NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hilang begitu saja!

Matahari pagi menanjak perlahan di ufuk timur. Cahaya lembut menembus celah-celah dedaunan pinus, menciptakan garis-garis emas yang jatuh ke tanah lembap. Burung-burung kecil berkicau dari dahan ke dahan, seakan menyambut hari baru dengan riang. Di halaman kecil rumah kayu, Xu Hao dan He Lianxue duduk berhadapan, menyantap sarapan sederhana berupa bubur hangat dan roti kukus. Uap tipis naik dari mangkuk, melayang perlahan ke udara sejuk pegunungan.

Lianxue meletakkan sumpitnya, lalu menatap Xu Hao dengan sorot lembut namun tegas. “Xu Hao, siang ini aku harus kembali ke klan. Ibu memanggilku. Jadi, untuk sementara kau jangan pergi jauh dari rumah. Mengerti?”

Xu Hao menelan suapan terakhir buburnya, kemudian mengangguk. “Mengerti, Kakak.”

“Bagus.” Lianxue tersenyum samar. “Kalau begitu aku pergi sekarang.”

Ia berdiri anggun, mengangkat tangannya. Cahaya perak berkilau muncul dari cincin penyimpanan di jarinya, lalu membentuk pedang panjang ramping dengan ukiran petir yang berliku-liku di bilahnya. Dengan langkah ringan, ia melompat ke atas pedang, lalu tubuhnya melesat ke udara, meninggalkan garis cahaya yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Dalam sekejap, bayangannya menghilang di arah Kota Tianhe.

Xu Hao berdiri di beranda, menatap sosok itu sampai lenyap di balik kabut lembut pegunungan. Hatinya terasa hangat sekaligus kosong. Ia tahu Lianxue peduli padanya, namun ia juga sadar bahwa ia hanyalah seorang remaja tanpa bakat, bergantung pada orang lain untuk berjalan di jalan kultivasi.

Setelah itu, Xu Hao berjalan ke sebuah batu besar yang berada di tepi jurang kecil, tempat ia biasa bermeditasi, saat masa masa pelatihan sebulan penuh. Ia duduk bersila, menutup mata, dan menarik napas dalam. Suara angin yang melintas di antara pepohonan menjadi irama alami yang menenangkan pikiran.

Qi di dalam tubuhnya mulai mengalir. Jalur-jalur yang telah ia buka dengan susah payah berdenyut perlahan, mengantar arus lembut itu menuju dantian. Empat meridian yang terbuka berkilau samar, bagaikan sungai perak yang bercabang dari danau emas di pusat tubuhnya. Namun Xu Hao tahu, itu belum cukup.

Membuka empat meridian hanyalah awal. Masih ada banyak jalur yang tertutup rapat, dan tanpa keberuntungan atau bantuan benda eksternal, mustahil baginya untuk menembus penghalang itu. Ia bukan genius. Ia hanyalah seorang bocah desa miskin yang dibantu untuk masuk ke jalan kultivasi oleh belas kasih paman Cuyo.

“Aku setidaknya harus menjaga apa yang sudah kubuka,” gumamnya dalam hati. “Kalau tidak, bahkan langkah pertama pun akan hilang.”

Ia menenangkan pikirannya, membiarkan aliran Qi menyusuri tubuhnya, membersihkan sisa kotoran tipis dari meridian. Namun tiba-tiba, keheningan itu pecah.

Suara mendesing terdengar dari kejauhan. Xu Hao membuka matanya. Dari langit yang cerah, sebuah bayangan putih meluncur cepat, menebas udara dengan kecepatan yang membuat angin berdesir tajam.

Sosok itu mendarat di tanah hanya beberapa langkah darinya. Seorang pria tua dengan jubah putih panjang, rambut putih terurai sebagian, matanya redup namun menyimpan tajam yang dingin. Ujung jubahnya menyapu tanah berdebu, menimbulkan lingkaran debu kecil.

Xu Hao berdiri, tubuhnya masih diliputi sisa Qi yang belum sempat ditenangkan. Ia menunduk sopan. “Ada perlu apa, Tuan?”

Tatapan pria tua itu menusuk seperti pisau. Bibirnya bergerak, suaranya berat dan penuh tekanan. “Kau anak tidak tahu diri. Karena dirimu, Nyonya Lin Huayue sangat marah.”

