Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
"Pak... bapak pacaran sama Reinan ya?"
Yuan hanya tertawa kecil, sambil menambahkan lauk ke piring Reinan.
"Untuk saat ini belum"
"Menurut kamu gimana, Reinan?"
Blush
Wajah Reinan merah padam. Mendengar pernyataan Yuan makin salah tingkah.
"Kita cuma temenan kok" senyum Reinan kikuk.
Mendengar pernyataan Reinan, membuat Yuan berfikir sepertinya ia punya kesempatan untuk lebih dari sekedar teman dengan Reinan.
Karena sudah larut, Yuan dan Joseph pulang. Setelah pintu tertutup, suasana apartemen jadi hening. Minji duduk di sofa, langsung menatap Reinan dengan tatapan menyelidik. "Oke, sekarang waktunya bayar utang cerita."
Reinan gelisah "Utang apa lagi sih?"
Minji menyilangkan tangan.
"Lo jangan pura-pura lupa! Ceritain ke gue gimana bisa lo sama Pak Yuan bisa sedeket ini? Tega banget lo biarin gue planga plongo gak tau apa-apa gini"
Reinan menghela napas berat, lalu menatap sahabatnya itu dengan serius.
Lalu ia menceritakan semuanya pada Minji.
Kecuali soal yang di club , meski itu titik awal pertemuan mereka. Namun sebaiknya, hal itu hanya diketahui oleh Reinan dan Yuan saja.
****
Siang itu Yuan duduk berhadapan dengan Tae-sung, sekretarisnya. Beberapa dokumen perjalanan bisnis ke Jeju terbuka di meja.
"Saya ingin Reinan ikut ke Jeju... tapi dia masih anak magang. Rasanya aneh kalau tiba-tiba saya memintanya masuk dalam rombongan."
Tae-sung mengangguk sambil menimbang. "Kalau begitu, kita bisa masukkan dia ke tim dokumentasi. Divisi komunikasi pemasaran memang butuh catatan perjalanan seperti foto, report, konten internal. Itu alasan paling wajar sih Pak."
Yuan berfikir sebentar, lalu tersenyum kecil. "Hmm, masuk akal. Jadi tidak terlihat janggal."
"Lagipula, anak itu cukup rajin. Saya yakin orang lain juga tidak akan keberatan."
Yuan tersenyum tipis, "Baiklah, atur semuanya. Pastikan namanya ada dalam daftar peserta perjalanan."
Tae-sung mencatat dengan cepat, seolah sudah paham kenapa bosnya sangat ingin anak magang itu ikut , meski Yuan sendiri tidak pernah secara gamblang mengakuinya.
Reinan sedang sibuk menata beberapa dokumen di mejanya ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Yuan
Yuan : Besok saya mau ke jeju, kamu ikut ya
Reinan : Aku kan cuma magang, gimana caranya ikut?
Yuan : Saya udah atur semuanya, kamu siap-siap aja apa yang perlu dibawa. Besok saya jemput.
Reinan : Baiklah
Mobil hitam berhenti perlahan di depan lobi apartemen. Sopir turun, membukakan pintu belakang. Di dalam terlihat Yuan duduk rapi , di sampingnya sebuah kotak makan berbungkus kain sederhana.
Sopir menaruh koper Reinan di bagasi. Reinan masih berdiri terpaku, antara malu dan bingung, lalu masuk ke mobil.
Di dalam mobil, kotak makan itu sudah tersimpan di kursi antara mereka berdua.
"Cobalah, seperti yang saya bilang tempo lalu saya buat ini untuk kamu" . Yuan menyodorkan kotak makan untuk dicicipi reinan.
"...Terimakasih.. Kamu sering buat ini untuk orang lain?" tanya reinan sambil menyuap makanan.
Yuan sekilas melirik dengan nada rendah
"Nggak . Kamu yang pertama."
Reinan menegang, wajahnya langsung memerah, buru-buru menatap jendela. Yuan hanya tersenyum samar lalu kembali fokus pada layar ponsel, menyembunyikan perasaan yang tidak kalah bergejolak.
Sopir menurunkan Yuan dan Reinan di area drop-off. Reinan menenteng kopernya sendiri, masih agak kikuk setelah perjalanan mobil barusan.
Yuan berjalan di sampingnya dengan santai, tangannya menyelip di saku celana, sementara Reinan sibuk memastikan tiket dan paspornya.
