Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan
Di sebuah pemakaman yang sunyi, empat sosok berpakaian hitam duduk bersimpuh di hadapan satu gundukan tanah basah. Hanya suara dedaunan yang bergoyang diterpa angin sore dan desau lirih burung gagak yang terdengar di kejauhan. Udara di sekitar makam terasa dingin menusuk, seakan ikut menanggung duka yang menggelayuti mereka.
Di depan nisan yang sederhana itu, tertulis nama Azira. Nama yang kini hanya terukir di batu, bukan lagi dipanggil dengan lembut di rumah. Pandangan mereka kabur karena genangan air mata, sementara hati mereka seperti diremuk oleh penyesalan yang tak terbendung.
Tangis lirih bercampur isakan tertahan menggema di pemakaman yang lengang. Semua perlakuan buruk, semua kata-kata kasar, semua pengabaian yang mereka lakukan terhadap Azira kembali berputar jelas di kepala masing-masing. Mereka dulu menganggapnya tak berarti, menutup mata pada jeritan hatinya, hingga kini mereka hanya bisa menunduk di hadapan tanah yang telah menelannya.
Arion, sang ayah, perlahan berdiri. Tubuhnya tampak tegar dari luar, namun matanya merah dan rahangnya mengeras menahan perasaan yang tak bisa lagi ia ungkapkan. Ia menatap papan nama putrinya sekilas hanya sekilas, karena menahan tatapan lebih lama membuat dadanya semakin sesak. Tanpa mengucap apapun, ia berbalik. Langkahnya berat, namun ia memilih pergi, meninggalkan istri dan dua anak lelakinya di sana.
Brianna, sang ibu, mengikuti gerak suaminya dengan pandangan kosong. Tubuhnya bergetar, tangannya berulang kali menutupi mulut seakan ingin menahan tangis yang kian pecah. Air mata terus mengalir deras di pipinya. "Maafkan Mama, Ra... Maaf..." suaranya serak, nyaris tak terdengar. Kata-kata itu tercekat, seolah menusuk jantungnya sendiri. Setelah menatap batu nisan itu terakhir kali, ia pun bangkit, langkahnya goyah saat berusaha menyusul suaminya.
Evan, sang kakak, masih berdiri kaku. Ia menatap makam itu dengan air mata mengalir deras, teringat semua hardikan, semua sikap dingin, semua ketidakpedulian yang ia tunjukkan pada adiknya. Hatinya meraung, menyadari betapa kejam dirinya dulu.
"Seandainya gue bisa memutar waktu..." bisiknya parau. Namun tak ada jawaban selain keheningan yang menyayat. Pada akhirnya, ia pun memilih pergi, mengikuti kedua orang tuanya, meski hatinya masih tertinggal di makam itu.
Hanya Jonatan yang tetap bertahan. Ia terduduk di tanah, menatap nanar gundukan tanah yang baru. Matanya sembab, wajahnya basah penuh air mata.
Kenapa harus begini? batinnya berteriak.
Selama hidup adiknya, ia tidak pernah sekalipun memperlakukan Azira dengan lembut. Ia selalu kasar, selalu meremehkan, seolah Azira bukan bagian dari keluarga.
Kini, ketika Azira sudah tiada, penyesalan itu menghantamnya bagai badai yang tak ada habisnya. Ia ingin berteriak, ingin menghajar dirinya sendiri, ingin menebus semua luka yang pernah ia goreskan pada adiknya, tapi semua itu terlambat.
Dengan suara bergetar, Jonatan akhirnya bersuara. "Maaf..." Hanya satu kata yang keluar, namun terasa begitu berat, seakan seluruh isi dadanya ikut runtuh bersamaan. Ia mengusap air mata yang terus jatuh, tanpa bisa dihentikan.
"Maaf, Ra... sekali lagi, maaf..." suaranya pecah, lalu hilang ditelan angin sore.
Di hadapan nisan itu, Jonatan tersungkur, menggenggam tanah basah seolah ingin meraih adiknya kembali dari peristirahatan terakhir. Tapi kenyataannya, hanya dinginnya tanah dan sepi yang membalas genggamannya.
