Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Kejujuran
Malam harinya Alendra menuntun sepedanya pelan memasuki halaman rumah kecil mereka. Di bagian belakang jok, beberapa paper bag tergantung, sebagian lagi ia ikat di setang agar tak jatuh. Nafasnya sedikit tersengal setelah menempuh perjalanan dari sekolah, namun wajahnya tetap menyimpan senyum tipis—entah karena lega sudah sampai rumah, atau karena masih teringat pada sosok Rayven yang pagi tadi memberinya semua ini.
Begitu ia memarkir sepedanya di dekat teras, Larissa yang sedang menunggunya langsung memandang heran.
“Lho, Len… kamu bawa apa itu banyak banget?” tanya Larissa sambil menghampiri.
Alendra terkesiap sebentar, lalu memaksakan senyum. “Ini, Bu… susu ibu hamil, vitamin, sama cemilan.”
Larissa mengerutkan dahi. Ia menatap tumpukan paper bag di sepeda Alendra yang hampir menutupi seluruh jok belakang. “Susu sama vitamin? Banyak banget, Nak. Dari siapa?”
Pertanyaan itu membuat Alendra spontan menunduk. Jantungnya berdetak cepat. Ia menggigit bibir, bingung harus menjawab apa. Karena dari awal ia selalu berkata pada ibunya kalau ia tidak tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Masa sekarang ia mau bilang kalau semua ini dari Rayven—cowok yang merusaknya?
“Emmm… dari uang bonus, Bu,” jawab Alendra akhirnya, agak terbata. “Kemarin bos di kafe kasih bonus, jadi aku beliin ini sekalian. Gak papa kan Bu?”
Larissa tampak kaget, tapi senyumnya mengembang sesaat kemudian. “Oh, gitu toh. Ya nggak apa-apa dong, sayang. Itu kan uang kamu sendiri. Terserah kamu mau beliin apa, asal buat hal yang bermanfaat kayak gini, Ibu malah senang banget.”
Alendra mengangguk cepat, mencoba menutupi rasa gugupnya. “Iya, Bu. Soalnya aku pengin jaga kandungan aku juga, biar sehat terus.”
“Bagus, Nak. Ibu bangga sama kamu.” Larissa menepuk bahunya lembut. “Udah, sekarang masuk sana, bersih-bersih dulu. Ibu bantu bawain ini sekalian ya. Nanti ibu buatin susunya.”
Alendra menuruti, menuntun sepedanya ke samping rumah sambil membawa beberapa kantong. Larissa ikut membawakan sisanya. Begitu sampai di dapur, Larissa meletakkan paper bag itu di atas meja kayu kecil yang sudah agak kusam.
“Mau rasa apa, Len?” tanya Larissa sambil mulai membuka kantong. “Coklat, vanila, stroberi, pisang… ya ampun, kamu beli semua rasa ini?”
Alendra nyaris tersedak udara mendengar pertanyaan itu. “Ehhh… iya Bu, pengin coba semua aja,” jawabnya cepat, menunduk sambil melepas tas sekolahnya.
Larissa tertawa kecil. “Kamu ini ya, dasar anak penasaran. Yaudah, Ibu buatin rasa coklat dulu deh, biar kamu nggak pusing.”
“Iya, Bu. Makasih ya.”
Larissa mulai menuang susu bubuk ke dalam gelas sambil bersenandung pelan. Sementara itu, Alendra duduk di kursi dapur, memperhatikan ibunya dengan tatapan campur aduk. Di satu sisi ia merasa bersalah karena harus berbohong, tapi di sisi lain ia juga tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semuanya.
Karena bagaimana pun, Rayven memang yang membelikan semua ini. Cowok itu yang datang tiba-tiba di sekolah, menariknya masuk ke mobil hanya untuk memberikan susu, vitamin, dan cemilan. Semuanya dilakukan tanpa kata romantis, tapi penuh kesungguhan—dan entah kenapa, ada sisi lembut dari Rayven yang belum pernah Alendra lihat sebelumnya.
“Len?” suara Larissa membuyarkan pikirannya.
“Eh, iya Bu?”
“Ini susunya udah jadi. Minum ya, biar kamu kuat.” Larissa mendorong gelas hangat itu ke arah putrinya.
“Terima kasih, Bu.” Alendra memegang gelas itu, menghirup aromanya sebentar sebelum meneguk perlahan. Hangatnya susu coklat itu mengalir di tenggorokannya, membuat dadanya terasa nyaman.
Larissa menatapnya dengan senyum lembut. “Kamu harus sering minum beginian, Nak. Jangan sampai kekurangan nutrisi. Anak kamu juga butuh gizi yang baik.”
“Iya, Bu. Aku janji.”
“Kalau ada yang kamu pengin atau butuh, bilang aja ke Ibu ya. Jangan dipendam sendiri.”
Alendra mengangguk pelan. “Iya, Bu.”
