Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.
Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan
Udara pagi di halaman depan Mansion Carwyn masih sejuk, embun tipis menggantung di atas dedaunan. Burung-burung mulai berkicau, mengisi keheningan dengan riang.
Elena melangkah keluar bersama Myra, gaun sopan berwarna lembut membalut tubuhnya. Tidak heboh, namun tetap anggun. Perpaduan warna pastel pada pakaiannya memberi kesan tenang namun berwibawa.
Di depan tangga utama, Mervyn sudah menunggu. Sosoknya tegak, berdiri bersama Rowen dan kepala pelayan yang mendampingi. Saat pandangan Elena dan Mervyn bertemu, angin seakan berhenti berembus sejenak.
Mervyn melangkah maju tanpa berkata-kata. Dengan gerakan yang penuh wibawa namun lembut, ia mengulurkan tangannya.
Elena sempat terdiam sepersekian detik sebelum akhirnya menyambut uluran itu. Genggaman Mervyn hangat, mantap, lalu dengan lembut ia menuntun dan menarik Elena masuk ke dalam kereta kuda. Gerakan itu begitu alami, seolah memang sudah seharusnya.
Roda kereta mulai berputar, dentuman kuda terdengar teratur di jalan berbatu. Di dalam, Mervyn duduk berhadapan dengan Elena, tubuhnya sedikit condong ke arahnya. Tatapannya serius namun nada suaranya tenang saat ia mulai berbicara.
“Aku akan membawamu melihat beberapa tempat penting hari ini,” ujarnya. “Pertama, kita akan menuju perairan di bawah pengelolaan keluarga Carwyn.”
Elena menoleh, memperhatikannya dengan seksama. Ia tidak memotong, hanya mendengarkan. Jemarinya meremas halus lipatan gaunnya, namun matanya menatap lurus, fokus pada setiap penjelasan.
“Setelah itu,” lanjut Mervyn, “kita akan mengunjungi pasar utama dan gudang penyimpanan.”
Elena masih diam, tetapi sedikit mengangguk. Wajahnya tidak menunjukkan penolakan seperti sebelumnya. Ia tampak benar-benar mendengarkan, bahkan sesekali matanya menajam ketika Mervyn menyebut angka atau nama tempat.
...
Kereta berhenti perlahan. Suara pelayan dari luar terdengar.
“Kita sudah tiba, Tuan Duke.”
Elena menoleh keluar jendela. Pandangannya langsung disambut oleh hamparan perairan luas yang berkilau diterpa sinar matahari pagi. Airnya jernih, bergerak tenang, lalu bercabang menjadi jalur-jalur kecil yang mengalir hingga jauh ke pemukiman rakyat.
Di tepian, terlihat kanal-kanal yang rapi membentang, menyalurkan air itu ke rumah-rumah dan ladang, memberi kehidupan pada wilayah kekuasaan Carwyn. Beberapa anak kecil berlari di pinggir kanal, sementara para ibu mencuci di tepian, dan petani mengisi kendi-kendi besar dengan air segar untuk kebutuhan mereka.
Perahu-perahu kecil melintas, membawa hasil bumi maupun barang dagangan menuju gudang penyimpanan yang berdiri tak jauh dari sana. Suasana hidup itu menggambarkan jelas bahwa perairan ini bukan hanya sumber daya alam, melainkan nadi yang menghubungkan seluruh wilayah Carwyn.
Mata Elena berbinar, sorotnya penuh kekaguman. Ia tak bisa menyembunyikan rasa takjub pada pemandangan perairan yang terbentang di hadapannya.
“Elena…”
Suara Mervyn memanggilnya lembut, memecah kekagumannya. “Aku akan berbincang dengan pengelola. Ikutlah denganku.”
Elena menoleh cepat, matanya masih dipenuhi kilau rasa ingin tahu. “Bolehkah aku tidak ikut?” tanyanya antusias, tubuhnya condong ke depan hingga wajahnya begitu dekat dengan Mervyn. “Aku ingin melihat-lihat sekeliling.”
Mervyn sempat terdiam, sedikit terkejut oleh jarak yang begitu dekat dan tatapan jujur penuh semangat itu. Namun ketika ia menatap ekspresi Elena, senyum tipis akhirnya terlukis di wajahnya.
“Baiklah… hati-hati,” ucapnya, nada suaranya lembut berbeda dari biasanya.
Mendengar izin itu, wajah Elena berseri. Ia segera berbalik, lalu menarik Myra dengan ringan. Keduanya berjalan bersama, meninggalkan Mervyn yang masih berdiri di tempat, menatap punggung Elena dengan sorot mata yang sulit diartikan.
...
Elena melangkah bersama Myra menyusuri jalan setapak di tepi kanal. Angin lembut membawa aroma segar air yang mengalir, bercampur dengan suara riang anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari sana.
Anak-anak berlari sambil tertawa, sebagian lagi duduk di tepi air melemparkan kerikil kecil hingga menimbulkan riak. Elena memperlambat langkahnya, matanya berbinar melihat keceriaan polos itu.
Salah satu anak laki-laki yang paling berani mendekat. Matanya bulat menatap Elena dari atas hingga ke ujung gaunnya yang rapi. Dengan suara lirih penuh penasaran, ia bertanya,
“Apakah… kau bangsawan?”
Elena sempat terkejut, lalu menunduk sambil tersenyum kecil. Ia berjongkok agar sejajar dengan anak itu, jemarinya merapikan helai rambut si kecil yang acak-acakan.
“Hm… kalau aku bangsawan, menurutmu aku bisa berjalan-jalan santai seperti ini?” jawabnya sedikit bergurau, nada suaranya hangat.