***
Di dalam ruangan putih rumah sakit, suara mesin monitor detak jantung berdentum pelan, menciptakan ritme yang menenangkan sekaligus menegangkan. Tubuh Aziya masih terbaring lemah di atas ranjang, selang infus menempel di tangannya, oksigen terpasang di hidung mungilnya.
William berdiri di samping ranjang, jemarinya terus menggenggam tangan putrinya seakan takut Aziya akan menghilang lagi. Sesekali ia menunduk, menatap wajah pucat itu dengan mata berkaca-kaca.
“Maafin Daddy, Sayang… Daddy janji gak akan biarin kamu ngerasa sendirian lagi.” suaranya bergetar, berbeda jauh dari sosok tegas dan dingin yang biasa dikenal banyak orang.
Zetas, yang sejak tadi duduk di sofa panjang dengan gaya malas, sebenarnya diam-diam memperhatikan. Namun ketika melihat mata ayahnya basah, ia ikut terdiam. Rasa sayangnya pada adik bungsu yang sering ia sebut Princess mendesak keluar.
Saat William hendak melepaskan genggaman tangannya, jemarinya tiba-tiba terasa ditarik.
Ckrek.
William membeku. Matanya langsung melebar ketika menyadari tangan putrinya yang sebelumnya lemas kini balas menggenggam tangannya.
“Zi… Ziya?” suaranya tercekat.
Zetas sontak bangkit. “Hah? Gak mungkin.” ucapnya, tapi matanya melebar saat melihat sendiri pergerakan itu. “Astaga! Princess Abang!”
Ia langsung menunduk, memeluk tubuh Aziya dengan hati-hati. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Syukurlah… syukurlah lo balik, Zi…”
Kepala Aziya bergerak pelan, wajahnya tampak berkerut. Napasnya terengah, terdengar bisikan serak keluar dari bibirnya.
“Sa… kit…”
William hampir roboh mendengar suara itu. Ia buru-buru menekan bel darurat. Beberapa detik kemudian, dokter dan perawat bergegas masuk, wajah mereka tegang.
“Bagus sekali! Pasien merespons,” ucap dokter cepat, lalu mulai memeriksa denyut nadi dan pupil matanya.
Aziya mengerang pelan, tubuhnya gelisah karena alat medis yang menempel membuatnya terasa terikat. Dokter menatap William. “Putri Bapak sudah sadar. Namun kondisinya masih sangat lemah, rasa nyeri yang ia alami membuatnya tidak nyaman.”
William mengangguk cepat, nadanya penuh harap. “Apa dia bisa bicara?”
“Bisa, tapi jangan dipaksa. Untuk sementara, kami akan melepas sebagian alat yang tidak mendesak, agar pasien bisa merasa lebih bebas.”
Begitu dokter selesai memberi instruksi dan keluar ruangan, William langsung menunduk lagi, meraih tangan putrinya dengan hati-hati.
“Sayang…” suaranya bergetar. “Daddy di sini. Daddy gak kemana-mana.”
Zetas tersenyum sambil menyeka air matanya. “Princess, lo bikin Abang jantungan, tau gak? Jangan tidur lama-lama kayak gini lagi, oke?”
Kelopak mata Aziya bergetar pelan, lalu terbuka tipis. Tatapannya masih kabur, tapi kedua pria yang paling berarti dalam hidupnya kini terlihat jelas.
“Dad… Abang…” suaranya hampir tak terdengar, tapi cukup membuat William dan Zetas menahan tangis bahagia.
William mencium keningnya berkali-kali, air matanya menetes deras. “Syukurlah… akhirnya Daddy bisa dengar suara kamu lagi.”
Aziya hanya tersenyum samar, lemah namun tulus. Ada rasa damai yang merambat di ruangan itu, seolah dunia kembali memberi mereka kesempatan kedua.
Akhirnya, Aziya kembali melihat dua orang yang sangat dia sayangi, yang juga menyayanginya.