NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

'Panggung' Audy

Pagi itu, kantor sudah ramai dengan derap sepatu dan bunyi mesin kopi di pantry. Audy baru saja menaruh laptop di meja kerjanya ketika notifikasi chat internal muncul di layar.

“Ke ruangan saya. Sekarang.”

Tentu saja Aldrich.

Audy menegakkan punggung.

Dengan langkah seanggun mungkin (meski jantungnya seperti pemain drum marching band), ia mengetuk pintu ruang Aldrich.

“Masuk.” Suara berat itu terdengar jelas.

Audy membuka pintu dan mendapati Aldrich sudah duduk dengan jas rapi, tangan menopang dagu, seakan baru saja menginterogasi lima orang mafia.

“Bapak memanggil saya?” Audy berusaha menjaga nada suara tetap formal, tapi matanya memantulkan sedikit nyinyir.

Aldrich meletakkan dokumen di meja, lalu menatapnya tajam. “Jam sembilan nanti ada rapat eksternal dengan salah satu partner. Kau ikut.”

Audy mengerjap. “Saya?”

Aldrich menyilangkan tangan. “Apa menurutmu aku bercanda?”

Audy menahan tawa kecil. “Entahlah, gaya bicara Bapak itu… susah dibedakan antara serius dan bercanda.”

Tatapan Aldrich semakin menusuk. “Ini bukan undangan untuk tawar-menawar. Anggap saja… tes lapangan. Sejauh mana kemampuanmu.”

Audy mengangkat dagu, senyumnya menantang. “Baiklah. Ditempatkan di posisi apa pun, saya siap. Jadi notulen, penyaji materi, bahkan penghibur jika suasana rapat jadi tegang pun… saya sanggup.”

Alis Aldrich terangkat. “Penghibur?”

Audy cepat-cepat menggeleng. “Maksud saya, ice breaker, Pak. Jangan dipelintir.”

Senyum tipis muncul di wajah Aldrich, tapi matanya tetap serius. “Kalau begitu, pastikan kau tidak mempermalukan perusahaan. Partner kita ini tidak main-main. Sekali salah langkah, reputasi kita bisa jatuh.”

Audy mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Tenang saja. Saya lahir dan besar di lingkungan yang penuh rapat keluarga—dengan tante-tante tukang gosip yang lebih kejam daripada partner bisnis mana pun. Kalau bisa lolos dari situasi itu, rapat eksternal bukan apa-apa.” ucap Audy asal.

Aldrich menghela napas panjang, antara kesal dan terhibur. “Mulutmu itu, Audy… cepat sekali berputar. Tapi mari kita lihat, apakah otakmu sama cepatnya.”

Audy tersenyum lebar, kali ini tanpa menyembunyikan rasa percaya dirinya. “Tunggu saja, Pak. Jangan terkejut jika justru saya yang membuat Bapak terkesan.”

.....

Begitu keluar dari ruangan Aldrich, Audy berjalan cepat menuju meja kerjanya, wajahnya campur aduk antara syok, gugup, dan sok percaya diri.

Nadine langsung menoleh. “Wajahmu seperti habis diceramahi ustaz kondang. Ada apa?”

Audy menjatuhkan diri ke kursinya dengan dramatis. “Aku diundang, lebih tepatnya di paksa… ikut rapat eksternal jam sembilan bersam Pak Aldrich.”

Clara, yang sedang sibuk mengetik, refleks menghentikan jarinya. “Rapat eksternal? Pertama kali kau ikut rapat sebesar itu, kan?”

“Exactly!” Audy menggeram kecil sambil menutupi wajah dengan map. “Belum ada satu minggu aku disini, sudah dilempar ke arena gladiator. Ini bukan tes, ini ospek level dewa.”

Nadine terkekeh sambil menyodorkan cermin kecil. “Tenang, yang penting kau terlihat profesional. Jangan sampai saat Pak Aldrich melempar pertanyaan, kau menjawabnya seperti di ujian Who Wants to Be a Millionaire.”

Clara menambahkan, nadanya lebih serius. “Tapi hati-hati. Bos kita itu suka menguji orang. Kadang sengaja memberi pertanyaan jebakan. Jika grogi, bisa terlihat sekali.”

Audy langsung menegakkan badan. “Tenang, aku sudah punya strategi. Jika diberi pertanyaan yang sulit, aku pura-pura batuk, lalu minta tolong Nadine atau Clara untuk menjawab.”

