Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Bi Sumi!"
Wanita paruh baya itu menoleh dan tersenyum.
"Juragan!" Ia menyapa dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Dari mana? Bukankah saya minta Bibi jaga Wulan? Kenapa ditinggal sendirian?" cecar juragan dengan nada suara pelan dan lembut.
Laki-laki dingin itu tidak pernah meninggikan suaranya di hadapan Bi Sumi. Ia menghormati wanita tua itu seperti ibu kandungnya sendiri.
"Ah, ini, Juragan. Bibi tadi dari dapur buat rebus air. Neng Wulan minta air hangat," jawab Bi Sumi sembari menunjukkan teko kecil di tangannya.
"Oh, sini! Biar saya yang bawa." Juragan mengambil alih teko tersebut dari tangan Bi Sumi dan membawanya ke kamar Wulan.
Mendengar langkah kaki, Wulan yang sedang terpejam karena tubuhnya terasa lemas mencoba untuk bergerak.
"Bi, di mana airnya?" tanya Wulan dengan suara yang parau.
Juragan membelalakkan mata mendengar suara Wulan yang aneh. Ia menoleh kepada Bi Sumi bertanya lewat tatapan mata.
"Bibi juga tidak mengerti, Tuan. Tadi Nyai Ratih baru saja datang, setelah pergi neng Wulan jadi lemas. Bibi juga tidak tahu kenapa?" ujar Bi Sumi kebingungan.
Wulan meminta Bi Sumi untuk tidak memberitahu juragan soal barang yang diberikan Ratih. Tanpa berkata-kata, juragan Nata memasuki kamar Wulan diikuti Bi Sumi.
"Bi, tolong! Bantu saya duduk!" Wulan bahkan tidak mampu menggerakkan tangannya.
"Wulan!"
Juragan Nata bergumam pelan, meletakkan teko kecil di atas meja. Ia sigap duduk di tepi ranjang, membantu Wulan untuk duduk. Samar pandangan wanita itu, sesuatu yang diberikan Ratih benar-benar kuat hingga menguras tenaga.
"Air!" Wulan melirih, meminta air yang dibawa Bi Sumi.
Juragan Nata menggerakkan kepala meminta Bi Sumi menuangkan air ke dalam gelas. Lalu, membantu istri kecilnya itu meminum air. Perlahan, air yang dibuat secara khusus itu memasuki tenggorokan Wulan. Memberinya sedikit demi sedikit tenaga dan kesadaran.
Mata yang semula buram, perlahan mulai jernih. Wajah tampan rupawan sang juragan sedikit demi sedikit memenuhi pandangan.
"Bi, kenapa wajah Bibi jadi mirip Juragan?" Wulan meraba pipi juragan Nata, memastikan dia tidak salah melihat.
"Itu memang Juragan, Neng. Bibi di sini," sahut Bi Sumi sembari menahan senyum.
Ini adalah kali pertama Bi Sumi melihat juragan Nata membiarkan seorang wanita menyentuh wajahnya. Sesuatu yang langka terjadi.
Wulan menoleh, kedua pupilnya membesar, detak jantung bertalu-talu. Apalagi saat melihat sosok Bi Sumi yang berdiri di dekat meja. Lalu, kembali menoleh pada wajah yang masih dibingkai tangannya.
"Ah, Juragan! Ampun!" Wulan beringsut mundur, menunduk dalam-dalam dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Jari jemarinya saling meremas satu sama lain, gugup dan takut bercampur jadi satu.
Juragan tersenyum tipis, di matanya sikap Wulan terlihat lucu dan menggemaskan.
"Tidurlah jika kamu benar-benar lelah. Saya tidak akan melakukan apapun jika kamu tidak mau," ucap sang juragan dengan nada lemah dan lembut.
Wulan kembali mendongak, lagi-lagi kedua matanya yang bulat membesar seolah-olah ingin melompat keluar. Hal tersebut benar-benar membuat juragan menahan tawa.
Apa? Dia tidak marah? Bukankah seharusnya tanganku dipotong? Atau dipenggal? Oh, tidak! Ada apa? Dunia sudah terbalik-kah? Juragan yang kejam begitu lembut kepadaku? Tidak, ini mungkin hanya trik agar aku lengah.
"Hei! Kenapa melotot seperti itu? Apa saya terlihat seperti hantu?" tegur sang juragan melambaikan tangan di depan wajah Wulan.
Wulan berkedip memastikan dirinya sedang tidak bermimpi. Ia menoleh pada Bi Sumi, anggukan kepalanya membuat Wulan meneguk saliva gugup.
"Air apa ini? Kenapa warnanya hitam begini?" tanya sang juragan saat menyadari adanya keanehan pada air yang diminum Wulan.
"Bi?" Juragan Nata menoleh pada Bi Sumi.
"I-itu, air khusus yang diminta Neng Wulan, Juragan. Bibi juga tidak tahu apa yang tadi diberikan oleh Neng Wulan," jawab Bi Sumi apa adanya.
Juragan beralih pandangan pada Wulan yang mengunci mulutnya rapat-rapat.
"Air khusus?"
Wulan menganggukkan kepala.
"Boleh saya minum?"
Wulan menggeleng cepat.
"Kenapa?" Juragan bertanya sembari mendekatkan dirinya pada Wulan.
"Eh, tidak boleh!" Wulan merebut gelas tersebut dan menenggak habis seluruh isinya.
Eh?
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa