Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam di Manila, Rindu di Jakarta
Manila, Filipina – Malam Hari
Dari balik kaca jendela rumah mewah bergaya modern minimalis, Greta Marcelonez menatap kota Manila yang berselimut malam. Lampu-lampu jalan memantul di kaca jendela, sementara tangan kirinya memegang segelas wine merah tua, dan tangan kanannya sibuk menelusuri layar tablet yang menampilkan file-file intelijen.
Wajahnya tegas dan nyaris tanpa emosi, namun sorot matanya tajam—penuh kecurigaan dan kalkulasi.
Sudah lama Greta mencium gelagat tak beres dari sang menantu, Mario Santiago. Dokter muda itu terlalu rapi, terlalu kalem... dan terlalu licin. Apalagi sejak ia mengutarakan niat pindah ke Jakarta dengan alasan "penugasan medis."
Greta tidak mudah dibohongi. Di balik semua itu, ia tahu ada motif lain yang sedang direncanakan.
Malam itu, ia mengambil keputusan. Greta menelepon seseorang—anggota jaringan lama yang masih loyal padanya, seseorang yang biasa bekerja dalam bayang-bayang.
“Aku ingin laporan harian. Lokasi, komunikasi, siapa yang dia temui—terutama jika ada wanita. Fokuskan di Jakarta. Aku ingin tahu semua gerak-geriknya,” ujarnya dingin dan terkontrol lewat saluran terenkripsi.
Suara lelaki dari ujung sambungan menjawab cepat, “Baik, Señora. Kami mulai pantauan malam ini.”
Greta menutup telepon. Ia kembali duduk perlahan di kursi kerja dari kulit putih, menghela napas pelan. Jemarinya mengetuk bibir gelas anggurnya, sementara pikirannya terus berputar.
“Kalau dia benar-benar mengkhianati putriku... aku sendiri yang akan singkirkan dia dari hidup Hanna,” bisiknya nyaris tanpa suara, tapi tajam bagai pisau.
Di meja kerjanya, berkas-berkas terus bertumpuk. Di antara catatan dan foto, satu nama kini mulai muncul berulang-ulang:
Lily Berliana.
Gadis penghibur, wanita ambisius, dan... penggoda laki-laki yang kesepian.
Dari arah pintu, asistennya masuk diam-diam, seorang wanita Filipina paruh baya bernama Lina. Ia menunduk sopan, menyerahkan laporan intel malam itu.
Greta membaca cepat, lalu berujar:
“Patuloy na sinusubaybayan ni Lina ang mga aktibidad ni Mario sa Jakarta. Mahilig bumili ng meryenda ang mga lalaki sa mga babaeng katulad ko. Baka magkasakit si Hanna.”
(Lina terus pantau kegiatan Mario di Jakarta. Pria seperti dia suka ‘jajan’ perempuan seperti itu. Aku takut Hanna tertular penyakit.)
“Ok, Madam. Naiintindihan ko.”
Jawab Lina dengan patuh, lalu pergi.
Greta kembali menatap lampu-lampu kota. Ia menyesap winenya perlahan, lalu menutup matanya sejenak. Di balik semua ketegasan dan strategi bisnis, hatinya masih menyimpan luka dan rindu.
Ia ingin sekali ke Jakarta. Ingin menemui Hanna, memeluknya, dan... mengenal anak bungsunya yang lama hilang—Maya.
Namun urusan bisnis belum rampung. Minggu depan ia harus ke Selandia Baru untuk mengurus ekspansi bisnis perhotelannya.
“God... sana makilala ko ang anak kong si Maya. Hintayin mo si Nanay, anak. Mahal ka ni Nanay...”
(Tuhan... semoga aku bisa bertemu putriku, Maya. Tunggu mama ya, Nak. Mama sayang kamu...)
Ia kembali menyesap anggur. Tapi bukan rasa anggur yang tertinggal di lidahnya malam itu—melainkan rasa bersalah, rindu, dan segenggam harapan.
Jakarta – Malam Hari
Di sudut gang yang tak jauh dari jalan utama Tebet, sebuah warung makan sederhana masih beroperasi hingga larut malam.
Warung itu milik Ahmad, seorang pria paruh baya yang dikenal sabar dan tegas. Warungnya ramai pengunjung, dari pengemudi ojek online hingga mahasiswa yang mencari makan malam murah meriah.
Di salah satu sudut meja, Maya Amelia, gadis berusia 19 tahun, duduk sambil mengetik tugas kuliah di laptopnya. Ia mahasiswa Fakultas Hukum semester dua yang sedang bersiap menyambut semester tiga. Rambutnya diikat asal, wajahnya lelah namun bersinar dalam cahaya lampu warung.
"Yah, pesanan ayam geprek buat Mas Ojek udah siap ya, aku bungkusin," ucap Maya sambil berdiri dan berjalan ke dapur kecil.