Setelah beberapa saat, Larissa pergi ke ruang tamu untuk melanjutkan lipatan pakaian, meninggalkan Alendra sendirian di dapur. Gadis itu menatap sisa susu di gelasnya, lalu pandangannya beralih ke deretan paper bag yang masih belum dibuka.
Ia menarik napas dalam, lalu mulai mengeluarkan isinya satu per satu. Ada vitamin dengan kemasan warna biru lembut, beberapa kotak susu rasa berbeda, dan juga beberapa cemilan sehat. Di antara semuanya, ia menemukan secarik kertas kecil yang terselip di antara bungkus vitamin.
Tulisan tangan itu rapi tapi tegas.
“Minum ini teratur, jangan suka telat makan. Jaga diri baik-baik.” —R.
Jantung Alendra seketika berdegup keras. Ia memandangi tulisan itu lama, seolah tak percaya Rayven benar-benar menulisnya. Tidak ada kata manis, tidak ada janji muluk, hanya kalimat sederhana yang entah kenapa terasa lebih dalam dari apa pun.
Ia menggenggam kertas itu erat, lalu menatap jendela yang menghadap ke halaman rumah. Sinar senja menembus tirai tipis, menyorot wajahnya yang tampak teduh namun sarat makna.
“Rayven…” bisiknya pelan.
Ada kehangatan kecil di dadanya, tapi juga rasa takut yang tak bisa ia jelaskan. Takut kalau perubahan itu hanya sementara. Takut kalau semua ini cuma bentuk penyesalan, bukan niat yang benar-benar tulus.
Namun dalam hati kecilnya, Alendra tahu—Rayven tak lagi sama seperti dulu.
Ia melipat kertas kecil itu dan menyimpannya di laci meja makan, seolah takut ibunya menemukannya. Lalu ia kembali meneguk sisa susu di gelasnya sampai habis.
“Kalau emang lo serius mau tanggung jawab, gue juga bakal kuat, Rayven,” gumamnya lirih. “Tapi gue butuh bukti, bukan cuma kata-kata.”
---
“Tumbennya kamu malam-malam gini pulang ke rumah?” tanya Amara tanpa menoleh dari buku yang sedang ia baca.
Rayven yang baru saja menutup pintu rumah hanya menatap sekilas ibunya. Wajahnya tampak lelah, tapi bukan karena pekerjaan sekolah atau kegiatan band-nya—melainkan karena pikirannya sendiri.
“Gak papa, Mah… Papah di mana?” tanya Rayven datar sambil menaruh tasnya di sofa.
Amara melirik anak tengahnya itu dari atas kacamata baca. “Di ruang kerja. Tumben banget kamu nyari Papah, ada apa?”
Rayven menggeleng cepat. “Nggak, cuma nanya aja. Aku ke kamar dulu, ya. Selamat malam, Mah.”
Tanpa menunggu balasan, Rayven langsung naik ke lantai atas. Amara sempat mengerutkan kening. Sudah lama ia tak melihat anaknya bersikap gelisah seperti ini. Biasanya Rayven dingin, cuek, bahkan kadang tak peduli apa pun selain musik dan mobilnya. Tapi malam ini… berbeda. Ada sesuatu yang jelas ia sembunyikan.
Begitu sampai di kamarnya, Rayven langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur. Lampu kamar hanya ia biarkan setengah menyala, menciptakan bayangan di dinding yang bergerak bersama kegelisahannya.
“Gue ngomong sama Papah gimana, ya?” gumamnya lirih. Ia menatap langit-langit kamar yang putih polos, seolah mencari jawaban di sana.
“Kalau gue jujur… bisa-bisa langsung ditonjok. Tapi gue juga gak mungkin diem. Gue mau tanggung jawab, tapi ngomongnya gimana?” Rayven duduk, mengacak rambutnya frustasi.
Bayangan wajah Alendra tiba-tiba muncul di pikirannya. Gadis itu—dengan tatapan lembut tapi penuh kekuatan. Bahkan saat tahu dirinya sedang hamil, Alendra tidak menangis histeris seperti gadis lain pada umumnya. Ia diam, menerima semuanya sendirian.
Dan itu justru membuat Rayven makin merasa bersalah.
“Harusnya gue yang nanggung semua ini, bukan dia…” desis Rayven, menatap ponselnya. Di layar, pesan terakhir dari Alendra masih belum ia balas: ‘Jangan khawatir, gue baik-baik aja.’
Rayven menghela napas panjang, lalu berdiri. Ia menatap cermin besar di sudut kamar, melihat refleksi dirinya sendiri—remaja kelas 3 SMA yang biasanya tampil sempurna: rapi, dingin, berwibawa, tapi malam ini wajahnya terlihat hancur oleh rasa takut.
“Lo cowok, Ven. Lo gak bisa kabur dari ini,” gumamnya pelan. “Lo harus ngomong sama Papah. Lo harus tanggung jawab.”
