"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7. Milikku, dan hanya milikku
Ruangan itu sunyi, hangat, dan terasa seperti dunia yang benar-benar berbeda dari kantor megah di luar. Cahaya lampu kuning temaram memantul di dinding krem dengan aksen kayu. Tak ada meja kerja, tak ada tumpukan dokumen. Hanya ada satu sofa besar, rak buku tertutup, dan tempat tidur berukuran king di sudut ruangan.
Kamar pribadi Makes.
Tempat ini seolah menyimpan semua sisi tersembunyi yang tak pernah ia perlihatkan ke publik. Dan sekarang, Zhavira—yang masih digendong di pelukan pria itu—adalah tamu pertamanya.
Zhavira memberontak. “Makes, jangan begini, lepaskan aku!”
Tapi Makes tetap diam. Nafasnya berat. Matanya tetap menatap lurus seakan tak mendengar apapun.
Sesampainya di sisi ranjang, ia menurunkan Zhavira pelan ke atas kasur, membuat tubuh mungil itu terhempas lembut di atas permukaan lembut sprei abu-abu.
Zhavira bangkit reflek, duduk dengan napas memburu. “Apa yang kamu mau?” suaranya bergetar, lebih karena takut daripada marah.
“Pernah aku bilang,” ucap Makes serak, menatap lurus. “Kamu milikku, Zhavira.”
“Jangan sentuh aku…” bisik Zhavira, punggungnya merapat ke dinding, mencoba menjaga jarak sebisa mungkin. “Kumohon.”
Makes mendekat. Langkahnya pelan, tapi setiap gerakan seolah menusuk. Zhavira menggigil. Ini bukan ruang kerja. Bukan ruang publik. Ini—tempat rahasia. Tempat di mana dia bisa benar-benar terjebak.
“Aku nggak akan maksa kalau kamu nggak mau,” ucap Makes akhirnya. Tapi sorot matanya, tetap mengancam. Dominan.
Zhavira menangis pelan. Tangannya gemetar.
“Aku, gak ada hubungan apapun dengan Radith
” ucapnya dengan suara tercekat. “Aku nggak tahu kamu akan sejauh ini… Aku…”
Dia menunduk. Lalu dengan suara lirih, ia berkata,
“Aku minta maaf… Maaf, Makes. Aku nggak akan dekat-dekat sama Radith lagi… kumohon, jangan perlakukan aku begini…”
Tubuhnya mulai mengecil dalam pelukan dirinya sendiri. Bahunya bergetar. Ketakutan menyelimuti seluruh pikirannya, terutama satu ketakutan yang menguasai segalanya:
Takut Makes akan merenggut kesuciannya.
Makes mematung. Mendengar kata itu keluar dari bibir Zhavira membuat sesuatu dalam dirinya seperti pecah. Emosinya masih membara… tapi ada suara kecil di hatinya yang berteriak—apa yang sedang kau lakukan, Makes?
Ia menarik napas panjang, menunduk, dan mendekat perlahan. Tapi kali ini, tangannya menggenggam wajah Zhavira dengan lembut. Matanya bertemu mata gadis itu.
“Aku memang marah,” bisiknya. “Tapi aku nggak sejahat itu, Zhavira…”
Zhavira memejamkan mata. Air mata jatuh satu per satu.
Dan untuk pertama kalinya… Makes merasa bersalah.
Sangat.
Tubuh Zhavira masih bergetar ketika Makes akhirnya melonggarkan genggamannya. Nafas gadis itu tersengal, matanya memancarkan ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia memeluk kedua lututnya di ujung sofa kecil yang berada di kamar pribadi Makes, berusaha menjauh semampunya dari sosok laki-laki itu yang kini menatapnya diam.
“Makes…” lirih Zhavira pelan, suaranya nyaris tidak terdengar. “Jangan perlakukan aku seperti ini…”
Hati Makes mencelos. Melihat Zhavira ketakutan seperti itu seakan menampar dirinya sendiri. Nafasnya menghembus kasar, kemudian ia melangkah perlahan, lututnya jatuh di hadapan gadis itu.
“Maaf,” ucapnya parau. “Aku… terlalu cemburu tadi.”
Zhavira menggigit bibirnya, tetap tak menatapnya. Tapi air matanya yang jatuh tak bisa ia tahan.
