Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raka cemburu
Mobil hitam yang di kendarai Raka melaju pelan di antara deretan kampus yang mulai sepi. Sore mulai merayap, langit berubah jingga, tapi di dalam mobil, suasana jauh dari hangat. Udara terasa berat, seperti ada badai yang menggantung di antara dua jiwa yang seharusnya saling memahami.
Raka duduk di balik kemudi, rahang mengeras, tangan menggenggam setir begitu kencang hingga buku-bukunya memutih. Matanya menatap lurus ke depan, tapi jelas—pandangannya tak fokus pada jalan. Ia masih melihatnya: Reva berjalan berdampingan dengan Dafa, tertawa, bercanda, seolah tak ada dunia lain selain mereka berdua. Dan Dafa—cowok itu tersenyum lebar, tubuhnya condong ke arah Reva seakan ingin melindungi, atau mungkin… menggantikan.
*“Pacar halalku,”* begitu Reva pernah berkata padanya dengan bangga. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, Raka merasa gelar itu goyah.
“Mas,Kenapa kamu diam,saja sih ?” tanya Reva akhirnya, suaranya pelan, penuh kehati-hatian. Ia menoleh ke arah suaminya, mencoba menangkap ekspresi di wajah Raka. Tapi Raka hanya menggeleng, bibirnya rapat, seolah tak ingin satu kata pun keluar dan mengkhianati amarah yang menggelegak di dadanya.
Reva menghela napas. “Mas …ngomong dong ,jangan diam seperti ini ,kalau aku punya salah aku minta maaf ”
"Kamu nggak punya salah kok ."
"kalau aku nggak punya salah ,kenapa mas dari tadi diam saja ,apa mas sakit ?" Reva memeriksa dahi Raka .
"Aku nggak sakit ,aku sehat ." raka masih tetap fokus menyetir.
"Kalau mas nggak sakit ,kenapa mas sedari tadi diam ,tidak seperti biasanya ?" Reva menatap Raka dengan wajah memelas
“Kamu sama Dafa kelihatan akrab banget,” kata Raka tiba-tiba, suaranya datar, tapi menusuk. “Sampai lupa kalau suamimu nunggu di luar?”
Reva terdiam. Ia tahu Raka melihat mereka. Tapi ia tak menyangka Raka akan bereaksi seperti ini.
mendengar ucapan Raka ,Reva nampak tersenyum tipis
“Mas, cemburu sama Dafa ? Kami cuma teman, mas . Kamu tahu itu.”
“Teman yang saling pinjam pulpen cinta? Teman yang ketawa kayak nggak ada hari esok? Teman yang jalan bareng keluar kelas kayak pasangan?” Raka menoleh sebentar, matanya tajam. “Aku nggak buta, sayang .”
Reva menelan ludah. “Aku nggak pernah berbuat yang nggak-nggak,mas. Aku bahkan bilang ke dia kalau aku sudah menikah.”
“Terus kenapa dia masih nempel kayak perangko?” Raka kembali fokus ke jalan, tapi suaranya semakin dingin. “Apa dia nggak ngerti arti ‘sudah menikah’? Atau kamu yang nggak tegas?”
Kalimat terakhir itu menusuk. Reva merasa dadanya sesak. “Kamu nggak adil, mas Aku nggak pernah cari perhatian dia. Aku bahkan nggak pernah memberi harapan.”
“Tapi kamu biarin dia deketin kamu. Kamu ketawa, kamu ngobrol, kamu jalan bareng. Kamu lupa aku yang antar kamu tiap pagi? Yang ngingetin minum air biar nggak dehidrasi? Yang rela muter jalan cuma biar kamu nggak naik angkot sendirian?”
Suara Raka bergetar. Bukan hanya marah—ada luka di sana. Luka yang selama ini ia sembunyikan dengan senyum dan perhatian.
Reva menunduk. Ia tahu Raka benar. Tapi ia juga merasa disalahpahami. “Aku nggak pernah bandingin kamu sama siapa-siapa. mas,Dafa cuma teman kelas. Titik.”
“Kalau cuma teman, kenapa kamu kelihatan lebih santai sama dia daripada sama aku?” Raka melempar pertanyaan itu seperti lemparan batu—keras dan tak terduga.
Reva terkejut. “Apa maksud kamu?”
“Kamu sama aku… kadang kayak ada jarak. Tapi sama dia, kamu kayak… bebas. Kayak nggak perlu jaga sikap. Kayak nggak perlu mikirin perasaan orang lain.”