Nama itu membuat Xu Hao tertegun. Lin Huayue, istri Tuan Cuyo. Wanita yang dulu dengan terang-terangan menghina dirinya, menyebutnya beban yang tak berguna, layak dibuang daripada dipelihara.

Xu Hao menggenggam tinjunya, mencoba menjaga ketenangan. “Tuan, saya tidak pernah menyinggung Nyonya Lin Huayue.”

Pria tua itu mendengus. “Tidak pernah? Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, bocah. Karena demi dirimu, Tuan Cuyo menghabiskan banyak batu roh untuk membeli Batu Qilin. Batu itu seharusnya digunakan untuk kepentingan klan, bukan untuk beban sepertimu.”

Ucapan itu menghantam Xu Hao seperti palu. Hatinya tercekat. Ia tahu Paman Cuyo membantunya, tetapi baru sekarang ia menyadari betapa besar pengorbanan itu. Batu roh bukanlah barang kecil. Untuk orang sepertinya, itu harga yang terlalu mahal.

Kepalanya tertunduk, bahunya gemetar. “Maaf... Tuan...” suaranya lirih.

Namun sebelum ia sempat melanjutkan, dunia tiba-tiba berguncang. Pria tua itu bergerak begitu cepat, tubuhnya seperti bayangan kabur. Dalam sekejap ia sudah berdiri tepat di hadapan Xu Hao. Tangan keriput namun penuh tenaga itu menjulur, mencengkeram leher Xu Hao dengan kekuatan menakutkan.

“Ukh—!” Napas Xu Hao terhenti. Ia meronta, tangannya berusaha menyingkirkan cengkeraman itu, namun sia-sia. Tubuhnya diangkat tinggi ke udara, kakinya menendang kosong.

Mata pria tua itu dingin tanpa belas kasih. “Kau harus disingkirkan. Jika tidak, kau hanya akan menjadi sumber masalah.”

Suara itu terasa seperti vonis kematian. Xu Hao berusaha mengeluarkan kata-kata, tetapi suara seraknya tak mampu lolos dari tenggorokannya yang tercekik.

Lalu, tubuhnya Xu Hao dibanting ke tanah.

Dentuman keras bergema di puncak gunung. Tulang-tulangnya berderak, rasa sakit menyambar seluruh tubuhnya. Sebelum ia sempat bernapas, cengkeraman itu belum terlepas. Tubuhnya diangkat lagi, lalu dibanting kembali.

“Arghh—!” teriaknya teredam. Rasa sakit itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seakan setiap tulang di tubuhnya dipatahkan satu demi satu, seakan darahnya mendidih dan dagingnya dirobek dari dalam.

Berkali-kali.

Berkali-kali tubuhnya dihempaskan, hingga bentuk tubuhnya tidak lagi sempurna. Rasa sakit menusuk otak, membuat penglihatannya berkunang. Namun Xu Hao masih sadar. Sadar penuh bahwa ia sedang disiksa perlahan-lahan.

Di sela-sela nyeri yang tak tertahan, kenangan muncul.

Xu Hao melihat kembali pagi berdarah ketika ayah dan ibunya dibunuh. Tubuh mereka terjatuh di lantai tanah rumah, darah mengalir, dan ia hanya bisa berdiri kaku tanpa daya. Sekarang, rasa tak berdaya itu kembali. Sebulan ia berlatih, sebulan ia menahan luka batin demi satu tujuan, balas dendam. Namun semuanya berakhir di sini, bahkan sebelum ia sempat menginjak langkah yang menuju kekuatan sejati.

Air mata mengalir di sudut matanya. Dalam hatinya bergema doa terakhir. “Jika ada kehidupan selanjutnya... aku hanya ingin hidup bersama ayah dan ibu dengan bahagia.”

Tubuhnya dilempar keras, melayang jauh ke udara, menabrak udara dingin puncak Tianhe. Dari telapak tangan pria tua itu, kilatan petir biru pekat muncul, melesat ke arah Xu Hao.

Namun sebelum petir itu mengenai tubuhnya, sesuatu yang aneh terjadi.