Di dalam terminal, suasana ramai. Beberapa karyawan perusahaan lain yang juga ikut perjalanan sudah lebih dulu datang. Mereka sempat menyapa sopan.
"Selamat siang, Pak Yuan!"
"Ya. Siang, apa semuanya sudah kumpul? kalo sudah langsung aja ke gate".
Semua mengangguk begitu juga Reinan ikut mengangguk kaku, berusaha menjaga jarak supaya tidak terlihat mencolok berjalan beriringan dengan atasannya. Namun Yuan malah menoleh padanya.
Yuan dengan nada datar, seolah instruksi.
"Jangan jauh-jauh. Sini... "
Beberapa rekan kerja sempat melirik, tapi tidak ada yang berkomentar. Reinan menunduk cepat-cepat, pura-pura sibuk dengan boarding pass-nya.
Setelah boarding diumumkan, rombongan kantor masuk ke kabin. Tiket sudah diatur oleh bagian administrasi, kebanyakan duduk berdekatan sesuai divisi.
Reinan melirik boarding pass miliknya, lalu mendadak kaget ketika melihat nomor kursi.
Reinan berbisik pelan.
"Eh... ini kenapa sebelahan ... ?"
Yuan yang berjalan tenang di sampingnya hanya melirik sekilas.
"Cuma Kebetulan aja.
Padahal jelas sekali, ini bukan kebetulan. Yuan sengaja meminta tim administrasi agar Reinan ditempatkan di sebelahnya.
Mereka duduk. Reinan menaruh tas kecil di bawah kursi, tangannya agak kaku. Ia bisa merasakan tatapan beberapa rekan kerja yang lewat lorong, menandai posisi mereka.
"Kalau orang-orang lihat gimana? , nanti... mereka berpikir macam-macam."
"Gak usah perduliin orang lain." ucap yuan datar sambil mengenakan sabuk pengaman.
Reinan mendesah kecil, lalu akhirnya diam. Pesawat mulai bergerak.
Begitu lepas landas, Pesawat mulai bergetar karena melewati sedikit turbulensi. Lampu tanda sabuk pengaman menyala.
Reinan refleks menggenggam lengan kursi erat-erat, tubuhnya sedikit menegang. Nafasnya cepat, matanya memejam rapat.
Yuan yang duduk di sampingnya melirik sekilas. Tanpa banyak kata, ia mengulurkan tangan ke atas sandaran kursi Reinan lalu perlahan turun, jemarinya menyentuh tangan Reinan yang dingin dan kaku.
Reinan menatapnya sebentar, ragu, tapi akhirnya ia membiarkan genggaman itu. Hangat. Degup jantungnya sedikit melambat, rasa takutnya berkurang.
Beberapa detik hening. Suara mesin pesawat memenuhi kabin. Reinan merasa aneh bukan hanya takutnya yang hilang, tapi ada rasa aman yang jarang sekali ia rasakan.
Reinan berbisik nyaris tak terdengar
"...Terima kasih."
Yuan menoleh, menatap lurus ke depan, ekspresinya tetap datar.
"Kalau kamu takut, pegang tangan saya"
Genggaman tangannya tak dilepaskan sampai turbulensi reda.
***
Malam sudah turun ketika rombongan sampai di hotel yang disiapkan perusahaan. Lobby terang dengan lampu kristal besar, memberi kesan mewah namun hangat.
Reinan mengikuti di belakang Yuan, sambil menarik koper kecilnya. Pandangan matanya sibuk berkeliling masih agak canggung karena ini pertama kalinya ia ikut perjalanan bisnis ke luar kota.
Petugas resepsionis menyerahkan kartu kamar pada Yuan terlebih dahulu. Yuan menoleh sebentar ke arah Reinan, lalu kembali ke resepsionis.
"Kalo bisa tempatin kamarnya di sebelah saya."
Resepsionis mengangguk sopan lalu menyerahkan kartu kamar untuk Reinan.
Sambil menunggu lift, Yuan berdiri di sampingnya. Suasana sempat hening, hanya suara koper yang digeser.
"Kenapa... harus sebelahan lagi?" Tanya reinan berbisik
"Supaya saya bisa diam-diam masuk kamar kamu." Yuan menggoda.
"Ya supaya kalo ada apa-apa saya langsung tau Reinan " lanjutnya.
Wajah Reinan seketika memerah.