Anak itu berkedip, lalu tertawa kecil. “Tapi pakaianmu… cantik sekali. Aku belum pernah melihat yang seperti itu.”
Elena menatap gaunnya sendiri sejenak, lalu kembali tersenyum. “Mungkin hanya karena aku menyukainya. Tapi tahu tidak, gaun tidak membuat seseorang jadi istimewa. Senyum kalian jauh lebih berharga.”
Ucapan itu membuat anak-anak lain ikut mendekat, mata mereka berbinar penuh rasa ingin tahu. Beberapa berani mengajak, “Nona, ayo ikut bermain dengan kami!”
Elena melirik Myra sebentar, lalu terkekeh. “Kalau aku kalah dalam permainan, apa kalian tidak akan menertawakanku?” candanya.
Anak-anak bersorak riang, lalu mulai menarik-narik ujung gaun Elena agar ikut berlari kecil bersama mereka. Tawa Elena pun pecah, terdengar ringan, tulus, nyaris jarang ia keluarkan.
…
Tak jauh dari sana, beberapa ibu yang sedang mencuci pakaian di tepian kanal memperhatikan dengan heran. Salah seorang dari mereka, wanita paruh baya dengan tudung sederhana, akhirnya menyapa,
“Nona, jarang sekali ada wanita seanggun dirimu mau bermain dengan anak-anak kami.”
Elena menoleh, masih tersenyum. Ia berdiri, lalu menghampiri mereka. “Mereka sangat manis, sulit untuk menolak ajakan mereka,” jawabnya sambil melirik sekilas ke arah anak-anak yang kembali berlari.
Wanita lain ikut menimpali, “Dari mana kau datang? Pakaianmu bukan dari sekitar sini, itu pasti.”
Elena menahan sejenak, matanya beralih ke permukaan air yang jernih. Ia tidak menjawab langsung, hanya berkata dengan tenang, “Aku hanya seorang tamu yang ingin melihat kehidupan di sekitar perairan ini. Dan ternyata… tempat ini lebih indah dari apa pun yang pernah kuceritakan pada diriku sendiri.”
Para ibu itu saling pandang, lalu tersenyum. Mereka merasa Elena bukan hanya berbeda dari para wanita bangsawan yang biasanya menjaga jarak, melainkan juga memiliki kelembutan yang tulus.
Salah seorang dari mereka menawarkan, “Kalau kau mau, duduklah bersama kami sebentar. Air ini segar, bahkan cucian pun jadi terasa ringan.”
Elena menatap mereka dengan tatapan hangat, lalu tersenyum lembut. “Dengan senang hati.”
Ia lalu berjongkok di dekat mereka, menyentuh air dengan ujung jarinya. Dinginnya mengalir, seolah menyatu dengan detak hatinya.
Di belakang sana, Myra memperhatikan Elena dengan mata berbinar. Dalam hati ia kagum Duchess Carwyn yang biasanya penuh wibawa kini tampak begitu hidup, begitu dekat dengan rakyat, seakan dunia bangsawan dan rakyat biasa tidak pernah memiliki jarak.
Salah satu ibu menatap Elena sambil tersenyum lebar, kedua tangannya masih sibuk meremas kain di dalam air.
“Air ini… kanal-kanal ini, semua ada karena Tuan Duke. Ia sungguh pemimpin yang luar biasa. Kami bisa hidup tenang, anak-anak bisa tumbuh sehat, ladang kami subur.”
Wanita lain ikut menambahkan dengan semangat, “Betul! Tidak ada yang lebih kami syukuri selain air yang terus mengalir ini. Kalau bukan karena kebijaksanaan beliau, kami tak tahu bagaimana nasib kami.”
Mata Elena melembut. Ia menoleh ke sekeliling, memperhatikan kanal yang membentang, perahu-perahu yang hilir mudik, dan wajah-wajah ceria rakyat kecil yang hidup di atas kerja keras itu. Senyum tipis terlukis di wajahnya, dan dengan suara penuh ketulusan ia berkata,
“Benar… Duke memang luar biasa. Ia berhasil menciptakan keindahan ini.”
Ucapannya terhenti sejenak, pandangannya melayang menyapu seluruh wilayah Carwyn yang tampak hidup dan berdenyut di hadapannya. Ada rasa kagum, ada juga rasa bangga yang samar.
Belum sempat ia melanjutkan, anak-anak kembali berlari menghampiri, napas mereka terengah-engah karena terlalu riang bermain.
“Nona! Nona!” seru salah satunya sambil menarik ujung gaunnya.
Entah apa yang mereka katakan setelah itu—pertanyaan polos, candaan sederhana, bahkan mungkin cerita kecil tentang keseharian mereka.
Namun tak lama, suara tawa pecah. Elena tertawa lepas, begitu juga anak-anak. Bahkan para ibu ikut terpingkal, seakan beban hidup hilang begitu saja hanya karena satu percakapan ringan dengan wanita asing yang begitu hangat.
Tawa itu menggema di sepanjang kanal, bercampur dengan suara riak air dan teriakan ceria bocah-bocah kecil.
…
Namun, tanpa Elena sadari, dari kejauhan seseorang tengah memperhatikannya.
Mervyn berdiri di tepi jalan setapak, baru saja kembali dari pembicaraan dengan pengelola. Di sampingnya, Rowen, kepala pelayan, serta beberapa pengawal ikut menatap.
Mereka semua terdiam, menyaksikan Elena yang sedang bercengkerama dengan rakyat, tertawa bersama anak-anak, wajahnya bersinar dengan ketulusan yang jarang terlihat.