Cahaya samar menyelimuti tubuh Xu Hao, seperti pusaran kabut tipis. Dalam sekejap, tubuhnya lenyap. Tidak ada darah, tidak ada serpihan daging. Ia menghilang begitu saja, ditelan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Petir itu menghantam kosong, hanya meninggalkan ledakan kecil yang mengguncang udara.

Pria tua itu tertegun. Matanya menyipit, alisnya berkerut dalam. “Hilang...? Bagaimana bisa...?”

Sesaat ia menatap tanah yang penuh bekas darah dan cekungan akibat bantingan tadi. Dengan gerakan ringan, ia menjentikkan jarinya. Qi abu-abu menyapu tanah. Dalam sekejap, bekas luka dan darah itu menghilang tanpa jejak, seakan tidak pernah ada seseorang yang disiksa di sana.

“Tidak penting. Yang jelas, anak itu tidak akan kembali.” Suaranya dingin, nyaris seperti bisikan angin malam.

Ia lalu melompat ke pedang terbang. lalu melesat menjauh meninggalkan puncak Tianhe, menyisakan hanya hening dan desir angin di antara pepohonan pinus.

Di Kediaman klan He.

Aula utama Klan He berdiri megah dengan pilar-pilar giok biru yang memantulkan cahaya lembut dari ukiran formasi petir. Di langit-langitnya tergantung lampu kristal roh yang berkilau seperti bintang di malam tanpa bulan. Kesunyian meraja, hanya terdengar hembusan angin yang menelusup melalui celah jendela, membawa aroma sungai langit yang melingkupi kota Tianhe.

Patriark He Cuyo duduk di kursi utama, kursi yang dibentuk dari kayu spiritual putih, dihiasi ukiran awan dan guratan petir halus yang berdenyut perlahan seolah hidup. Ia tampak tenang, wajahnya berwibawa namun kali ini dibalut kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Di sampingnya, Lin Huayue berdiri anggun, kipas sutra lipat berwarna hijau pucat berada di tangan rampingnya. Sorot matanya lembut, tetapi ada ketegasan yang sukar ditolak dalam setiap perkataannya.

Pintu besar berukir naga langit terbuka perlahan. He Lianxue melangkah masuk. Bayangan tubuhnya ramping dan anggun, rambut hitam panjangnya terurai hingga pinggang, berkilau bagai sutra basah di bawah cahaya lampu roh. Pakaian putih bersulam awan perak yang ia kenakan bergerak lembut mengikuti langkahnya, seolah ada semilir angin yang hanya menemaninya saja.

Begitu mencapai tengah aula, ia berhenti, lalu menundukkan kepala dalam-dalam. Suaranya jernih, tenang, namun membawa rasa hormat yang mendalam.

“Salam ayah, salam ibu.”

Cuyo hanya tersenyum tipis, matanya melembut memandang putrinya. Namun Lin Huayue tak mampu menahan rindunya. Ia segera bangkit, gaun gioknya bergemerisik halus, lalu melangkah cepat ke arah Lianxue. Tangannya meraih pundak putrinya, kemudian memeluknya erat seolah tak rela melepas. Aroma giok dan bunga musim semi menyelimuti pelukan itu.

“Kenapa kau jarang kembali, nak? Ibu sampai merindukanmu.” Suaranya bergetar, meski tetap terdengar lembut.

Lianxue mengangkat wajahnya, mata phoenix abu-biru itu bersinar tenang. “Maaf ibu, aku sedang fokus mengasah Taoisme ku. Dan memperkokoh hati Dao ku.”

Huayue mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ibu tahu itu. Ayahmu sudah memberitahunya.”

Lianxue menunduk lagi, anggun dan penuh hormat. Namun sebelum ia sempat bicara lebih jauh, Huayue memutar tubuhnya, berjalan perlahan membelakanginya. Kipas hijau di tangannya terbuka dengan bunyi halus, seolah menegaskan keputusan yang telah ia tetapkan dalam hatinya.

“Nak,” ucap Huayue tanpa menoleh, “ibu ingin kau bergabung dengan Sekte Lingxiao. Agar perkembangan kultivasimu menjadi lebih baik.”

Suara itu menggema dalam aula luas, membawa getaran yang menusuk hati Lianxue.

“Ibu… ini sangat tiba-tiba.” Lianxue mengangkat wajahnya, matanya memandang penuh keraguan.

