Melati, mantan atlet bola pingpong, menjadi tersangka pembunuhan sepupunya sendiri yang adalah lawan terakhirnya dalam turnamen piala walikota. Setelah keluar dari tahanan, ia dibantu teman baiknya, Aryo, berusaha menemukan pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
Namun ternyata Melati bukan hanya menghadapi licik dan bengisnya manusia, namun juga harus berurusan dengan hal-hal gaib diluar nalarnya.
"Dia, arwah penuh dendam itu selalu bersamamu, mengikuti dan menjagamu, mungkin. Tapi jika dendamnya tak segera diselesaikan, dibatas waktu yang ditentukan alam, dendam akan berubah menjadi kekuatan hitam, dia bisa menelanmu, dan mengambil kehidupanmu!" seru nenek itu.
"Di-dia mengikutiku?!" pekik Melati terkejut.
Benarkah Aryo membantu Melati dengan niat yang tulus?
Lalu, siapa pelaku yang telah tega menjejalkan bola pingpong ke dalam tenggorokan sepupunya hingga membuatnya sesak napas dan akhirnya meninggal?
Mari berimajinasi bersama, jika anda penasaran, silahkan dibaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingatan Yang Disegel
"Datanglah ke gedung lama, gedung olahraga yang lama ditinggalkan, tepatnya di belakang panti asuhan!" Tegas dan dingin, suara Ega terdengar dari seberang telepon.
"Kau?!” pekiknya merasa mengenali suara angkuh itu. “Buat apa aku kesana?"
"Datanglah sendirian, kau akan tahu setelah sampai!"
"Tapi—" belum sempat Melati bertanya lagi, Ega mengakhiri panggilan telepon itu.
Kemudian, gantian ponsel Aryo berdering.
"Kau, tidak merusak rencana kan?" tanya Ega langsung pada tujuannya.
"Hmm, apa kau yang mengirim gadis ini ke rumahku?" tanya balik Aryo.
"Dia akan aman di rumahmu, setidaknya sementara. Kau jaga dia, sementara aku akan mengurus Melati. Sudah saatnya dia tahu beberapa hal."
"Kau yakin ini saat yang tepat?"
"Mau menunggu sampai kapan? Sampai arwah-arwah itu mengambil alih salah satu dari kita?"
Aryo terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Ega. "Baiklah, aku akan menjaga Mika. Tapi, pastikan kamu tidak menyakiti Melati," Aryo akhirnya menjawab dengan nada yang tegas.
Ega tertawa kecil di seberang telepon. "Aku tidak akan melukainya, setidaknya... belum.”
Aryo tidak terlalu yakin dengan jawaban Ega, tapi dia tahu bahwa Ega tidak akan mendengarkan peringatannya. "Aku akan menjaga Mika. Lakukan apa yang kamu harus lakukan," Aryo akhirnya mengatakan, sebelum menutup telepon.
Aryo kembali ke sisi Melati, yang masih berusaha membangunkan Mika. “Kau, pakai saja motorku, aku akan menjaga dia disini.” Aryo mengatakannya dengan nada yang santai, mencoba menyembunyikan kebimbangan dalam hatinya.
Melati menatap Aryo dengan curiga. “aku tidak tahu apa rencana kalian, bahkan kamu tak terkejut dengan keanehan-keanehan ini. Tapi baiklah aku akan menurut."
Aryo tersenyum tipis. "Kau, diminta menemui Ega, kan? Pakai ini untuk berjaga-jaga," ucapnya sedikit canggung seraya menyerahkan sebuah bungkusan kecil dari saku jaketnya.
Melati meraihnya dengan sedikit ragu, tanpa bertanya ia membuka lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna coklat tua dari bungkusan itu.
"Jangan salah paham, itu hanya peninggalan orang tuaku, semacam jimat keselamatan."
Melati membuka kotak kecil itu dan menemukan sebuah cincin tua dengan desain unik di dalamnya. “Cincin kuno?”
Aryo mengangkat bahu, "Seperti yang aku bilang, itu hanya cincin keluarga. Aku ingin kamu membawanya untuk berjaga-jaga. Ega mungkin tidak bisa dipercaya sepenuhnya."