Lift berbunyi, pintunya terbuka. Mereka masuk, berdiri agak berjauhan. Namun, pantulan di kaca lift memperlihatkan Yuan sesekali melirik ke arah Reinan.
Sesampainya di lantai kamar, Yuan lebih dulu membuka pintu kamarnya. Sebelum masuk, ia menoleh.
"Reinan, kamu cape gak?"
"Gak terlalu sih, tadi di pesawat aku sempet tidur sebentar. Kenapa memang?"
"Mau jalan-jalan?"
"Boleh, kemana?"
"Nanti saya kasih locatin kalo sudah sampai"
"Baiklah"
Pintu tertutup.
Reinan berdiri di depan kamarnya sendiri, menatap kartu kunci di tangannya sambil menarik napas. Entah kenapa, menyangkut Yuan hatinya selalu bertindak lebih cepat ketimbang otaknya.
Reinan baru saja sampai di depan pasar malam Jeju, sedikit gugup menoleh kanan-kiri memastikan tak ada rekan kantor yang melihat. Dari jauh ia melihat Yuan berdiri santai di dekat papan petunjuk, tangannya masuk ke dalam saku celana, mengenakan kaos polos dan topi hitam. Low profile banget, tapi tetap karismatik.
Yuan melambaikan tangan singkat ketika pandangan mereka bertemu.
Mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong pasar yang ramai. Aroma tteokbokki, jagung bakar, dan odeng menyeruak di udara. Reinan sesekali berhenti, matanya berbinar melihat deretan makanan. Yuan memperhatikan diam-diam, lalu membeli dua tusuk odeng tanpa banyak bicara, menyodorkannya pada Reinan.
"Coba, ini enak buat malam dingin begini," ujar Yuan.
Reinan menerima dengan wajah memerah.
"Kenapa rasanya... kayak lagi ng-date ya," gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Yuan menoleh, senyum tipisnya muncul.
"Yaudah anggap aja kita lg ng-date gak sih? " katanya setengah menggoda, membuat Reinan langsung tersedak odeng yang baru masuk mulut.
Yuan tertawa kecil, untuk pertama kalinya malam itu terlihat benar-benar rileks.
Setelah berkeliling cukup lama, mereka akhirnya menemukan bangku kayu panjang di tepi pasar yang agak sepi, sedikit jauh dari keramaian. Yuan meletakkan kantong plastik berisi jajanan kecil di sampingnya, lalu duduk dengan santai.
Reinan ikut duduk, masih memegang sisa odeng di tangannya. Ia menatap orang-orang yang lalu-lalang. Sambil menghela nafas.
"Yuan... Kalo kita kaya gini terus, aku bisa salah paham" ungkap Reinan.
Yuan hanya menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Kamu gak salah paham, saya emang sengaja pengen deketin kamu, boleh?"
Reinan menunduk cepat, memberi anggukan kecil menandakan bahwa ia juga menyetujui nya. Kan, lagi-lagi otaknya kalah cepat dari hatinya.
Apakah ini pertanda bahwa Reinan juga menyukai Yuan?
Setelah puas berkeliling pasar malam, mereka berjalan pulang dengan jarak aman. Yuan berjalan agak di depan, sesekali menoleh memastikan Reinan masih mengikutinya.
Saat hampir sampai hotel, Reinan mempercepat langkahnya hingga sejajar dengan Yuan. Mereka tidak banyak bicara, hanya ditemani suara langkah kaki dan angin malam Jeju yang sejuk.
Begitu sampai di lobi, Yuan berhenti sebentar sambil mengusap pelan puncak kepala Reinan.
"Naik duluan aja, Saya mau bicara sebentar dengan resepsionis soal ruang event besok."
Sempat mematung beberapa saat lalu Reinan mengangguk, namun sebelum masuk lift ia menoleh sekali lagi. Yuan masih berdiri di meja resepsionis, tampak serius. Entah kenapa, pemandangan itu membuatnya semakin hangat.
Di dalam kamar, Reinan duduk di tepi ranjang, membuka tas belanjaan dari pasar. Ada beberapa camilan dan gantungan kunci khas Jeju yang entah kenapa tadi ia beli tanpa sadar.
Ia menggenggam salah satu gantungan kecil itu sambil tersenyum tipis.
'Rasanya aneh... tapi setiap bersama dia, gue ngerasa lebih nyaman'.
Tak lama, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Yuan.