Ia melangkah keluar kamar. Setiap langkah menuju ruang kerja sang ayah terasa berat. Tangannya bahkan sempat ragu mengetuk pintu. Dari balik pintu terdengar suara kertas dan derit kursi—tanda bahwa sang ayah, Damian, masih sibuk.
Akhirnya Rayven mengetuk pelan. “Pah…”
“Masuk.” Suara berat dan tegas itu terdengar dari dalam.
Rayven membuka pintu dan mendapati ayahnya sedang memeriksa beberapa berkas di meja. Pria paruh baya itu menatap putranya singkat sebelum kembali fokus pada kertas di tangannya.
“Kenapa malam-malam datang ke sini? Ada apa?” tanya Damian tanpa basa-basi.
Rayven menelan ludah. “Aku mau ngomong sesuatu, Pah.”
“Kalau soal sekolah, bilang aja ke Mama. Papa lagi banyak kerjaan.”
“Bukan soal sekolah.” Suara Rayven mulai serak. “Ini penting, Pah.”
Damian akhirnya menatap putranya lebih lama kali ini. “Oke. Duduk. Bicara.”
Rayven duduk di kursi di depan meja. Tangannya terkepal di pangkuan. Jantungnya berdetak begitu keras sampai ia takut ayahnya bisa mendengarnya.
“Pah…” ia menarik napas dalam. “Kalau… kalau ada orang yang… hamil, dan itu… karena aku, Papa bakal—”
“Berhenti di situ.” Damian menatapnya tajam. “Kamu ngomong apa?”
Rayven menunduk, tak berani menatap mata ayahnya. “Aku… gak sengaja, Pah. Tapi aku janji aku bakal tanggung jawab.”
Suasana di ruangan itu langsung membeku. Suara jam dinding terdengar begitu jelas di antara mereka. Damian meletakkan penanya perlahan, lalu bersandar di kursi, menatap anaknya dengan tatapan yang sulit ditebak antara marah dan terkejut.
“Siapa?” tanyanya datar.
Rayven masih diam.
“Rayven, siapa gadis itu?” ulang Damian dengan nada yang lebih dalam.
Rayven menggigit bibir bawahnya. “Namanya Alendra.”
Damian memejamkan mata sejenak, menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan, hah?! Kamu mau hancurin masa depan kamu sendiri?”
“Aku sadar, Pah!” Rayven akhirnya berani menatap ayahnya. “Aku sadar, dan itu kenapa aku kesini. Aku gak mau lari. Aku mau tanggung jawab.”
“Caranya?” sergah Damian. “Tanggung jawab apa yang bisa kamu kasih, hah? Kamu masih sekolah, Rayven!”
“Aku bisa kerja, Pah. Setelah kelulusan nanti, aku—”
“Kerja?” Damian tertawa hambar. “Kerja apa? Kamu pikir hidup semudah itu?”
Rayven terdiam. Setiap kata ayahnya seperti cambuk yang menyakitkan, tapi ia tahu itu semua benar. Namun, tekadnya tidak goyah.
“Aku gak peduli sesulit apa pun, Pah. Aku cuma gak mau dia sendirian. Aku yang salah, aku yang harus hadapi.”
Damian menatap anaknya lama sekali. Dalam hatinya, ada amarah, kecewa, tapi juga sedikit rasa bangga—karena anaknya, meski ceroboh, punya keberanian untuk mengakui kesalahan.
Setelah hening cukup lama, Damian menghela napas panjang. “Besok Papa mau ketemu sama keluarga gadis itu.”
Rayven langsung menatap ayahnya kaget. “Papa… serius?”
“Serius,” jawab Damian tegas. “Tapi satu hal—kalau benar kamu mau tanggung jawab, kamu harus siap hadapi semua konsekuensinya. Nama baik keluarga, sekolah, bahkan masa depan kamu sendiri.”
Rayven mengangguk mantap meski tubuhnya gemetar. “Aku siap, Pah.”
Damian berdiri, menepuk bahu putranya. “Kalau begitu, kita buktikan.”
Rayven menunduk. “Makasih, Pah.”
Saat Rayven keluar dari ruang kerja, hatinya terasa sedikit lebih lega. Walau ia tahu badai besar baru akan dimulai, setidaknya satu beban besar sudah ia lepaskan malam ini.
Di lorong, Amara memandang putranya dengan tatapan penasaran. “Kamu habis ngomong apa sama Papah? Mukamu pucat banget.”
Rayven tersenyum kecil. “Gak apa-apa, Mah. Cuma… ngomongin masa depan.”
Amara menaikkan alis. “Masa depan?”
Rayven hanya tertawa kecil dan berjalan menuju kamarnya. Tapi dalam hati, ia berjanji: “Mulai besok, semuanya akan gue tanggung. Apapun itu.”