Melati memandang cincin itu dengan perasaan yang campur aduk. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi saat bertemu dengan Ega, ia bahkan tak pernah percaya dengan hal-hal mistis, jimat, atau semacamnya. Tapi melati memilih tak mendebat, meski akal sehatnya terus memberontak.
"Terima kasih!” kata Melati dengan suara yang sedemikian rupa ia berusaha agar terdengar lembut.
Aryo tersenyum tipis, "Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya ingin kamu aman." Aryo kemudian memandang Mika yang masih terbaring di sofa, "Aku akan menjaga Mika. Kamu pergi saja dan berhati-hati."
Melati mengangguk, memasukkan cincin itu ke dalam kantongnya, dan bersiap untuk pergi menemui Ega.
Dengan mengendarai motor milik Aryo, tak sampai sepuluh menit, Melati tiba di gedung tua yang terbengkalai di belakang panti asuhan, sesuai instruksi Ega. Dia memarkir motor dan berjalan menuju gedung tersebut dengan hati-hati.
Melati memperhatikan sekitar, mencari tanda-tanda kehadiran Ega. Namun suasana sore itu begitu lengang, sunyi, hanya terdengar suara derik jangkrik musim kemarau.
Melati kemudian memasuki gedung tua, dimana pintunya seakan sengaja dibiarkan sedikit terbuka. "Ega?" panggil Melati, suaranya menggema di dalam gedung yang sunyi.
Melati berusaha menajamkan penglihatannya, hanya mengandalkan pantulan matahari sore itu. “Agak gelap, kemana manusia itu!” gerutunya mulai kesal namun ia tetap melangkah, semakin masuk ke dalam.
Melati terkejut ketika dia menyadari bahwa dirinya sudah berada di tengah-tengah lingkaran cahaya lilin yang lembut namun mengerikan. Gedung tua yang terbengkalai ini terasa semakin pengap dan gelap, seolah-olah kegelapan itu sendiri memiliki nyawa dan sedang mengintainya. Bau debu dan kelembaban memenuhi udara, membuat pernapasannya terasa berat.
Lilin-lilin yang mengelilinginya menciptakan bayangan-bayangan menakutkan di dinding-dinding yang kusam, membuat Melati merasa seperti sedang berada di dalam sebuah ritual aneh. Suara angin yang berhembus lembut melalui jendela-jendela yang pecah menambah kesan seram.
"Ega?" panggil Melati, suaranya terdengar bergetar. "Apa yang kamu lakukan?" Dia memandang sekeliling, mencari tanda-tanda kehadiran Ega atau sesuatu yang lain. Tapi tidak ada jawaban, hanya keheningan yang mencekam.
Melati merasa sedang diawasi, dan itu membuatnya semakin waspada. Dengan hati yang berdebar kencang, dengan napas yang mulai terasa berat, ia memperhatikan sekeliling, menunggu hal tak terduga selanjutnya.
"Bagaimana, kau masih tidak merasakan sesuatu?" tanya Ega kemudian. Suaranya berat menggema memecah keheningan Suasana redup sore itu. "Ah, mungkin karena ini masih jam tiga sore, tapi tidak ada waktu jika harus menunggu sampai malam."
Melati terkejut mendengar suara Ega, dan dia langsung menoleh ke arah sumber suara itu. "Apa maksudmu? Lilin apa ini?" tanya Melati, mencoba menyembunyikan rasa takutnya.
Ega tersenyum, dan Melati bisa melihat sinar mata Ega yang tajam dalam cahaya lilin yang lembut. "Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu padamu, Melati. Sesuatu yang mungkin kamu tidak sadari tentang dirimu sendiri."
Melati merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini. "Apa yang kamu bicarakan?" desaknya, mencoba untuk tetap tenang. "Dan apa yang kamu maksudkan dengan 'tidak ada waktu jika harus menunggu sampai malam'?"
Ega tidak menjawab pertanyaan Melati, tapi malah melangkah lebih dekat ke arahnya. "Kamu akan tahu segalanya, Melati. Sabar dan diam di tempatmu sekarang!”