Nadine menepuk jidat. “Gila, itu strategi atau taktik kabur?”

Clara tak bisa menahan tawa. “Jangan-jangan saat rapat nanti kau juga terpikir untuk membuka TikTok agar lebih rileks.”

Audy mendengus. “Kalian pikir aku selemah itu? Aku bisa. Dulu aku sering memantau rapat Daddy—eh, maksudnya… ayah temanku—dari jauh. Jadi aku sedikit paham atmosfir rapat seperti apa.”

Nadine dan Clara saling pandang, lalu bersamaan mengangkat alis. “Ayah temanmu?”

Audy cepat-cepat mengalihkan. “Iya, trust me. Aku siap. Yang penting sekarang… bajuku oke tidak?”

Ia berdiri dan memutar badan kecil-kecilan, memperlihatkan blouse putih rapi dengan rok span hitam. Simpel, tapi tetap terlihat classy.

Nadine pura-pura menyipitkan mata. “Hm… standar. Tapi masih aman. Gayamu ini bisa jadi junior staff atau… putri konglomerat nyamar.”

Audy tercekat, lalu cepat-cepat menepuk lengan Nadine. “Ssst! sudah diam.”

Tak lama, notifikasi dari sekretaris pribadi Aldrich masuk ke group chat staff:

“Rapat eksternal dimulai tepat jam 09.00. Dresscode formal. Semua persiapan harus rapi.”

.....

Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 08.50. Nadine menutup laptopnya dengan suara klik mantap.

“Waktu habis. Saatnya menuju ruang eksekusi.”

Audy langsung meremas map di tangannya. “Ya Tuhan, doakan aku tidak pingsan di dalam sana. Jika aku pingsan, tolong fotokan aku dari angle bagus, jangan yang mulut mangap.”

Clara sudah berdiri dengan santai, menenteng bolpoin seperti senjata. “Santai. Yang pingsan itu biasanya malah dapat perhatian ekstra dari bos.”

Audy melotot. “Clara, aku rapat untuk kerja, bukan untuk casting drama.”

Mereka bertiga berjalan di lorong menuju ruang rapat. Suasana mendadak terasa seperti adegan film laga: langkah-langkah sepatu yang bergema, tatapan karyawan lain yang penuh penasaran, dan Audy di tengah-tengah dengan wajah setengah panik.

“Audy, napasmu seperti habis lari maraton,” bisik Nadine.

“Mana ada. Ini aku hanya… warming up,” jawab Audy terbata, padahal wajahnya sudah merah.

Clara tiba-tiba menepuk bahu Audy dari belakang. Audy langsung melompat kecil.

“Astagaaaa, Clara! Ku kira Pak Aldrich sudah nongol untuk menarikku ke ring tinju!”

Nadine terkekeh. “Jika kau deg-degan seperti ini, nanti kau malah spontan bilang ‘halo semuanya’ saat rapat, bukan ‘selamat pagi’.”

Audy berhenti sejenak, memejamkan mata. “Oke, fokus. Senyum sedikit, jangan terlalu lebar, takut dikira menawarkan asuransi. Tegap, tapi jangan kaku. Jika Pak Aldrich nelihatku seperti prajurit siap perang, bisa-bisa aku disuruh jadi satpam, bukan staff administrasi.”

Mereka sampai di depan pintu ruang rapat. Dari dalam sudah terdengar suara orang-orang penting berbincang serius.

Clara berbisik, “Ingat, jangan nyengir berlebihan, dan tolong jangan—”

“Kata-katamu membuatku tambah grogi, Clara!” potong Audy cepat-cepat, wajahnya sudah seperti mau meledak.

Nadine menepuk lengan Audy dengan senyum nakal. “Semangat, Audy. Anggap saja ini bukan rapat… tapi audisi jadi menantu idaman.”

Audy langsung menoleh dengan tatapan horor. “Apa-apaan kau ini, Nadine?!”

Seketika pintu terbuka. Dan… di sana berdiri Aldrich, raut wajahnya dingin seperti es batu.

Tatapannya menyapu mereka bertiga, sebelum akhirnya berhenti tepat pada Audy.

“Masuk,” ucap Aldrich datar, tapi cukup membuat lutut Audy gemetar.

Clara dan Nadine saling pandang, menahan tawa.

