Berawal dari seorang Pelukis jalanan yang mengagumi diam-diam objek lukisannya, adalah seorang perempuan cantik yang ternyata memiliki kisah cinta yang rumit, dan pernah dinodai oleh mantan tunangannya hingga dia depresi dan nyaris bunuh diri.
Takdir mendekatkan keduanya, hingga Fandy Radistra memutuskan menikahi Cyra Ramanda.
Akankah pernikahan kilat mereka menumbuhkan benih cinta di antara keduanya? Ikuti kelanjutan cerita dua pribadi yang saling bertolak belakang ini!.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28.
Perasaan dalam hati ada bukan karena datang tiba-tiba. Perasaan suka terus berubah menjadi sayang bahkan menjadi cinta itu karena tulus dari dalam hati.
Hati seseorang itu berarti telah menemukan di mana dia harus berlabuh, bukan karena paksaan atau tekanan sepihak.
Jika memang hati Fandy sudah tertambat pada Cyra, seharusnya tidak ragu lagi menolak hati yang lain.
“Mira. Tolong jangan seperti ini. Lekas berdiri sekarang!” tegas Fandy.
Mira menggeleng kuat. “Tidak mau Bang. Sebelum kamu menjawab pertanyaanku tadi.”
Fandy menutup matanya cepat dan menarik napas panjang. “Aku tidak tahu Mira dan tidak ingin tahu.”
“Aku sudah menikah Mira, dan ini cincin yang melingkar di jariku adalah bukti nyata,” kata Fandy seraya menunjukkan cincin nikahnya.
“Tatap mata aku Bang. Agar kamu lihat ada kejujuran dan ketulusanku menyukaimu,” pinta Mira sambil menyentuh kedua pipi Fandy dan menatap matanya.
Fandy enggan membuka matanya. Dia memilih tetap menutup matanya, meski jantungnya kini berdegup makin kencang.
“Tidak perlu Mira. Itu hak kamu menyukaiku dan aku tak bisa melarangnya. Tapi maaf aku tak bisa menerimanya,” tolak Fandy dengan sopan.
“Aku sangat menyayangi istriku. Bagiku dia adalah segalanya,” tegas Fandy lagi.
“Kamu bohong Bang. Aku yakin kamu belum menikah, bisa saja cincin itu hanya aksesoris belaka,” bantah Mira.
“Terserah Mira percaya atau tidak, tapi inilah kenyataannya. Tolong kita hentikan pembicaraan ini!”
“Dari awal sudah kubilang. Kita hanya profesional semata antara pelukis dan modelnya,” ujar Fandy.
Mira menggeleng lagi, lalu memeluk tubuh Fandy dengan erat. Fandy terus berusaha melepaskan pelukan Mira, tetapi gadis itu meronta dan bersikeras terus memeluknya.
Dalam pelukan Fandy tak lama Mira menangis lirih. “Aku awalnya mengagumi semua lukisanmu saat pertama kali mengunjungi lapakmu. Kemudian mulai menyukaimu setelah itu, saat dilukis langsung olehmu di sana juga.”
“Sebelumnya aku bisa bebas memelukmu tadi, membuatku yakin kamu bukan milik siapapun. Membuatku sayang bahkan jatuh cinta padamu Bang,” tambah Mira sambil menangis.
Fandy menghela napas panjang, matanya masih terpejam. Dia berusaha menahan bahkan menolak godaan Mira ini. Fandy seketika merasa trenyuh mendengar curahan hati Mira tadi.
“Terima kasih Mira atas pengakuan jujurmu ini. Kamu tadi bebas memelukku, karena aku sungkan padamu dan kupikir itu hanya pelukan biasa seperti rasa terima kasihmu padaku.”
“Maaf Mira sekali lagi. Aku tidak bisa membalas perasaanmu itu. Aku yakin suatu saat nanti kamu bisa menemukan tambatan hati yang baru,” ujar Fandy.
Mira masih bertahan di pangkuan Fandy. Tetap memeluk erat sambil terus menangis. “Aku akan setia dengan perasaanku ini dan tetap menunggumu Bang. Yakin sekali dengan kata hatiku ini.”
