida dan Bi Yunna. Sekalipun usia dua wanita paruh baya itu sudah menginjak kepala 5, mereka adalah wanita – wanita yang energik. Selama di perjalanan mereka banyak bercerita tentang masa lalu sesekali bercanda. Di tengah perjalanan seorang gadis cilik berdiri di tengah jalan dan tak membiarkan kami lewat. Dia bukan gadis cilik biasa, tapi, ada sesosok makhluk berdiam di dalam tubuhnya. Sosok tersebut berbeda dengan sosok yang merasuk di dalam tubuh Amelia. Sosok ini aku bisa mengusirnya dengan mudah. Setelah ritual pengusiran setan itu, kami bertemu dengan 2 orang wanita cantik berkulit putih yang seorang usianya tak jauh berbeda denganku dan yang lain usianya hampir sama dengan Bi Yunna dan Bi Farida. Sekitar 57 tahunan. Logat bicaranya menunjukkan bahwa dia bukanlah penduduk asli pribumi, lebih mirip dengan logat bicara Jepang. RIA TAKANO dan UKKONAWA, ibu kandung dan adik tiriku.
Pertemuan yang dramatis menurutku, sekian lama mencari keberadaan sang ibu, tapi, baru sekarang kami bisa bertemu. Pertemuan itu membuatku harus membatalkan perjalananku menuju Danau Telugu. Kami saling melepas rindu dan ibu tinggal 3 bulan lamanya sebelum akhirnya mereka kembali ke Jepang.
Sebelum Ibu dan Ukkonawa kembali ke Jepang, mereka kuajak menuju ke Danau Telugu sekaligus menbantuku menyingkap misteri yang membuat para calon pengantin khususnya wanita kerasukan dan berujung pada kematian. ( anda dapat membacanya dalam petualangan Rara Utari lanjutan dari masker ). Dalam perjalanan pulang aku bertemu dengan seorang pemuda yang akhirnya menjadi suamiku JAKA SWALAYA.
Satu yang kusesalkan, ayah tidak bisa lagi melihat anaknya menikah dan memiliki seorang cucu yang memiliki bakat istimewa. Tapi, aku pernah bertemu dengan beliau lewat mimpi. Beliau mengatakan, ‘Nduk, kau bakal memiliki seorang anak perempuan yang luar biasa. Jangan heran sebab, apa yang ia miliki itu adalah warisanku. Jangan pula kau menyalahkan ibumu RIA TAKANO, sebab, ia melakukan itu hanya karena untuk melindungi kita berdua. Tetaplah kau hidup dan rawatlah cucuku hingga kelak menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa, terlebih bagi umat manusia yang membutuhkan bakat istimewanya tersebut,’ Semula aku tak mengerti dengan kata – kata ayah, sebab, saat itu aku belumlah menikah dan memiliki anak. Jadi, aku hanya membiarkan ucapan itu berlalu begitu saja.
Setelah kejadian di Danau Telugu, beberapa bulan setelah Ibu dan Ukkonawa kembali ke Jepang, aku menikah dengan Jaka Swalaya. Usiaku 21 tahun dan memiliki seorang puteri yang kuberinama ARIMBI SWALAYA AYUNINGTYAS. Namun, saat usia Arimbi baru 2 bulan terjadi kekacauan di negeri ini dan membuat kami harus mengungsi. Negeri harus berperang dengan Tentara sekutu yang masih saja bencoba untuk menjajah negeri ini dan kami tercerai – berai. Satu yang jadi penyesalanku, aku harus berpisah dengan Arimbi. Aku dalam posisi yang sulit di salah satu sisi, aku harus menjaga dan melindungi anakku, di sisi lain, aku harus membantu suamiku memukul mundur tentara Sekutu.
‘Kangmas ... aku terpaksa menitipkan Arimbi pada Zahra, kelak jika Tuhan mengijinkan, kita akan mencari Arimbi bersama – sama,’.
‘Jangan bodoh adinda, Arimbi masih membutuhkanmu, kini pergilah jangan hiraukan aku, aku bisa mengatasi tentara – tentara ini dengan segala kekuatanku. Kini pergilah !’ kata Jaka Swalaya sambil mengarahkan tapak kanannya ke arahku juga Zahra yang menggendong Arimbi. Saat itu juga tubuh kami terpental beberaoa tombak ke belakang, aku masih mendengar tangisan Arimbi di sela – sela bunyi tembakan, saat tubuhku melayang semakin lama semakin jauh dan akhirnya aku tak sadarkan diri.
Saat aku membuka kedua pelupuk mataku, aku sudah berada di sebuah gubuk reyot dan seorang lelaki tua duduk membelakangiku sementara Zahra dan Arimbi, tak kuketahui dimana keberadaannya. ‘Tenanglah, nduk... Arimbi baik – baik saja begitu pula halnya dengan Zahra. Kini kau pulihkan keadaanmu yang berantakan itu, setelah sembuh barulah kau bisa pergi mencari Zahra dan Arimbi,’ kata laki –laki tua itu. Dia adalah Ki Sentono guruku, tapi ia kelihatan berbeda dari Ki Sentono yang dulu kukenal. Pakaiannya putih bersih dan wajahnya memancarkan kewibawaan dan kebijaksanaan yang cukup besar.
‘Guru ... bagaimana kau bisa berada disini ?’ tanyaku.
‘Nduk, saatku sudah tiba ... kau sudah mendapatkan kebahagiaan, ada seseorang yang mampu menjaga dan menemanimu saat ini. Tugasku pun selesai. Satu nasihatku, sekalipun kini kau hidup bahagia dan memiliki apa yang kau dambakan sejak kecil ... jangan lupa untuk terus mengingat siapa jati dirimu darimana asalmu ... tetaplah bersikap bijaksana. Itu adalah jalan satu – satunya untuk menjadi manusia yang sempurna. Hiduplah tanpa sekat – sekat pikiran atau persepsi. Ingatlah ini baik – baik,’ setelah berkata demikian Tubuh Ki Sentono mendadak memancarkan sinar putih menyilaukan ia tersenyum untuk kemudian tubuhnya perlahan – lahan lenyap. Entah aku harus senang atau bersedih, beliau melakukan mokswa ***, tanpa sadar titik putih bening mengalir dari sudut mataku dan menetes membasahi tempat tidur dimana aku duduk.
Sekian lamanya aku termenung dan rasa sakit di sekujur tubuhku membuatku merintih perlahan. Astaga, aku baru menyadari bahwa tubuhku penuh dengan luka goresan dan memar pada bahu kiriku. Yah, guru benar ... aku harus memulihkan keadaanku baru kemudian mencari keberadaan Zahra dan Arimbi juga suamiku. Perasaanku mengatakan mereka semua baik – baik saja seperti yang dikatakan guru.
Aku beristirahat penuh dalam gubuk reyot yang ternyata berada di sebuah kaki gunung dengan pemandangan yang luar biasa indah.
Sejauh mata memandang yang kulihat adalah tanaman – tanaman hijau dan birunya langit. Kicauan burung dan suara alam di sekitar tempat itu membuat suasana serasa tenang dan damai. Dari jauh aku mendengar suara gemericik air, terbawa oleh suasana alam yang indah tersebut membuat kaki – kaki ini melangkah menuju ke asal suara air tersebut.
Setelah berjalan cukup lama, menelusuri jalanan yang ditumbuhi rumput – rumputan hijau, menikung dan menuruni dataran berbatu, sepasang mata ini terbelalak, dari ketinggian 10 kaki, air berkapasitas besar melorot turun menuju ke sebuah batu sebesar kerbau. Airnya begitu jernih, sejuk dan dingin sesejuk dan sedingin udara di pagi itu. Aku menarik nafas dalam – dalam, kupenuhi rongga dadaku dengan udara segar alami yang ada di tempat itu. Saat kuhembuskan uap putih keluar dari mulutku.
Satu kali ... dua kali ... tiga kali ... dan seterusnya, tarikan nafas ketujuh, sayup – sayup kudengar suaran tangisan.
Sebenarnya, aku hendak membasuh tubuhku dengan air terjun itu, tapi, tangisan itu membuat rasa penasaranku mendominasi semua keinginan yang ada di dalam diriku. Kupejamkan mata rapat – rapat, sementara seluruh inderaku tertuju pada suara tangisan itu. Tangisan seorang bayi. Mendadak aku teringat pada Arimbi, benarkah dia ada di sekitar tempat ini ? Tanpa pikir panjang lagi kulangkahkan kakiku ke asal suara itu. Suara itu berasal dari arah utara lokasi air terjun.
Yah, benar Utara.
Tubuhku berkelebat ringan menuju ke arah Utara, suara tangisan itu makin jelas terdengar dan dalam jarak lebih kurang 100 meter, aku bisa melihat beberapa sosok bayangan. Wanita dan seekor harimau kumbang yang cukup besar. Wanita itu berumur sekitar 15 tahunan dan pakaiannya compang – camping dan tubuhnya penuh luka bekas cakaran sementara tangannya memeluk erat seorang bayi yang tengah menangis keras di tengah geraman harimau kumbang tersebut.
‘Sekalipun nyawa taruhannya, aku akan terus melindungimu Arimbi,’ rintih wanita itu saat harimau melompat hendak menerkamnya.
‘Ctar ! Ctar !’ aku melecutkan Selendang Sih Wilujeng-ku ke udara. Bunyinya bagaikan petir menggelegar di pagi itu, menghentikan gerakan harimau kumbang tersebut dan hewan itu tampak kurang senang dengan kedatanganku yang menurutnya mungkin mengganggu acara makan pagi.
Saat sepasang mata kami beradu, Harimau itu hanya duduk sambil menggoyang – goyangkan ekornya, ‘Pergilah, ki ... terima kasih karena kau telah mengurungkan niatmu untuk memangsa bayi kecil dan wanita ini, mereka adalah keluargaku,’ kataku. Seperti mengerti perkataanku, harimau itu bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu. Aku mengalihkan pandanganku pada wanita tersebut, tubuhnya masih bergetar hebat karena ketakutan tapi memaksakan diri untuk tersenyum sekalipun wajahnya pucat pasi,
‘Raden Ayu ... syukurlah akhirnya kami menemukanmu ...’
‘Zahra, mengapa kalian ada di tempat ini ?’ tanyaku. Tak ada jawaban wanita itu mendadak lemas dan roboh tak sadarkan diri. Entah, bagaimana perasaanku saat itu yang jelas, aku bersyukur telah menemukan kembali Zahra dan Arimbi. Walau toh akhirnya, aku masih harus berpisah untuk kesekian kalinya karena beberapa hal yang memaksaku harus melakukan itu dan semuanya demi kebaikan puteriku. ARIMBI SWALAYA AYUNINGTYAS.
***