NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:862
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 7

Sore perlahan merangkak menuju senja. Cahaya matahari mulai miring, menumpahkan semburat jingga ke permukaan bumi Wonosari yang tenang. Di atas tanggul Kali Brantas, tak jauh dari warung angkringan Yu Kastun yang ramai pengunjung, duduklah Asmarawati duduk di atas bangku bambu sederhana. Udara sore menyentuh pipinya lembut, membelai ujung kerudungnya, membawa aroma tanah dan daun basah yang tak asing di hidungnya.

Di bawah rindang pohon akasia yang menaungi, ia menatap langit barat yang mulai merekah jingga. Di hadapannya, terbentang luas hamparan sawah yang seolah tak berujung. Padi-padi yang mulai menguning bergoyang-goyang ditiup angin sore, seperti sedang menari pelan di panggung alam yang lapang.

Di pinggir kali, beberapa orang duduk tenang memancing ikan. Sesekali terdengar suara kecil tawa atau teriakan gembira saat kail mereka tersangkut sesuatu. Di atas tanggul, seorang bapak tua tampak ngarit, menggiring domba-dombanya yang gemuk dan jinak menyusuri pinggiran jalan.

Di ujung jauh, gerombolan anak laki-laki telanjang dada berlarian, tertawa-tawa sambil beradu layangan yang terbang tinggi ke langit. Benang kusut, teriakan semangat, dan sorak kegembiraan menyatu dalam riuh yang khas—riuh masa kecil yang tak mengenal beban.

Remaja-remaja lainnya lalu-lalang di jalan tanggul, sebagian duduk santai di atas motor yang berderet rapi di tepi jalan, sebagian lagi saling bercanda, bercengkerama, bahkan berpacaran dengan malu-malu. Mereka menyapa satu sama lain dengan bahasa ringan khas anak muda desa, berceloteh tentang hari ini, esok, atau mungkin hanya tentang siapa yang sedang dilirik siapa.

Semua itu dilihat oleh Asmarawati dalam diam. Dalam hatinya ada kedamaian, tapi juga kerinduan yang entah untuk apa. Dunia di sekitarnya terasa hidup—hidup yang sederhana, hangat, dan apa adanya. Ia menyandarkan tubuhnya, menatap langit yang makin temaram. Senja sebentar lagi pulang, dan malam akan datang membawa rahasia yang belum sempat diucapkan.

Namun di antara keindahan sore itu, hadir pula bayangan gelap yang menyentak ketenangan. Seorang lelaki paruh baya muncul dari balik semak, memanggul sekarung sampah di punggungnya. Langkahnya gontai, tatapannya kosong. Tanpa ragu ia menaiki tanggul, mendekati bibir kali Brantas yang mengalir tenang. Lalu dengan satu hentakan...

"Byuor!"

Karung itu dilemparkan ke sungai, isinya tercecer, menyebar di atas permukaan air seperti luka yang membuka perlahan. Arus kali menggulung sampah-sampah itu, membawanya entah ke mana—mungkin ke hilir, atau mungkin hanya tersangkut di antara akar dan batu.

Tak lama kemudian, ketenangan yang tersisa pun kembali terpecah.

Tiga motor CB meraung-raung memecah udara sore. Deru knalpotnya memantul di dinding tanggul, mengguncang keheningan seperti gempa kecil. Mereka melaju kencang, saling menyalip di jalan sempit yang membelah pinggiran sawah itu.

Di barisan terdepan, Untung memacu motornya dengan semangat liar. Di belakangnya, Tejo, si cungkring dengan tawa nyaring yang menggema seperti teriakan anak layangan. Dan paling belakang, sedikit tertinggal, adalah Wiji—dengan jaket lusuh dan tatapan yang tampaknya tak sepenuhnya tertuju ke jalan.

Tiba-tiba, ketika mereka melintasi bangku bambu tempat Asmarawati duduk, Wiji menarik remnya pelan. Matanya menangkap sosok gadis itu—berkerudung merah bermotif bulatan-bulatan putih, wajahnya termenung, matanya mengikuti deru mereka lewat seperti menyimpan sesuatu yang tak sempat dikatakan.

Wiji memperlambat lajunya, lalu membalikkan arah, membiarkan Untung dan Tejo melaju tanpa menoleh ke belakang. Ia tak peduli mereka akan ke mana. Yang ada di benaknya kini hanya satu: Asmarawati. Gadis yang entah kenapa, selalu berhasil membuat waktu di sekitarnya melambat.