Reva terdiam lama. Ia menatap jendela, bayangan wajahnya yang murung terpantul di kaca. Mungkin Raka benar. Tapi bukan karena ia lebih nyaman dengan Dafa—melainkan karena dengan Dafa, ia tak perlu berpura-pura kuat. Tak perlu jadi istri yang sempurna. Tak perlu selalu tersenyum meski lelah.
Tapi itu bukan alasan untuk menyakiti Raka.
“Maaf,” bisik Reva pelan. “Aku nggak sadar kalau kamu ngerasa kayak gitu.”
Raka tak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, lalu menyalakan radio—seolah ingin mengubur percakapan itu dalam dentuman musik. Tapi lagu yang diputar justru lagu lama yang pernah mereka dengar bersama saat pertama kali menikah Liriknya bicara tentang cinta yang tak perlu diucap, tapi terasa dalam diam.
Ironis.
Reva menatap Raka dari samping. Wajahnya kaku, tapi matanya—matanya berkaca-kaca. Ia tahu Raka bukan tipe cemburu buta. Tapi kali ini, rasa itu datang bukan hanya karena Dafa, melainkan karena ketakutan: takut kehilangan, takut tak cukup baik, takut bahwa cinta yang ia bangun perlahan-lahan mulai retak.
“Mas ” Reva memanggil lagi, kali ini lebih lembut. “Aku nggak pernah pengin bikin kamu ngerasa kayak gini. Aku sayang kamu. Cuma kamu.”
Raka menghela napas. “Aku juga sayang kamu, sayang . Tapi… kadang aku ngerasa kayak kamu nggak butuh aku lagi. Kayak kamu udah punya dunia sendiri di kampus, sama teman-teman baru, sama… dia.”
“Aku butuh kamu. Setiap hari. Bahkan pas aku nggak ngomong apa-apa, aku tetap mikirin kamu.”
Raka akhirnya menepi di pinggir jalan. Mobil berhenti di bawah pohon rindang yang daunnya bergoyang pelan ditiup angin sore. Ia mematikan mesin, lalu menoleh pada Reva.
“Kalau kamu butuh aku… kenapa kamu biarin dia bilang ‘kita bisa nikah kapan aja’ dan kamu cuma ketawa kayak itu lelucon biasa?”
Reva terperangah. “Kamu dengar itu?”
“Aku lihat ekspresimu. Kamu nggak marah. Kamu malah ketawa. Itu yang bikin aku… ngerasa kayak bukan siapa-siapa.”
Reva menggenggam tangan Raka. “Mas ,Aku ketawa karena aku kaget, bukan karena aku setuju. Aku langsung bilang kalau aku udah menikah. Aku bahkan bilang kalau kamu itu ‘pacar halalku’. Aku bangga sama kamu, Mas. Tapi… mungkin aku salah caranya ngungkapin.”
Raka menatap genggaman tangan Reva. Hangat. Familiar. Tapi hari ini, rasanya asing.
“Aku cuma pengin kamu jaga batas, sayang . Aku percaya kamu. Tapi… aku nggak percaya cowok kayak dia. Dia kelihatan terlalu… nyaman.”
Reva mengangguk pelan. “Aku ngerti. Mulai besok, aku akan lebih hati-hati. Aku nggak mau kamu ngerasa kayak gini lagi.”
Raka menarik napas dalam, lalu mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku juga minta maaf. Aku nggak bermaksud jadi posesif. Tapi… lihat kamu sama dia… aku kayak lihat masa lalu—waktu kamu belum jadi milikku.”
Reva tersenyum kecil. “Tapi sekarang aku milikmu. Dan cuma kamu.”
Raka akhirnya tersenyum—tipis, tapi tulus. Ia menggenggam tangan Reva erat. “Jangan biarin siapa pun ngelupain itu. Termasuk kamu sendiri.”
Mobil kembali melaju. Sore semakin redup, tapi di dalam mobil, kehangatan perlahan kembali. Tak ada lagi diam yang menusuk. Hanya dua hati yang belajar memahami—bahwa cinta tak cukup hanya dengan kepercayaan, tapi juga dengan komunikasi yang jujur, dan batas yang saling dihormati.
Namun, di balik senyum itu, Raka masih menyimpan satu pertanyaan yang menggantung:
*Apakah Dafa benar-benar menyerah?*
Dan di hati Reva, ada kekhawatiran yang tak terucap:
*Apakah kedekatannya dengan Dafa benar-benar tak berbahaya?*
Mereka tak tahu jawabannya. Tapi hari ini, setidaknya, mereka memilih untuk tetap berpegangan tangan—meski jalan di depan mungkin tak semulus yang mereka harapkan.