Di kursinya, Cuyo menghela napas panjang. Sorot matanya penuh pertentangan, seolah ia ingin bicara, namun terikat oleh sesuatu yang lebih berat daripada sekadar perasaan seorang ayah.

Huayue menutup kipasnya, lalu menoleh perlahan. Sorot matanya tegas, seperti permukaan danau es yang tak bisa diguncang badai.

“Ini semua demi kebaikanmu. Bukankah kau ingin menjadi yang terkuat di benua ini?”

“Iya bu… itu benar. Tapi…” suara Lianxue melemah.

Huayue melangkah mendekat, lalu berhenti tepat di hadapan putrinya. “Tidak boleh ada keraguan untuk melangkah menjadi lebih baik. Jika tidak, jalanmu akan rusak. Ingatlah, jalan Dao tidak bisa di lakukan setengah hati.”

Lianxue terdiam. Bibirnya hendak berucap, namun tak ada kata yang keluar.

Huayue kemudian menepuk pundak putrinya dengan lembut, meski ketegasan masih terasa dalam setiap gerakannya. “Pergilah, besok kau akan berangkat. Pagi sekali kau harus di sini. Ayahmu yang akan mengantarkanmu.”

Lianxue mengangkat kepalanya, menatap wajah ayahnya, mencari setitik penghiburan. Namun Cuyo hanya bisa memejamkan mata sebentar, lalu membuka kembali dengan senyum tipis. Senyum yang mengandung ketidakberdayaan seorang patriark yang harus menyeimbangkan keluarga dan klan.

Akhirnya Lianxue menunduk dalam. “Baiklah, bu.” Suaranya hampir berbisik.

Ia berbalik, langkahnya terdengar pelan bergema di lantai giok putih aula itu. Hatinya terasa berat, seolah setiap langkah membawa beban baru.

Begitu keluar dari aula, ia menarik napas panjang. Angin luar menerpa wajahnya, lebih segar daripada udara berat yang menekan di dalam ruangan itu. Namun pikirannya kacau.

“Bagaimana dengan Xu Hao…?” gumamnya dalam hati. “Jika aku pergi ke Sekte Lingxiao, siapa yang akan membimbingnya? Ayah tidak mungkin selalu menemaninya… ia pasti akan sendirian. Xu Hao masih rapuh, ia baru saja mulai menapaki jalan kultivasi. Bagaimana bila ia tersesat tanpa bimbingan…?”

Tatapannya muram. Kegelisahan itu tak bisa ia hapuskan meski ia tahu keputusan ibunya benar demi masa depannya sendiri.

Lianxue melangkah ke halaman depan. Cahaya siang menyinari wajahnya, kehangatan matahari bercampur dengan semilir angin pegunungan. Panasnya tak menusuk, justru menyejukkan kulit, seolah langit mencoba menghiburnya.

Dengan gerakan lembut namun tegas, ia mengeluarkan pedang terbangnya. Pedang itu bersinar keperakan, garis-garis formasi petir berdenyut samar di permukaan bilahnya. Lianxue melompat ringan, tubuhnya mendarat di atas pedang, lalu dengan satu tarikan napas ia melesat ke udara.

Wussshh—

Angin pegunungan menerpa wajahnya, rambut hitam panjangnya berkibar liar. Dari ketinggian, ia menyaksikan pemandangan Tianhe. sungai berkelok seperti naga giok yang tidur, kota berdiri gagah di atas formasi pelindung bercahaya biru, dan gunung Tianhe menjulang megah ke langit.

Ia mengarahkan pedangnya ke puncak gunung. Setiap hembusan angin yang menerpa tubuhnya seolah mengusir keraguannya, namun di dalam dadanya, kegelisahan tetap berputar tanpa henti.

“Hao’er…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah raungan angin.

Pedang terbangnya melesat semakin cepat, menembus langit biru. Dan dalam sekejap, sosoknya menghilang di balik kabut tipis yang menyelimuti puncak Gunung Tianhe.

1
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Siapa yang menolong Xu Hao
Nanik S
Alur dan Ceritanya sangat bagus
Muh Hafidz
ditunggu updatenya thor
YAKARO: Siap bro, tunggu aja dua bab sehari👍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!