Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Lagi Mampu Berdiri...
"Selamat malam, Bu Rania," sapa si perempuan
"Saya Clara dari tim legal. Kami akan menjelaskan duduk perkaranya agar Ibu bisa memahami situasinya secara menyeluruh."
Rania menegakkan punggung, bersiap. Tapi dalam hatinya masih berharap pria itu, si pemilik ruangan, akan menyela, akan bicara langsung padanya, agar semuanya cepat selesai, sungguh Rania sudah lelah. Tapi tidak. Dia tetap diam. Hanya duduk, membuka laptop, seolah Rania tak lebih dari urusan administratif yang tertunda.
Clara membuka dokumen pertama, dan seperti palu godam, mulailah penjabaran panjang yang menusuk harga diri Rania.
"Pada tanggal 3 Mei, proyek kerja sama antara perusahaan kami dengan PT. Abadi Sentosa mengalami pelanggaran kontraktual. Dokumen yang diterima tidak sesuai dengan template legal awal. Terjadi inkonsistensi klausul pembayaran dan hak distribusi yang beresiko melanggar eksklusivitas dalam perjanjian sebelumnya."
Satu - satu kesalahan diurai. Kalimat demi kalimat membuktikan bahwa kantor tempat Rania bekerja, sekaligus milik keluarga suaminya, melakukan blunder besar. Dan semuanya... semua itu... mengarah ke Rania, meski perannya sangat terbatas.
Rania menahan napas, ingin menyela, tapi tim legal itu seperti mesin.. Terlatih, profesional, tak memberi celah.
"Kami tidak melihat itikad buruk dari Ibu," ujar Clara pada akhirnya, "namun dari perspektif klien, semua ini terjadi di bawah pengawasan Ibu sebagai pihak yang menandatangani dokumen final".
Rania hanya bisa mematung. Ingin sekali melirik ke pria itu. Tapi apa gunanya? Dia bahkan tak memandangnya lagi. Sibuk dengan laptopnya. Seolah Rania tak ada di ruangan itu.
Tim legal belum berhenti berbicara. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, semuanya seperti hujan batu yang menghantam kepala Rania. Tangannya bergetar di atas lutut, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Ia sudah tak lagi bisa membedakan mana suara yang dibacakan dan mana yang hanya bergema di kepalanya.
Pandangan matanya kabur. Ruangan terasa mengecil, suara - suara terdengar bergema jauh dan asing. Ia mencoba menelah ludah, tapi tenggorokannya terasa kering seperti gurun. Napasnya pendek dan terburu - buru, dada seperti dicekik sesuatu yang tak kasatmata.
"Dan berdasarkan pasal 4.3 serta lampiran B... "
Suara itu terdengar makin menjauh, makin menggema. Dunia perlahan memudar. Rania sempat menggenggam lengan kursi dengan erat, mencoba bertahan, mencoba terlihat kuat.. tapi tubuhnya tak sanggup lagi.
Kepalanya menunduk sejenak, lalu... gelap.
Tubuh Rania ambruk ke samping. Kursi tempatnya duduk bergeser sedikit, menimbulkan bunyi berderit kecil yang terdengar nyaring dalam hening yang tiba - tiba melanda ruangan itu.
Semua orang sontak berdiri. Beberapa anggota tim legal panik. Asisten si pria tampan itu melangkah cepat, tapi hanya pria itu yang tetap tenang, meski keningnya berkerut tajam.
...****************...
Cahaya lampu putih menyilaukan. Suara samar - samar terdengar seperti gumaman dari kejauhan.
"Bu... ibu Rania..."
Kelopak mata Rania perlahan terbuka, pandangannya buram. Satu wajah samar melayang di atasnya, lalu berganti dengan wajah lain.. seorang perempuan muda mengenakan jas kantor dan earset di telinganya.
"Kepalanya terbentur?" terdengar suara pria dewasa yang lebih tenang tapi berjarak.
Rania berusaha bangkit, tapi tubuhnya terasa berat. Seseorang membantunya duduk perlahan. Ketika pandangannya mulai jernih, ia menyadari dirinya masih berada di ruangan tadi... ruang meeting yang kini hanya diisi enam orang. Si pria tampan... bos besar perusahaan, berdiri di ujung meja dengan kedua tangan menyilang di dada. Dua orang lainnya... tiga orang staf legal dan si asisten pribadi, berdiri di dekat pintu, memberi jarak.
"Terima kasih, saya tidak apa - apa," ucap Rania pelan meski suaranya terdengar gemetar.
"Tidak apa - apa?" suara pria itu terdengar dingin. Ia akhirnya melangkah maju. "Anda datang untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang perusahaan Anda buat, lalu tumbang di tengah pembacaan kontrak. Apa Anda sedang main - main, Bu Rania?"
Rania terdiam, menunduk. Suara laki - laki itu dalam dan tegas. Menghantam harga diri Rania.
"Kalau Anda tahu kondisi Anda tidak prima, Anda seharusnya bilang dari awal. Atau lebih baik, kirim wakil. Jangan setengah - setengah."
Rania hanya bisa terpaku di tempatnya, napasnya tercekat, keringat dingin kembali mengalir di pelipisnya. Ia hendak membela diri, menjelaskan bahwa kesalahan itu bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.. ia bahkan hanya mengurus kontrak, bukan pelaksana proyek. Tapi belum sempat bibirnya mengucap sepatah kata pun, suara dingin pria itu kembali terdengar.
"Dalam beberapa hari ke depan, pengacara kami akan membawa ini ke jalur hukum. Perusahaan Anda dianggap tidak memiliki itikad baik."
Nada suara itu begitu tegas dan tak bisa digugat. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Tidak ada niat untuk mendengar. Rania hanya bisa menatapnya dengan mata membulat kaget, hampir tak percaya. Ingin memelas, ingin memohon, ingin menjelaskan, ingin berteriak... tapi tubuhnya terlalu lelah, pikirannya terlalu penuh, dan mulutnya seperti terkunci.
Tanpa sedikit pun menoleh lagi, pria itu berbalik dan melangkah pergi. Jas mahalnya mengepak ringan saat ia berjalan cepat, diikuti oleh para anggota tim legal yang sibuk dengan berkas - berkas mereka. Pintu ruang utama kantor itu terbuka, lalu tertutup kembali dengan dentuman halus... namun cukup keras untuk menggetarkan hati Rania.
Yang tertinggal hanyalah sang asisten. Pria muda berkacamata dengan senyum tipis profesional.
"Silakan pulang, Bu Rania," ucapnya sopan namun datar, seolah kejadian barusan hanyalah pertemuan biasa di jam kerja.
Rania masih duduk diam di kursinya selama beberapa detik. Jantungnya berdebar keras. Dunia seperti berputar. Ia belum tahu harus bagaimana. Lututnya lemas saat berdiri, langkahnya gontai. Ia hampir tak sadar ketika tangan mungilnya menyentuh gagang pintu ruang rapat itu.
Namun, sebelum keluar, matanya menangkap sebuah benda kecil di sudut meja kerja pria itu. Sebuah papan nama berbahan logam gelap dengan ukiran huruf - huruf keperakan yang mencolok.
Askara Julian Atmadja
Chief Executive Officer
Nama itu kini tertancap jelas dalam ingatannya.. seperti goresan pertama pada kisah panjang yang entah akan membawanya ke mana.
(Bersambung)....