Sementara Audy menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Oke, Audy. Ini hanya rapat. Bukan hukuman mati.”

Dengan langkah setengah goyah tapi penuh gaya sok percaya diri, Audy akhirnya melangkah masuk ke ruang rapat—siap atau tidak, inilah saatnya.

......

Ruang rapat terasa seperti arena perang. Dinding kaca memantulkan bayangan belasan orang berpakaian formal, laptop terbuka, tumpukan map, dan tatapan serius yang siap “menguliti” siapa saja yang bicara.

Audy duduk di samping Nadine, tepat dua kursi dari Aldrich. Degup jantungnya seperti drum marching band.

“Audy, ingat napas. Jangan terlihat seperti ikan yang baru naik ke darat,” bisik Nadine.

Audy menegang. “Aku tenang, aku santai. Sangat santai.”

Tapi tangannya sudah hampir meremukkan pulpen yang ia pegang.

Aldrich berdiri, membuka rapat dengan suara tegas. “Baik, kita mulai.”

Aura Cassanova lenyap seketika. Yang ada hanya CEO dingin dengan tatapan tajam. Semua diam, hanya suara Aldrich yang terdengar. Ia menjelaskan strategi ekspansi Jourell Group, lalu membuka sesi diskusi dengan klien.

Beberapa menit berjalan mulus—hingga tiba-tiba Aldrich melirik Audy.

“Audy,” panggilnya, membuat jantung Audy hampir copot.

Semua kepala menoleh. Nadine hampir tersedak ludah.

“Menurutmu, bagaimana implikasi distribusi cabang baru di Singapura jika kita mengintegrasikan pola bisnis B-to-B yang ditawarkan pihak mereka?”

Seketika ruangan sunyi. Bahkan suara ketikan laptop berhenti. Semua menunggu “korban baru” ini grogi.

Audy mengedip pelan. Dalam hati, ia ingin menjerit daddy, tolong aku!. Tapi otaknya bekerja cepat, mengingat setiap kali ia menguping rapat internal David Sinclair.

Ia menegakkan tubuh.

“Menurut saya, pendekatan B-to-B memang menarik, namun kita harus memperhatikan leverage dari sisi branding. Produk Jourell sudah kuat di pasar end-user, terutama kelas premium. Jika dipaksakan masuk lewat jalur B-to-B tanpa penyesuaian positioning, ada risiko brand dilution. Saya menyarankan—kita kombinasikan: B-to-B terbatas hanya untuk kategori middle product, sementara premium line tetap mempertahankan distribusi B-to-C.”

Semua peserta rapat terdiam. Mata mereka membulat. Beberapa mengangguk pelan.

Aldrich menaikkan alis, senyum smirk terselip. Tepat seperti yang ia curigai: gadis ini benar-benar putri Sinclair.

Namun belum selesai di situ. Ketika Aldrich melanjutkan presentasi di layar, Audy tiba-tiba—tanpa sadar—mengambil alih pointer laser.

“Boleh saya tambahkan, Pak?” katanya.

Sebelum Aldrich sempat menjawab, Audy sudah berdiri. Ia menjelaskan data tren konsumen dengan lancar, mengaitkan tabel yang terpampang di layar. Bahasa tubuhnya mantap, suaranya jelas, bahkan melempar sedikit candaan ringan.

“Jika boleh jujur, grafik ini terlihat seperti hasil detak jantung orang yang jatuh cinta—naik turun, tapi arahnya jelas meningkat,” katanya sambil menunjuk garis tren.

Beberapa peserta rapat tertawa kecil, suasana yang tadinya kaku mencair.

Nadine di kursinya sudah memegangi kepala, setengah panik setengah kagum. “Astaga Audy… ini rapat atau stand-up comedy?” gumamnya pelan.

Clara yang duduk di belakang hampir berdiri. “Ya ampun, ini anak bukan staff, ini kamus bisnis berjalan!”

Presentasi setengah sesi benar-benar dikuasai Audy. Ia berbicara lugas, menggunakan istilah profesional, tapi tetap ringan. Para klien terperangah, bahkan salah satu direktur lawan bicara mencatat setiap kata.

Saat Audy menutup dengan kalimat, “Dengan strategi itu, saya yakin ekspansi ini bisa meningkatkan market share minimal dua belas persen dalam enam bulan,” tepuk tangan pun terdengar.

