Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Delapan
Malam menyelimuti kota dengan sunyi, angin dingin menyusup melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Di dalam kamar yang bernuansa hangat, Brian memandang wajah istrinya yang masih pucat, dengan Deman yang perlahan-lahan mulai turun.
Genggaman tangan Qilla masih terasa hangat di tangan pria itu, sebuah genggaman lembut yang penuh kerinduan, seakan-akan melepaskannya berarti kehilangan sesuatu yang berharga selamanya.
"Mas tahu kamu marah, mas tahu kamu kecewa. Keluarkan semua perasaanmu, sayang. Jangan diam seperti ini, mas tidak bisa menahan sakitnya melihatmu menjauh dariku," bisiknya lembut, yang hampir menyatu dengan desau angin malam yang menyusup lewat celah jendela. Pandangannya tak lepas dari wajah perempuan yang sangat dicintainya.
Qilla menghela napas panjang, gadis itu masih membelakangi Brian, enggan menoleh ke arah suaminya yang memancarkan kerinduan dan kepedulian.
"Aku bukan marah. Aku hanya... lelah dengan sikap mas yang dingin di sekolah. Aku benci tatapan datar yang mas tunjukkan saat melihatku. Seakan-akan aku bukan siapa-siapa. Padahal aku istrimu, tapi kenapa sikap mas memperlakukan aku seperti orang lain yang tidak berarti bagi mas. "Suaranya lirih, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menusuk hati Brian.
Kesunyian kembali memenuhi ruangan, kata-kata Qilla menghujam seperti pisau tajam yang perlahan-lahan menusuk, membuat Brian merasakan sakit yang tak terkira.
Brian memahami perasaan itu, karena dia juga merasakan hal yang sama-rasa yang menyesakkan, ketika seseorang yang dicintainya terasa begitu jauh. Perlahan, Brian menempelkan wajahnya ke wajah Qilla, menggenggam jemari istrinya dengan lebih erat, mencari kehangatan dan kedekatan.
"Maafkan mas... Maafkan sikap mas yang dingin. Tapi percayalah, mas tidak pernah berhenti memikirkanmu, mas tidak pernah berhenti merindukanmu. Setiap hari, setiap saat, mas ingin memelukmu, tapi mas menahan semuanya. Karena mas ingat janji yang kita buat bersama, dan mas tidak ingin mengecewakanmu."
Dengan gerakan lambat, Qilla menoleh, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang masih hangat oleh sisa demam, meninggalkan jejak kelembutan dan kesedihan di wajahnya.
"Tapi semua itu membuatku sangat kecewa. Dulu, sekolah adalah tempatku mengejar impian, tapi setelah menikah denganmu, sekolah menjadi tempatku merasakan sakit. Setiap hari aku melihatmu, tapi aku tidak bisa mendekatimu, tidak bisa berbicara denganmu. Jarak yang kita buat... sangat menyakitkan, mas."
Tangis Qilla pecah. "Aku tidak bisa jauh dari kamu, mas. Rasanya... sangat menyakitkan saat melihat suamiku sendiri menatapku dengan pandangan yang asing. Aku merindukan... merindukan tatapan hangat mu, tatapan yang selalu membuatku merasa aman."
Tanpa banyak bicara, Brian menarik tubuh Qilla ke dalam pelukannya yang erat dan hangat, seolah ingin melindungi dan menyembuhkan luka yang selama ini Qilla simpan. Brian merasakan tubuh mungil istrinya sedikit gemetar, namun kemudian menjadi tenang saat kepala Qilla bersandar di dada suaminya.
"Kamu tidak sendirian." Brian berbisik lembut. "Mas juga merasakan hal yang sama. Mas pernah berfikir bahwa dengan menyetujui keinginanmu, semuanya akan baik-baik saja. tapi kenyataannya... aku malah membuatmu terluka."
Pria itu mengecup puncak kepala Qilla dengan lembut, sebuah sentuhan yang penuh kasih sayang dan rasa bersalah.
"Maafkan mas, sayang... Mas tidak ingin membuatmu merasa seperti itu. Mas hanya menuruti keinginanmu saat itu, tapi bukan berarti aku tidak pernah memikirkanmu. Mas selalu memikirkanmu. Setiap detik, setiap saat, mas merindukanmu, tapi mas harus menahan diri untuk tidak menunjukkannya di depan orang lain, seperti yang kita sepakati."
Brian menatap wajah Qilla dalam-dalam, tatapannya dipenuhi dengan kasih sayang dan kepedulian. Tangannya terangkat, menyentuh pipi mulus istrinya dengan lembut, mengusap air mata Qilla yang masih membasahi wajahnya. Sentuhan lembut itu seolah-olah bisa menenangkan hati Qilla.
"Maafkan mas, sayang," bisiknya lembut, dengan nada yang tulus dan memohon.
Qilla menatap wajah tampan suaminya, senyum lembut mulai menghiasi wajah cantiknya.
"Bilang dong... kamu sayang aku?" Pintanya pelan, dengan mata yang penuh harapan. Brian tersenyum kecil, lalu menempelkan keningnya ke kening Qilla, membuat jarak antara mereka semakin dekat.
"Mas sayang kamu... dan sangat mencintaimu, lebih dari yang kamu bayangkan, sayang." Qilla tersenyum kecil, lalu memeluk Brian erat, menempelkan tubuhnya ke dada suaminya.