Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARGA YG TAK BISA DI TAWAR
Hening.
Langit di luar jendela kaca kantor itu berwarna kelabu, seolah ikut menahan napas bersama Maya.
Pintu ruangan tertutup rapat di belakangnya. Ia berdiri di tengah ruangan luas bergaya modern minimalis, dengan kursi kulit hitam dan meja kayu mahal tanpa satu berkas pun yang tampak berantakan.
Lalu dia melihatnya.
Adrian Lesmana.
Pria itu berdiri di balik mejanya, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana hitam pas badan. Dingin. Terlalu tenang. Terlalu… berkuasa.
"Anda datang lagi."
Nada suaranya netral. Tak terkejut, tak juga hangat.
Maya menelan ludah. "Saya ingin bicara. Tanpa basa-basi."
Adrian mengangguk. "Duduklah."
Maya menarik napas dalam-dalam dan duduk. Tangannya gemetar, tapi wajahnya dipaksa tetap tegar. Ia harus. Ini demi Nayla.
"Saya akan langsung ke intinya," ujarnya, menatap Adrian lurus-lurus. "Saya butuh Anda untuk menangani kasus hak asuh anak saya."
"Dan?" Adrian menyilangkan tangan, menyandarkan tubuh di kursi kulitnya. "Apa yang membuat saya harus tertarik?"
Maya menggigit bibirnya. "Saya tahu… Anda tidak murah. Dan saya tahu Anda tidak selalu dibayar dengan uang."
Tatapan Adrian mengeras. "Hati-hati dengan kata-katamu, Maya."
"Saya… saya menawarkan apa pun yang saya punya. Kalau itu tubuh saya, maka—"
"Jadi kamu rela menyerahkan dirimu padaku demi memenangkan hak asuh anakmu?"
Maya mengangguk, pelan namun pasti. "Ya. Kalau itu satu-satunya cara."
Adrian bangkit dari kursinya. Langkahnya pelan, tapi mantap, mendekati tempat Maya duduk. Ia berdiri tepat di depan wanita itu, menatapnya dari atas.
"Berapa banyak kamu sudah dengar tentang saya?"
Maya mendongak, mencoba menahan rasa takut. "Saya dengar Anda tak terkalahkan di pengadilan. Dan... bahwa Anda kadang menerima bayaran tak biasa. Itu saja."
Adrian menunduk sedikit, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari Maya.
"Dan kau percaya pada semua itu?"
"Saya tidak punya pilihan lain."
Keheningan menguasai ruangan. Detak jam dinding terdengar seperti palu godam di kepala Maya.
Akhirnya Adrian berbisik:
"Kalau aku terima kasus mu, kamu bukan hanya klien. Kamu akan jadi milikku. Sepenuhnya. Tubuhmu, waktumu, bahkan keberanianmu. Aku yang tentukan kapan, di mana, dan bagaimana."
Maya menunduk. Pipinya memerah. Tapi ia bersuara pelan, "Saya hanya ingin ini cukup... sekali. Atau hanya saat Anda inginkan. Tidak setiap waktu..."
Adrian menggeleng pelan. "Ini bukan menu restoran, Maya. Kamu tidak datang ke sini untuk pilih-pilih."
Ia berjalan memutar, berdiri di belakangnya. Suaranya dingin di telinga Maya.
"Kamu pikir kamu bisa tawar-menawar? Kamu pikir kamu bisa serahkan tubuhmu satu malam, lalu semua beres? Reza akan menyeretmu ke pengadilan, mempermalukanmu, menghancurkanmu. Aku satu-satunya yang bisa menahannya. Dan kamu akan ikut permainanku... atau keluar sekarang juga."
Maya mengepalkan tangan. Air matanya menggantung, tapi tak jatuh. Ia menengadah.
"Kalau itu harga yang harus saya bayar… maka saya bayar."
Adrian menatapnya beberapa detik. Lama. Kemudian, dia kembali ke meja dan duduk, mengambil pena dan sebuah berkas kosong.
"Beri aku detail lengkap. Semua yang pernah dilakukan Reza. Semua kebohongan, ancaman, bahkan kalau dia pernah menyentuhmu secara paksa. Aku ingin tahu semuanya. Tak ada yang boleh disembunyikan."
Maya menarik napas pelan. "Baik."
Adrian menatap langsung ke matanya.
"Mulai malam ini, kamu milikku. Di dalam dan luar pengadilan. Aku akan lindungi kamu, tapi kamu juga akan menuruti aku. Dan kamu tidak akan menyentuh pengacara lain, bicara ke media, atau mundur sebelum aku mengizinkan."
"Kalau kamu langgar," lanjutnya dingin, "aku bukan hanya mundur dari kasusmu. Aku akan pastikan Reza mendapatkan Nayla. Dan kamu tidak akan pernah melihat anakmu lagi."
Maya menutup matanya sesaat. Napasnya berat. Tapi dia mengangguk.
"Ya, Pak Adrian."
"Jangan panggil aku pak. Panggil aku Adrian… atau apa pun yang ku minta nanti."
Maya memejamkan mata.
Dan saat dia membuka mata lagi, tak ada jalan kembali.
kamu harus jujur maya sama adrian.