Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Riak Yang Mengguncang
Begitu pintu tertutup, Harvey langsung berjalan menuju Xanara. Langkahnya cepat, sorot matanya dingin, berbeda jauh dari biasanya.
“Dia datang ke sini?” suaranya rendah tapi jelas menahan emosi.
Xanara tidak menunduk. “Ya. Dia cuma bicara sebentar.”
“Bicara sebentar?” Harvey mengulang, suaranya seperti baja yang siap menebas.
“Xanara, aku tahu cara Rey. Dia gak datang cuma buat ngobrol.”
Xanara menyandarkan tubuh ke meja, menatapnya lurus.
“Kalau dia mau main psikologis, aku sudah memotongnya. Aku tegas menolak, sayang. Dia bahkan gak sempat menyentuhku.”
Namun, bukannya lega, Harvey justru melangkah lebih dekat hingga tangannya berada di kedua sisi tubuh Xanara, mengurungnya di meja. Napasnya panas, intens, dan matanya penuh campuran kecemasan dan rasa memiliki.
“Bagus,” bisiknya pelan.
"Karena aku gak akan biarkan siapa pun termasuk Rey mengambil apa yang sudah jadi milikku.”
Xanara tersenyum tipis, separuh menantang.
“Milikmu, ya?”
Harvey menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinganya.
“Kalau perlu aku akan tunjukkan sekarang, supaya gak ada yang lupa termasuk kamu.”
Xanara merasakan detak jantungnya meningkat. Bukan karena takut, tapi karena cara Harvey menyatakan itu dengan campuran protektif dan posesif yang berbahaya. Tangannya otomatis bertumpu di dadanya, mencoba menahan jarak tapi pria itu tidak bergerak mundur.
“Harvey ini butik” ucapnya pelan, setengah berusaha mengingatkan.
“Pintu terkunci,” jawabnya cepat.
Dan dalam hitungan detik, jarak di antara mereka menghilang. Bibir Harvey mendarat di bibir Xanara, keras, menuntut, tanpa memberi ruang untuk membalas selain menyerah pada irama yang ia ciptakan. Tangannya melingkar di pinggangnya, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bertemu sepenuhnya.
Xanara ingin menegur, tapi justru terhanyut dalam ciuman yang semakin panas. Ia tahu, ini bukan sekadar kecemburuan, ini adalah penegasan. Bahwa di luar sana, Rey atau siapa pun boleh mencoba, tapi di sini, hanya ada Harvey dan dirinya.
Ketika akhirnya mereka terpisah, Harvey menatapnya dalam-dalam, suaranya rendah dan berat.
“Sekarang kamu mengerti maksudku?”
Xanara mengangguk, meski senyumnya tipis.
“Ya, tapi ingat aku bukan perempuan yang butuh diselamatkan. Aku bisa melindungi diri sendiri.”
Harvey tersenyum samar, tapi matanya masih menyimpan bara.
“Dan aku akan tetap jadi tamengmu. Suka atau tidak.”
.
.
Pagi itu, Xanara mencoba mengalihkan pikirannya. Tangannya sibuk mengatur kain di atas meja cutting, tapi benaknya masih tertinggal di kejadian semalam saat Rey mencoba menerobos batasnya. Dia tidak menyesal menolak, tapi dia sadar, situasinya belum selesai.
Harvey datang lebih awal ke butik. Senyumnya hangat, tapi matanya penuh tanya.
“Kamu kelihatan gak tenang, sayang?” ucapnya sambil menaruh kotak kopi di meja.
Xanara hanya mengangkat bahu, mencoba memberi jawaban ringan.
“Banyak pesanan, capek aja.”
Harvey tidak langsung percaya. Dia maju selangkah, meraih dagunya, membuat Xanara terpaksa menatap.
“Kalau ada yang ganggu kamu, aku harus tahu.” Nada suaranya berat, protektif, dan sedikit menekan.
Xanara menarik napas. Ada bagian dari dirinya yang ingin jujur, tapi ada pula yang khawatir Harvey akan meledak kalau tahu.
“Gak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Namun, tatapan Harvey berubah tajam.
“Jangan bohong sama aku.” Dia memutar kunci pintu butik, lalu mendekat lebih lagi, menempatkan dirinya di ruang personal Xanara, tidak marah, tapi penuh intensitas.
Jantung Xanara berdebar cepat.
“Harvey”
“Siapa yang buat kamu seperti ini?” tanyanya pelan tapi menusuk.
Xanara tahu, cepat atau lambat, rahasia ini akan keluar. Tapi kalau dia bicara sekarang, hubungan mereka mungkin akan masuk badai besar lebih cepat dari yang dia kira.
Di luar, Rey berdiri di seberang jalan, menatap ke arah butik dari balik kaca mobilnya. Dia tersenyum tipis, seolah tahu kalau ombak pertama dari rencananya sudah mulai menghempas pantai yang selama ini tenang.
Xanara terdiam cukup lama sebelum akhirnya membuka suara.
“Harvey, Rey datang lagi kemarin.”
Alis Harvey langsung mengernyit.
“Rey?” Suaranya berat, tapi matanya sudah berubah dingin.
“Apa yang dia mau?”
Xanara memalingkan wajah.
“Dia mencoba mendekat. Aku menolak. Tapi, aku rasa dia gak akan berhenti di situ.”
Suasana menjadi pekat. Harvey berjalan perlahan ke arah jendela, menyingkap sedikit tirai, lalu tersenyum miring.
“Dia di luar, kan?”
Xanara terkejut.
“Kamu tahu?”
Harvey berbalik, langkahnya mantap mendekati Xanara.
“Sayang, Rey itu gak datang ke sini tanpa alasan. Dia gak butuh kamu, dia butuh lihat aku kehilangan kendali. Dia mau memancing kita, biar aku jadi reaktif, dan kamu mulai ragu.”
Xanara menggigit bibirnya.
“Dan itu mulai berhasil.” Kalimat itu keluar lirih, penuh rasa bersalah.
Harvey menyentuh pundaknya, menggenggamnya kuat.
“Kalau kamu mulai ragu karena ulah Rey, itu artinya dia menang. Dan aku gak akan kasih dia menang.”
Di luar, Rey memang masih di dalam mobilnya. Tapi Harvey tidak keluar menghampiri, dia justru menarik Xanara ke ruang belakang butik, menatapnya tajam.
“Kalau Rey mau main kotor, kita main lebih pintar.”
“Lebih pintar?” Xanara mengulang, setengah bingung.
Harvey tersenyum tipis, dingin.
“Dia mau lihat aku marah. Yang akan dia dapat adalah aku membuat dia percaya kalau aku gak peduli. Padahal, aku akan memotong semua jalannya pelan-pelan sampai dia kehabisan langkah.”
Xanara menatap Harvey, hatinya terombang-ambing antara kagum, lega, dan rasa khawatir. Dia tahu, badai ini belum reda. Tapi untuk pertama kalinya hari itu, dia merasa punya sekutu yang tahu persis cara menghadapi Rey.
Dan dari balik kaca mobilnya, Rey masih memandang ke arah mereka, dan tanpa sadar, Harvey sudah mulai membalik papan permainan.