Fandy mengusap lembut kepala Mira. “Aku juga yakin perasaanmu itu akan mendapat balasan dari lelaki yang tepat untukmu. Percayalah, itu bukan aku Mira!”
Cukup lama Mira memeluk Fandy. Kedua insan itu merasakan debaran kuat jantung masing-masing dalam posisi yang sangat dekat.
“Huhuhu... Abang sungguh tega padaku. Aku hanya ingin kamu bukan lelaki lain,” isak Mira.
“Kalau begitu setelah lukisan ini selesai. Aku mau dilukis Bang Fandy satu pose lagi juga dengan baju sesuai pilihanku.”
Fandy terdiam lama seolah berpikir. “Aku boleh menolaknya, kan?”
Cyra menggeleng kuat. “Tidak. Anggap saja sebagai ganti rugi karena Abang telah menolakku,” tegas Mira.
“Maaf Bang. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk terus menahanmu lama tetap berada di dekatku hingga malam tiba,” ucap Mira dalam hati.
Fandy menghela napas lagi. “Baiklah. Karena kamu memaksanya, meski ini bukan kesepakatan kita sejak awal.”
Fandy perlahan melepas pelukan erat Mira, lalu berdiri dan membopongnya melangkah ke sofa. Mendudukkan Mira pelan-pelan di sofa warna krem.
“Sudah jangan menangis lagi. Air matamu itu menghapus make-up yang bagus tadi, jadi jelek deh sekarang,” canda Fandy seraya menghapus air mata Mira dengan ibu jarinya.
“Berarti aku cantik dong setelah make-up tadi?”
Fandy mengangguk dengan senyum tipis. “Ini respon jujurku, semoga bisa membuat hatimu lebih baik.”
Mira merasa senang dan meraih tubuh Fandy lagi untuk dipeluknya. “Terima kasih Bang. Suasana hatiku menjadi sedikit lebih baik."
Fandy sempat terkejut, tak menyangka Mira kembali memeluknya. “Iya. Sudah cukup Mira. Aku harus menyelesaikan lukisanmu tadi,” ucap Fandy sambil melepas pelukan Mira.
Saat Fandy melepaskan pelukannya. Mira dengan cepatnya. “Cup… cup… cup.” Dua kecupan di pipi dan satu kecupan di bibir Fandy.
“Mira. Ka-kamu!” Fandy terlonjak kaget dibuatnya, jantungnya terasa terus berdegup kencang.
“Kecupan tadi adalah bukti kalau aku beneran sayang dan cinta Bang Fandy,” ucapnya sambil tersenyum manis.
“Ya Tuhan! Mira kenapa kamu seperti ini? Bagaimana respon istriku jika mengetahuinya nanti?”
“Dia tidak akan tahu, selama Abang tidak menceritakannya,” kata Mira santai.
Fandy mengacak-acak rambutnya seolah kesal. “Arghhh… kamu ini buatku pusing dan serba salah jadinya.”
Mira hanya tertawa. “Maaf Bang. Tadi reaksi spontanku karena senang. Sekarang Abang mau lanjut lukis sketsa berikutnya atau menyelesaikan yang tadi dulu?”
“Itu bukan spontan. Tapi kamu sudah niat sejak awal, kan?”
Mira terkekeh seolah puas mengerjai Fandy. “Mungkin bisa dibilang begitu Bang.”
Fandy mengedikkan bahunya, malas membahas lagi. “Aku pilih menyelesaikan yang tadi dulu,” kata Fandy sambil berlalu dari hadapan Mira.
Mira menatap Fandy yang berjalan menuju tempatnya melukis. Hatinya senang, apa yang direncanakannya berhasil.
Bisa memeluk Fandy dengan puas, bahkan mencium pipi dan bibirnya meskipun hanya kecupan tapi ia sangat bahagia.
“Kita lihat saja nanti bang Fandy. Hatimu goyah atau tidak. Apa kamu masih mau bertahan dengan istrimu atau berpaling kepadaku?”
sudah nolak malah di biarkan ada2 saja nih Fandy😩