"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Siang itu Galang pulang lebih awal. Namun ia mendapati suasana sepi di rumahnya.Galang menutup pintu perlahan, menggantung jas kerjanya di gantungan, lalu menatap sekeliling ruang tamu yang sunyi. Biasanya, suara tawa kecil Reihan dan senyum lembut Tiara akan menyambutnya begitu ia melangkah masuk. Namun kali ini, hanya keheningan yang menyambutnya.
Alisnya berkerut. Ia menoleh ke arah taman belakang yang terlihat melalui kaca besar ruang tamu tampak kosong. Ayunan kecil yang biasa tempat Reihan tidur pun diam tertiup angin sore.
"Bu Suti?" panggil Galang sambil berjalan ke arah dapur.
Perempuan paruh baya itu muncul tergesa dari arah ruang makan.
"Oh, Tuan Galang… Anda sudah pulang."
"Iya. Di mana yang lain? Biasanya jam segini Tiara dan Reihan di luar."
Bu Suti menelan ludah pelan, terlihat ragu sebelum menjawab.
"Mereka di kamar, Tuan. Sejak tadi siang Nyonya Raisa juga naik ke atas menemui mereka."
Raut wajah Galang langsung berubah.
"Ada apa?" tanyanya cepat, suaranya terdengar tegang.
Bu Suti menggeleng cepat.
"Saya juga tidak tahu pasti, Tuan. Tapi tadi ada tamu… Nyonya Nancy datang bersama seorang wanita muda. Setelah itu suasana rumah jadi agak aneh."
Galang terdiam sejenak. Nama itu, Nancy membuat pikirannya langsung bekerja cepat. Ia tahu wanita itu sahabat lama ibunya, tapi cara Bu Suti mengatakannya seolah sesuatu terjadi setelah kedatangannya.
"Baik," gumamnya pelan.
Ia langsung melangkah naik ke lantai dua, melewati setiap anak tangga dengan langkah mantap namun hatinya dipenuhi rasa khawatir. Sesampainya di atas,Galang menatap pintu kamar Reihan, lalu melangkah pelan.
Tok Tok Tok
"Ma...Mama" pekiknya pelan.
Perlahan Galang memutar handle pintu, Raisa dan Tiara langsung menoleh padanya. Galang melangkah masuk namun ia merasa heran saat pandangannya tertuju pada mata Tiara yang sudah membengkak.
"Ada apa, Ma? Apa yang terjadi?" tanya Galang heran,hatinya tampak cemas.
Raisa menarik nafas pelan,
"Tadi, Nancy datang. Kau masih ingat bukan dengannya?" ucapnya pelan.
Galang hanya mengangguk kecil dan masih mendengarkan penjelasan ibunya tanpa memotong ucapannya sama sekali.
"Dia... ibu mertua Tiara dulu." sambung Raisa.
Galang membelalak, matanya melebar. Jika Nancy mantan mertua Tiara,
"Maksud Mama, Tante Nancy?" ulang Galang heran.Raisa hanya mengangguk.
"Itu artinya Denis Perkasa adalah putranya," lanjutnya lirih.
Raisa mengernyit,
"Kau tau tentang Denis? Padahal kan kalian belum pernah bertemu? Dan... bagaimana kau bisa..."
"Tiara sudah memberitahu ku, Ma. Bahkan semuanya." potong Galang cepat.
Raisa terdiam sesaat, menatap putranya yang kini berdiri dengan wajah serius. Tatapan Galang begitu tegas, namun jelas ada emosi yang bergejolak di balik ketenangannya kemarahan, kekhawatiran, dan rasa ingin melindungi.
Tiara yang duduk di tepi ranjang hanya menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya. Reihan tertidur di pelukannya, wajah mungilnya tenang meski suasana di sekitarnya terasa berat.
"Wah, ternyata dunia begitu sempit." ucap Galang sambil menatap Tiara yang masih menunduk.
"Apakah tante Nancy juga tau Tiara tinggal di sini?" ucapnya lagi.
"Untungnya tidak. Namun dia sempat melihat Tiara." sahut Raisa sambil menggeleng pelan.
Galang melangkah mendekati Tiara, manarik kursi yang ada di dekat ranjang bayi,
"Tiara, kau jangan mencemaskan apapun.Cukup fokus pada Reihan. Sisanya aku yang urus." ucap Galang tulus.
Tiara mendongak perlahan, matanya yang sembab menatap Galang dengan campuran haru dan takut. Suaranya bergetar ketika akhirnya ia bicara,
"Tapi, Tuan… kalau Nancy tahu aku di sini, dia tidak akan suka. Aku tahu seperti apa dia. Dia tidak akan diam saja.”
