Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 7
Mentari pagi menembus jendela besar kamar yang semalam menjadi tempat istirahat Nara. Cahaya hangat membelai wajahnya, membangunkannya perlahan. Ia membuka mata, lalu duduk pelan di ranjang mewah yang masih terasa terlalu besar untuknya.
Setelah mandi dan berpakaian sederhana, Nara berjalan pelan keluar kamar. Rumah itu tenang, meskipun udara pagi membawa aroma wangi roti dan teh hangat dari arah dapur.
“Nara, pagi, Sayang!” sambut Melisa ramah saat melihatnya datang. Ia sedang memotong buah di meja makan, mengenakan daster mewah yang elegan berwarna lembut.
“Pagi, Ma…” jawab Nara sambil tersenyum tipis.
“Tidurmu nyenyak?”
“Iya ma….meski masih agak kikuk tidur di tempat baru.”
Melisa tertawa kecil. “Wajar sayang, tapi tenang aja, lama-lama tempat ini bakal kerasa kayak rumah sendiri kok.”
Nara hanya mengangguk, hatinya hangat mendengar tuturan lembut melisa.
Tiba-tiba terdengar langkah cepat dari tangga. Gadis berseragam sekolah muncul, rambutnya dikuncir seadanya. Cika.
Matanya menatap Nara sejenak. Tidak tajam. Tidak ramah juga. Lebih seperti… menilai.
“Cikaaa, sini… kenalan sama calon kakak iparmu,” panggil Melisa ceria.
Cika menuruni tangga tanpa terburu-buru. Ia lalu berdiri agak jauh dari meja, menatap Nara dengan ekspresi datar.
“Pagi,” sapanya singkat.
“Pagi… Cika,” jawab Nara sopan, memberikan senyuman kecil.
Hening sesaat. Lalu Cika berjalan ke dapur, mengambil botol susu dari kulkas, menyesap langsung dari gelas. Ia seperti tidak tertarik bergabung.
Melisa menghela napas sambil tersenyum kaku. “Maaf ya, Cika itu memang butuh waktu. Dia bukan anak yang cepat akrab.”
Nara mengangguk. “Tidak apa-apa, Ma. Saya ngerti.”
Cika menoleh sebentar, lalu bicara tanpa menatap siapa pun. “Aku berangkat dulu.” Ia menyambar tasnya, lalu berjalan ke arah pintu.
“Cika…!” panggil Melisa cepat.
Cika berhenti.
“Bilang dulu dong. Maaf… Mama tahu ini baru untuk kamu juga. Tapi cobalah sedikit ramah. Setidaknya… hargai dia.”
Cika tidak menjawab. Tapi sebelum keluar pintu, dia sempat melirik ke arah Nara. Dan walau sekilas, pandangan itu bukan lagi dingin. Lebih seperti… penasaran.
Nara memandang pintu yang tertutup di belakang Cika.
Melisa menepuk bahunya pelan. “Tenang saja. Kalau dia sudah suka sama orang, bisa lebih cerewet dari mama. Tapi prosesnya pelan.”
Nara tersenyum, kali ini lebih tulus.
“Aku nggak keberatan pelan, Ma. Yang penting tulus.”
Melisa mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia semakin yakin, Nara memang punya tempat di rumah ini. Tinggal bagaimana waktu membuktikan dan mungkin, menyembuhkan.
Setelah selesai sarapan bersama, Nara berdiri dari kursinya dan mengambil tas kerja kecil miliknya. Ia merapikan sedikit ujung blus yang terlipat sebelum berpamitan.
“Aku berangkat kerja dulu ya ma,” ucapnya lembut.
Melisa menoleh dari arah dapur, alisnya terangkat. “Mau naik apa, Sayang?”
“Taksi online saja, Ma.”
Namun Melisa langsung menggeleng cepat. “Tidak usah. Biar Zean yang antar kamu.”
Nara langsung kaget. “Nggak usah, Ma. Aku beneran bisa sendiri.”
“Gapapa sayang, kalian bareng saja sekalian zean berangkat kerja. Lagian,kamu calon istrinya. Masa pergi sendirian?” jawab Melisa santai, namun nadanya tak memberi ruang penolakan.
Zean muncul dari balik ruang tengah, mengenakan jas dan memegang kunci mobil. Ia hanya menatap sebentar ke arah mereka.
“Aku berangkat dulu ya ma”pamitnya pada melisa menyalim dan mencium pipi melisa dengan penuh cinta.
Nara menatap punggung Zean yang menjauh, lalu beralih pada Melisa dengan pandangan meminta ampun.
Melisa tersenyum penuh makna. “Ayo, cepat. Nanti kamu telat.”
Dan begitulah, beberapa menit kemudian, Nara duduk di kursi penumpang mobil Zean. Keduanya diam. Jalanan lengang, tapi suasana dalam mobil terasa lebih sempit dari biasanya.
Zean menyetir dalam hening. Matanya lurus ke depan. Tak ada sapaan, tak ada basa-basi.
Nara menunduk. Sebenarnya ia tidak nyaman, tapi ada hal lain yang lebih mendesak. Sebuah hal yang terus mengganggu pikirannya sejak semalam.
Setelah tarik napas pelan, ia akhirnya bicara.
“Aku ingin bicara sedikit,” ucapnya hati-hati.
Zean tetap fokus pada jalan, tapi menjawab tanpa jeda, “Silakan.”
Nara menoleh ke arahnya sejenak. “Aku tahu kita menikah bukan karena cinta. Tapi di hidupku, ada dua orang yang sangat berarti. Mereka bukan keluarga kandung, tapi… mereka orang yang membesarkan aku sejak aku kehilangan semuanya.”
Zean diam. Ia tidak menjawab, tapi tidak juga memotong.
Nara melanjutkan, “Pak Riyo dan Bu Ninik. Mereka bukan siapa-siapa dalam catatan hukum, tapi mereka segalanya bagiku. Dan aku nggak mau mereka tahu pernikahan ini dari undangan atau orang lain. Mereka berhak tahu langsung. Dari kita.”
Zean menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan.
“Lanjutkan saja.”
“Aku ingin kamu datang. Temui mereka. Secara resmi. Lamarlah aku di depan mereka… meskipun ini semua hanya formalitas.” Lanjut nara.
Ia menelan ludah, lalu menambahkan dengan suara lebih pelan, “Aku cuma ingin mereka tahu… bahwa aku tidak menjalani ini diam-diam. Bahwa aku masih menjaga martabatku, di mata orang yang aku anggap keluarga.”
Beberapa detik berlalu dalam hening. Zean tetap menyetir, tapi akhirnya berkata pelan, “Baik. Aku akan datang malam ini. Bersama orang tuaku.”
Nara menatapnya. Tak ada basa-basi, tak ada janji manis, hanya kejujuran singkat yang mengejutkan dirinya.
“Terima kasih,” bisiknya.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah toko garment, tempat kerja Nara. Jaraknya masih beberapa meter dari pintu toko, tapi Nara tidak banyak protes.
Ia membuka pintu mobil, lalu sebelum turun, sempat menoleh dan berterima kasih pada zean walaupun tidak ada respon jawaban dari pria itu.