“Aku cuma… kerja. Aku nggak punya maksud apa-apa sama Radith. Tapi kamu langsung—”
“Ssst…” Makes menaruh jari telunjuknya di bibir Zhavira, lalu dengan lembut menyentuh pipinya yang basah. “Aku tahu. Aku tahu kamu nggak salah… Tapi aku nggak bisa nerima siapa pun yang coba mendekatimu.”
Zhavira menatapnya dengan mata merah dan penuh luka. “Kamu takut aku dimiliki orang lain?”
“Sangat takut…” bisik Makes sambil memeluk tubuhnya dengan erat. “Dan aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau kehilangan kamu…”
Zhavira mematung di dalam pelukannya. Tubuhnya masih tegang, tapi kehangatan dada Makes yang terasa kokoh perlahan membuatnya melembut. Makes membenamkan wajahnya di leher Zhavira, membisikkan kata-kata yang membuat jantung gadis itu berdebar cepat.
“Kamu milikku, Zhavira… dan cuma aku yang boleh melihat kamu seperti ini. Jangan pernah takut padaku Zhavira.”
Zhavira menutup mata, dadanya terasa sesak tapi juga hangat. Meski ia takut, dalam dekap Makes ia merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—seolah ada luka lama dalam dirinya yang tiba-tiba ingin sembuh.
**
Malam telah turun sempurna saat Zhavira memasuki unit apartemennya. Deru AC terdengar samar, dan lampu ruang tamu menyala redup, menyambut kepulangannya yang penuh kelelahan—bukan fisik, tapi batin.
Langkahnya pelan. Sepatunya ia lepas begitu saja di depan pintu, lalu tubuhnya ia biarkan jatuh ke sofa panjang berwarna abu. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang masih kalut.
Pakaian kerjanya masih melekat, belum sempat ia ganti. Wajahnya memerah, bukan karena marah… melainkan canggung, malu, dan bingung atas semua yang terjadi beberapa jam lalu.
Pelukan Makes, suara berat pria itu yang terus berkata, "Kamu milikku."
Zhavira menarik napas panjang, lalu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Jantungnya berdetak kencang hanya karena mengingatnya. Tapi ada luka yang ikut membekas. Ia takut—bukan hanya pada Makes, tapi pada dirinya sendiri… karena ia tahu, hatinya mulai goyah.
“Kenapa kamu seperti itu, Makes. Kenapa kamu bisa seposesif itu padaku?” lirih Zhavira, pada sunyi malam yang hanya dijawab oleh detik jam dinding.
Ia berdiri pelan, masuk ke kamar dan menyalakan lampu temaram. Jemarinya membuka satu kancing blouse-nya, dan ia menatap cermin. Di sana, ia melihat dirinya sendiri—mata sembab, pipi masih memerah, dan ada luka kecil di hati yang mulai tumbuh perasaan baru.
Benci. Cinta. Takut. Semua bercampur menjadi satu.
Ponselnya bergetar.
[Makes]
Sudah sampai?
Jangan tidur larut malam.
Aku masih ingin lihat kamu besok pagi.
Zhavira menggigit bibirnya. Ia ingin membalas dengan marah. Tapi jari-jarinya justru mengetik pelan.
[Zhavira]
Aku nggak ngerti kamu… Tapi aku pulang dengan selamat.
Terima kasih… udah nggak keterlaluan tadi.
Pesan terkirim.
Zhavira mendesah, lalu menarik selimut dan memeluk gulingnya erat. Dalam gelap, pikirannya berbisik satu kalimat.
Apa aku masih bisa melindungi diri… dari kamu, Makes?
Bahkan Zhavira enggan untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu, karena pikiran dan tubuhnya sudah sangat lelah, lelah oleh kerjaan dan tekanan pribadi dari Makes. Padahal dirinya tidak pernah mengatakan jika dirinya adalah milik Makes, tapi atasannya itu selalu bersikap jika dirinya adalah miliknya. Zhavira ingin berhenti dari sana, dan menjauhi Makes, tapi ia juga berpikir berulang kali untuk melakukan itu, karena tidak ada perusahaan yang berani membayarnya dengan harga tinggi seperti yang Willson crops berikan padanya. Dia juga berpikir belum tentu ia akan mendapatkan kerjaan sebagus kerjaannya saat ini.
Zhavira hampir gila memikirkan alur hidupnya sendiri.