Galang menggeleng pelan, nada suaranya tenang tapi tegas.
"Dia tidak akan menemukanmu, Tiara. Aku tidak akan membiarkannya. Selama kau di rumah ini, tidak ada yang bisa menyentuhmu bahkan Denis sekalipun."
Tiara menggigit bibir bawahnya, air mata kembali menggenang di pelupuk mata. Ia ingin percaya, tapi bayangan masa lalu begitu kuat menghantuinya. Wajah dingin Nancy, nada suaranya yang menusuk, dan semua penghinaan yang pernah ia terima seolah kembali bergema di kepalanya.
"Dia sudah cukup membuatmu menderita. Sekarang giliranmu untuk hidup tenang. Kau sudah cukup kuat bertahan sejauh ini." lanjut Galang dengan nada yang lebih dalam.
Tiara tak kuasa menahan tangisnya lagi. Air mata mengalir deras di pipinya, namun kali ini bukan karena takut, melainkan karena merasa lega. Ada seseorang yang benar-benar berdiri di pihaknya.
Raisa mendekat, duduk di sisi Tiara sambil menepuk lembut bahunya.
"Dengar kata Galang, Tiara. Kau tidak sendiri lagi. Kalau Nancy tahu dan mencoba datang ke sini, aku yang akan menghadapinya sendiri."
Galang menatap ibunya sejenak, lalu menunduk dalam-dalam sebagai tanda hormat. Suasana kamar menjadi hening sejenak, hanya suara napas lembut Reihan yang tertidur di pangkuan Tiara mengisi ruangan. Galang memandang putranya lalu mengulurkan tangan, mengusap lembut kepalanya.
"Kau tau, Tiara. Kami beruntung kau di sini. Terutama untuk putraku." ucap Galang lirih.
"Terima kasih, Tiara," lanjutnya.
Tiara tersenyum tipis di antara tangisnya, suaranya nyaris berbisik.
"Tidak Tuan, seharusnya Tiara lah yang harus berterima kasih. Jika bukan karena Nyonya, Tiara tidak tau bagaimana hidup Tiara."
Raisa menatap mereka berdua, senyum kecil terukir di wajahnya meski hatinya masih diliputi kecemasan. Ia tahu, ini baru awal. Nancy bukan wanita yang mudah menyerah, dan jika benar ia mulai mencurigai sesuatu… maka badai itu pasti akan datang.
Namun kali ini, Raisa tidak akan mundur. Ia menatap Tiara dan Galang bergantian, lalu mengucap pelan namun mantap,
"Mulai sekarang... karena kau bagian dati keluarga ini, jadi... apapun yang terjadi kau tak akan melewatinya sendiri. Kita akan hadapi bersama." ucap Raisa.
Tiara menatap Raisa dengan mata berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan tangis yang ingin kembali pecah. Kalimat itu begitu sederhana, namun maknanya terasa begitu dalam—sesuatu yang belum pernah ia dengar sejak lama. Sejak kehilangan segalanya, ia selalu berjalan sendiri, menanggung luka tanpa ada tempat untuk bersandar.
"Terima kasih, Nyonya..." ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
Raisa tersenyum hangat, mengusap lembut punggung tangan Tiara.
"Panggil aku Mama saja," katanya pelan, namun tegas.
"Aku ingin Reihan tumbuh mengenalmu sebagai bagian dari keluarga ini, bukan orang asing yang hanya numpang singgah." tambahnya.
Tiara tertegun. Ucapan itu membuat dadanya terasa hangat. Ia menunduk dalam, menahan isak kecil yang lolos tanpa bisa dicegah. Galang yang sejak tadi memperhatikan hanya bisa mengembuskan napas lega. Ia tahu ibu mertuanya sudah benar-benar menerima Tiara.
"Terima kasih, Ma…" jawab Tiara akhirnya, dengan suara gemetar.
Galang berdiri, menepuk lembut bahu ibu mertuanya lalu menatap Tiara.
"Mama memang paling baik. Kalau saja Reina masih hidup. Dia mungkin melakukan hal yang sama." katanya.
Raisa menatap anak menantunya itu, Ada kerinduan saat menyebutkan nama mendiang putrinya. Ia sadar, Galang masih menyimpan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Tatapan Raisa melembut, tapi suaranya terdengar bergetar saat ia menatap wajah anak laki-lakinya.
"Reina pasti akan bangga padamu, Lang. Kau tidak hanya menjaga Reihan dengan penuh kasih, tapi juga belajar melindungi orang lain dengan hati yang tulus." ucapnya lirih.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️