Yuan : Udah sampai kamar?
Reinan : Sudah.
Yuan : Baiklah, selamat beristirahat. Sampai bertemu besok.
Reinan : Iya , selamat beristirahat juga.
Reinan menatap layar cukup lama, setelah menekan tombol kirim, ia menutup wajah dengan bantal, tersenyum malu sendiri.
***
Setelah seluruh rangkaian resmi berakhir, pihak perusahaan memberi pengumuman kalau malam ini adalah acara bebas. Para karyawan dipersilakan mengisi waktu masing-masing: ada yang memilih berjalan-jalan ke pantai, ada yang berencana karaoke bareng, dan sebagian lainnya langsung rebahan di kamar hotel karena kelelahan.
Reinan sempat diajak beberapa teman satu divisi untuk ikut, tapi ia menolak halus, beralasan ingin istirahat. Padahal, hatinya sudah berdebar-debar menunggu pesan dari Yuan.
Tak lama, ponselnya berbunyi.
Pesan masuk dari Yuan.
Yuan: Saya udah memesan tempat di sebuah restoran. Lokasinya agak jauh dari hotel, jadi nanti kita berangkat terpisah. Saya kirim lokasinya sekarang.
Reinan : Baik. Aku akan menyusul ke sana.
Beberapa menit kemudian, Yuan mengirim pin location sebuah restoran bernuansa hangat di dekat pesisir pantai.
Sementara itu, di sisi lain...
Yuan menutup ponselnya, lalu memberi instruksi singkat pada sopir hotel. Ia memilih restoran agak jauh dari pusat keramaian bukan tanpa alasan lebih tenang, dan kecil kemungkinan ada karyawan lain yang melihat mereka makan malam berdua.
Di dalam mobil, ia melonggarkan dasinya, menatap pantulan wajahnya di jendela. Ada sedikit senyum terselip, sesuatu yang jarang sekali terlihat dari Baek Yuan yang dingin sepertinya.
'Semoga dia suka tempatnya' gumamnya lirih.
Restoran itu tidak terlalu besar, tapi punya suasana hangat dengan lampu-lampu kuning redup. Yuan memilih tempat di luar agar terdengar debur ombak.
Reinan melangkah masuk, sedikit gugup. Ia memakai pakaian simple rok bunga-bunga beserta kemeja putih. Matanya berkeliling mencari sosok Yuan.
Dari luar, Yuan mengangkat tangan memberi tanda. Ia tampak santai, kemeja putihnya dilipat sampai siku, dasinya sudah dilepas. Senyumnya muncul begitu Reinan mendekat.
"Duduklah," ucap Yuan sambil menarikkan kursi untuknya.
Reinan mengangguk pelan, duduk, lalu berusaha mengalihkan pandangan dari tatapan hangat itu.
"Tempatnya... bagus sekali."
"Saya senang kalo kamu suka." Yuan tersenyum tipis. "Saya pilih yang agak jauh dari hotel, supaya kita bisa lebih tenang."
Reinan sempat terdiam, hatinya berdebar mendengar kata kita. Pipinya sedikit merona, ia mengkipas-kipas wajahnya untuk mengurangi rasa gugup.
Yuan hanya mengamati ekspresi kecil itu, lalu meneguk anggur Jeju yang baru saja dituangkan.
Lampu gantung berwarna hangat berayun pelan diterpa angin laut yang masuk lewat jendela besar. Piring-piring hampir kosong, hanya tersisa gelas anggur yang setengah penuh.
Reinan menyibukkan diri dengan meneguk air, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar sejak tadi. Sementara itu, Yuan menatapnya tanpa tergesa, seolah menunggu waktu yang tepat.
Akhirnya Yuan meletakkan gelasnya perlahan, jemarinya saling bertaut di atas meja.
"Reinan." Suaranya rendah namun jelas.
Reinan mengangkat kepala, sedikit terkejut dengan nada serius itu.
"Ya,?"
Yuan menarik napas sejenak, lalu menatap lurus ke matanya.
"Sejak awal saya berusaha menahan diri. Saya mencoba menjaga jarak... karena hal yang dulu. Tapi semakin saya melihatmu, semakin sulit bagi saya untuk berpura-pura."
Reinan terdiam, kedua tangannya di pangkuan mengepal tanpa sadar.
"Saya suka kamu," ucap Yuan akhirnya, jujur, tanpa hiasan kata-kata.