Ega merapalkan sesuatu, mulutnya komat-kamit dengan suara yang hanya terdengar seperti mendesis. Lalu sebuah asap keabu-abuan muncul di samping Ega.
Melati terbelalak, saat dari balik kepulan asap itu, muncul seorang nenek yang sudah dikenalnya. "Nenek?!" pekik Melati semakin terkejut.
Nenek itu menjulurkan tangan kanannya, "Stop! Jangan berani melangkah keluar dari lingkaran cahaya itu!" perintahnya kemudian.
Melati yang sudah mengangkat sebelah kakinya hampir melewati barusan cahaya lilin itu pun mengurungkan niatnya, kemudian kembali berpijak di dalam lingkaran lilin yang menyala.
"Jika kau berani keluar dari lingkaran itu, maka kau akan mati!" sentak Ega dengan tatapan tanpa ampun. "Ah, tidak. Mati terlalu ringan untukmu!"
"Ega!" gertak sang nenek membuat pemuda itu terdiam.
"Melati, ada banyak hal yang tidak kamu tahu, dan kami hanya ingin meluruskannya. Apa kau siap?" tanya Nenek itu. Entah darimana, tapi kali ini ditangannya, sebuah tongkat kayu tergenggam erat seolah itu adalah senjata.
Melati terbelalak, tidak percaya apa yang sedang terjadi. "Apa... apa yang terjadi?" tanya Melati, suaranya bergetar.
Nenek itu menatap Melati dengan mata yang tajam. "Melati, kamu memiliki darah yang kuat. Darah yang bisa membangkitkan kekuatan besar. Tapi ada yang ingin mengambil kekuatan itu dari kamu."
Melati merasa bingung. "Siapa yang ingin mengambil kekuatan itu?" tanya Melati, rasa takutnya mulai menghilang digantikan rasa penasaran.
Ega menyela, "Tidak penting siapa. Yang penting adalah kamu harus siap untuk melindungi diri sendiri." Suaranya keras, tapi ada sedikit kekhawatiran di baliknya.
Nenek itu mengangguk. "Ega benar, Melati. Kamu harus siap. Karena jika tidak, maka kamu akan menjadi mangsa empuk bagi mereka yang ingin mengambil kekuatanmu."
Melati mengambil napas dalam-dalam, mencoba memahami situasi. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Melati masih berusaha mencerna.
"Aku akan membantumu untuk mengingat darimana kamu berasal, dan kenapa kamu masih hidup hingga sekarang,” senyum lembut penuh misteri tersungging di bibir nenek itu.
"Jangan salah paham, kami melakukannya bukan karenamu, tapi karena kami merasa lelah karena seseorang penjahat masih berkeliaran bebas, karena hanya kamu yang bisa mengalahkan orang itu!" terang Ega dengan suara yang dingin tanpa ekspresi yang berarti.
Melati merasa seperti disiram air es oleh kata-kata Ega. "Penjahat?" ulang Melati, pikirannya mulai berputar. "Siapa yang kamu maksudkan?"
Nenek itu mengangguk, "Ya, Melati. Ada seseorang yang sangat berbahaya yang telah menyebabkan banyak kerusakan dan kehancuran. Dan kami percaya bahwa kamu adalah satu-satunya yang bisa menghentikannya."
Melati merasa beban berat jatuh di pundaknya. "Tapi... aku tidak tahu apa-apa tentang semua ini," kata Melati, merasa frustrasi. "Aku tidak tahu apa yang aku bisa lakukan."
Ega menyeringai, "Itu karena ingatanmu disegel. Tapi kami akan membantu kamu mengingatnya. Tapi kamu harus siap untuk menghadapi kebenaran yang mungkin tidak kamu inginkan."
Melati mengambil napas dalam-dalam, "Aku siap. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi." Dia merasa ada sesuatu yang besar dan berbahaya yang sedang menanti dirinya.
"Duduklah di sana, di kursi itu, lalu ikuti suaraku! Hanya suaraku!"
...****************...
Bersambung