Audy kembali duduk dengan wajah sok kalem, padahal kakinya gemetar di bawah meja. Nadine menepuk lengannya. “Audy, sumpah kau barusan… seperti CEO bayangan.”

Aldrich hanya bersandar ke kursi, menyilangkan tangan. Tatapannya menancap pada Audy dengan penuh selidik.

“Menarik,” ucapnya pelan, senyum tipis muncul. “Sangat menarik.”

Sementara Audy menelan ludah, dalam hati hanya satu yang terlintas: Tolong jangan pecat aku gara-gara kelewatan tampil.

.....

Para peserta rapat mulai berkemas, kursi-kursi berderit, dan kertas-kertas masuk kembali ke dalam map. Nadine sudah mau berdiri untuk menunggu Audy di luar, tapi tiba-tiba suara berat Aldrich terdengar.

“Audy, tetap di sini.”

Langkah Nadine langsung membeku, wajahnya berubah panik. Ia memberi kode mata semangat ke Audy sebelum buru-buru keluar bersama Clara. Kini, tinggal Aldrich dan Audy di ruang rapat luas itu.

Audy meremas ujung mapnya. Astaga, apakah aku akan dipecat? Atau diminta push-up 100 kali sebagai hukuman?

Aldrich berjalan santai ke arah jendela, melepaskan jasnya, lalu berbalik dengan tatapan tajam.

“Kau bukan staff administrasi biasa.”

Audy menelan ludah. “Maksud Bapak?”

“Kau bisa membaca data dengan cepat, menjelaskan dengan bahasa lugas, bahkan membuat orang tertawa dalam forum serius. Itu bukan kemampuan staff baru, apalagi administrasi.” Suaranya tegas, seolah memberi vonis. “Mulai besok, kau pindah ke divisi strategis.”

Audy hampir terjungkal dari kursinya. “Tidak!”

Alis Aldrich terangkat. “Tidak?”

“Iya, maksud saya… tidak bisa, Pak. Saya masih baru. Saya masih butuh belajar. Lagipula… saya nyaman dengan Nadine dan Clara.” Audy menatap meja rapat, seperti anak kecil yang ketahuan bolos sekolah.

Aldrich melangkah mendekat, tatapannya menusuk. “Kenyamanan bukan alasan. Kemampuanmu lebih tinggi dari posisi sekarang. Jika kau tetap di administrasi, itu sama saja menyia-nyiakan talentamu.”

Audy mengibaskan tangan cepat-cepat. “Bukan begitu. saya hanya… belum siap. Jujur saja, saya lebih suka disuruh fotokopi, disuruh isi form, daripada langsung loncat ke… apa tadi? Divisi strategis? Itu kan ngeri sekali kedengarannya.”

Untuk pertama kali, Aldrich hampir tertawa, tapi ia menahannya dengan senyum miring. “Jadi menurutmu, lebih baik mengurus kertas daripada rapat penting?”

Audy mengangguk cepat. “Ya! Maksud saya—sementara ini. Tolong beri saya waktu. Saya janji tidak akan membuat masalah. Saya… Saya belum ingin pindah.”

Aldrich menatapnya lama, lalu menunduk sedikit, menatap tepat ke mata Audy.

“Sayangnya, aku tidak menanyakan ‘ingin’ atau tidak. Aku memutuskan.”

“Ha?”

“Kau naik jabatan.”

“Pak! Bapak tidak bisa seenaknya—”

“Aku bisa. Aku CEO.” Jawaban itu keluar cepat, dingin, tapi justru bikin Audy terdiam.

Keheningan memenuhi ruangan beberapa detik. Audy menggigit bibirnya, wajahnya campur aduk antara jengkel, canggung, dan… sedikit kagum.

Aldrich meraih map di meja, menyelipkan dokumen ke dalamnya. “Mulai besok, tempatmu bukan lagi di ruang administrasi. Itu final.”

Tanpa menunggu protes lagi, Aldrich berjalan keluar ruangan, meninggalkan Audy yang masih melongo.

Pintu rapat menutup dengan bunyi klik.

Audy menengadah ke langit-langit. “Astaga… ini bukan dunia kerja, ini seperti acara reality show. Baru juga hari ketiga, sudah di-upgrade. Besok-besok jangan-jangan aku jadi wakil CEO sekalian.”

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!