"Udah, May. Tinggal kasih saus sambalnya aja. Makasih ya, kamu bantu banget malam ini," jawab Pak Ahmad sambil mengaduk wajan besar di atas kompor.
Maya kembali duduk, membuka laptopnya lagi. Di samping laptop, ada buku pengantar hukum dan catatan kuliah yang penuh coretan. Ia mengetik perlahan, sesekali melirik pelanggan yang keluar masuk.
Tapi pikirannya mulai melayang.
“Kalau Ibu masih di sini, apa beliau bangga liat aku kuliah hukum? Apa beliau pernah kepikiran soal aku?”
Sebuah motor melintas di luar, lampunya memantul ke kaca jendela. Maya menatap pantulan wajahnya di sana—matanya menyimpan kerinduan yang tak bisa diucapkan.
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Tiara masuk:
"Gimana warungnya? Capek banget ya? Tapi kamu hebat loh bisa bantu Ayah terus.”
Maya tersenyum kecil dan membalas:
"Capek sih, tapi aku seneng. Lebih baik sibuk daripada mikirin hal yang bikin sedih."
Ia meletakkan ponsel, lalu kembali mengetik. Tapi pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang masa lalu—tentang ibu yang tak pernah ia kenal sejak kecil. Sosok yang hanya muncul dari cerita singkat sang Ayah, tanpa foto, tanpa kejelasan.
Pak Ahmad datang membawa dua gelas teh hangat. Ia duduk di bangku kosong di sebelah Maya.
“Kuliah gimana? Udah dapet jadwal semester tiga?”
Maya mengangguk, “Udah. Hukum acara pidana masuk semester depan. Aku agak deg-degan sih.”
Pak Ahmad tersenyum, lalu menepuk pundaknya.
“Pelan-pelan aja, May. Yang penting kamu niat belajar, Ayah dukung terus.”
Maya menatap wajah lelah ayahnya, lalu tersenyum.
“Makasih ya, Yah.”
Malam terus berjalan. Di balik warung sederhana itu, Maya tetap berusaha kuat menjalani hidupnya. Di tengah tugas, pelanggan, dan rasa rindu yang belum terjawab—ia tetap berjuang... dan menanti hari saat semua rahasia akhirnya terbuka.
Jakarta – Warung Ahmad, Pukul 21.30 WIB
Maya Amelia menutup laptopnya perlahan. Matanya lelah, tapi senyumnya kecil—ia berhasil menyelesaikan sebagian besar tugas kuliah malam ini.
Ia melirik ponselnya dan membuka aplikasi jadwal kuliah. Matanya langsung berbinar.
“Besok masuk abis Zuhur. Berarti pagi bisa bantu Ayah dulu.”
Ia melongok ke arah dapur, tempat sang ayah masih sibuk mengangkat wajan besar dan membersihkan peralatan masak. Bau minyak dan sambal goreng masih menguar ke seluruh ruangan.
Maya berdiri dan mengambil lap, mulai menyeka meja-meja yang mulai kosong karena pelanggan sudah berkurang.
“Yah, besok kuliah May mulai abis Zuhur. Jadi pagi bisa bantu jualan ya,” ucapnya sambil tetap menyeka meja.
Ahmad menoleh dan mengangguk dengan senyum bangga. “Alhamdulillah. Yaudah, ntar Ayah siapkan sayuran dan bumbunya dari subuh, kamu bantu bungkus-bungkusnya aja ya.”
“Siap, Pak Bos,” jawab Maya sambil tertawa kecil.
Ahmad hanya menggeleng sambil tertawa, lalu kembali membereskan dapur. Dalam hati, ia bersyukur Maya makin dewasa dan bertanggung jawab, meski hidup mereka tak selalu mudah.
Setelah semua meja bersih dan peralatan disusun rapi, Maya duduk kembali di bangku kayu panjang dekat pintu. Ia membuka catatan kuliahnya sekali lagi—sekadar membaca ulang materi hukum agraria yang akan dibahas minggu depan.
Namun, malam yang tenang itu menyisakan sedikit kekosongan di hatinya. Sesekali ia menatap langit malam Jakarta yang redup dari celah warung.
“Ibu… kamu lagi apa ya? Aku di sini baik-baik aja, kok… Tapi pengen banget bisa kenal kamu.”
Seketika suara mobil melintas membuyarkan lamunannya.
“Ayah, ada yang mau dikerjain lagi nggak?” tanyanya sambil menoleh.
“Udah, kamu mandi terus tidur ya. Besok bantuin Ayah lagi pagi-pagi.”
Maya mengangguk. Ia membawa buku dan laptopnya ke dalam rumah kecil yang berada di belakang warung. Walau sederhana, rumah itu hangat dengan kasih sayang yang nyata.
Malam pun makin larut.
Tapi Maya tetap teguh—belajar, bekerja, dan berharap.
Karena ia tahu, perjuangannya bukan cuma untuk masa depan, tapi juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya yang belum terjawab.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