Deru motornya kini tak lagi liar. Ia hanya ingin mendekat—meski hanya untuk memastikan bahwa kehadirannya tak sepenuhnya tak terlihat.

"Sudah lama di sini?" suara Wiji memecah hening, menyapa dengan nada pelan namun cukup membuat jantung Asmarawati berdetak lebih cepat.

Asmarawati tersentak kecil, seolah baru sadar bahwa dirinya tengah diamati.

"Emmm... baru saja, Mas," jawabnya singkat, gugup yang tak bisa ia sembunyikan.

"Ngapain duduk di sini?" tanya Wiji lagi, kali ini sambil menarik napas dan duduk tak jauh darinya—masih berjarak, menjaga sopan.

"Cuma pingin santai aja, Mas," ucap Asmarawati sambil tersenyum tipis. Ia pelan-pelan menggeser duduknya, menjauh sedikit, mendekati ujung bangku bambu yang mulai dingin terkena angin senja.

Setelah itu, tak ada kata-kata lagi. Mereka sama-sama terdiam, menatap ke arah barat, di mana senja tengah perlahan pamit dari langit. Langit menguning jingga, berlapis awan tipis yang melayang lamban. Di antara mereka, hanya ada jarak diam dan debaran tak terucap.

Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara. Hanya terdengar kemrìsik daun akasia yang ditiup angin, tawa lepas anak-anak yang masih berlarian dengan layangan, dan suara remaja lain yang bercengkrama di kejauhan.

Sesekali, Wiji mencuri pandang. Tatapannya jatuh pada sosok di sampingnya—gadis berkerudung merah, berkulit langsat, yang matanya lurus menatap senja seolah ia ingin mengikat langit dengan diamnya.

Bibirnya yang merah delima terkatup rapat, tak bergeming. Hidungnya datar, lebih tepatnya nggak mancung, tapi justru itu yang membuatnya tampak sederhana dan alami. Tak dibuat-buat. Tak menyilaukan, tapi menenangkan.

Dan sore itu, tanpa perlu banyak kata, dua hati duduk berdampingan. Hanya diam. Tapi diam yang hangat. Diam yang menumbuhkan sesuatu.

Senja hampir tenggelam di ufuk barat. Langit perlahan memudar dari jingga menjadi ungu, sebelum akhirnya gelap mengambil alih. Hari yang terang bersiap menyerahkan tahtanya kepada petang. Di sekitar tanggul, suara manusia mulai menipis. Anak-anak pemburu layangan telah pulang, membawa sisa benang dan tawa. Kawanan domba pun berbaris perlahan menuju kandang, diiringi ringkik jangkrik dan desir angin dari arah sawah.

Asmarawati berdiri, mengusap debu halus dari roknya. Ia menoleh sedikit ke arah Wiji, senyumnya tipis, suaranya lirih namun jelas.

"Sudah hampir surub... Aku pulang dulu, Mas."

Wiji tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, seolah tak ingin merusak momen dengan suara. Matanya mengikuti gerak Asmarawati yang perlahan menuruni tanggul dan menaiki motor maticnya. Mesin menyala, dan tak lama tubuh ramping itu meluncur pergi, meninggalkan sebaris jejak kecil di dalam hati Wiji.

Kerudung merahnya berkibar pelan, tertiup angin. Melambai-lambai seperti lambaian yang tak sempat diucapkan dengan tangan.

Wiji masih duduk diam, menatap arah kepergian gadis itu, hingga bayangannya hilang ditelan tikungan jalan. Lalu matanya menangkap sesuatu yang tertinggal di bangku bambu: sehelai selendang polos warna hijau.

Ia meraihnya perlahan, merasakan lembut kain itu di jemarinya. Aroma samar bedak dan minyak rambut perempuan masih tertinggal di permukaannya.

“Pasti punyanya Asmarawati,” batinnya.

Tanpa pikir panjang, Wiji berdiri dan men-starter CB-nya. Mesin meraung, lampu depan menyala, dan ia langsung melesat menyusuri jalan kampung, berharap bisa menyusul gadis itu. Namun, angin malam sudah lebih dulu menghapus jejaknya. Tak terlihat siapa-siapa. Asmarawati sudah terlalu jauh.

Sementara itu, matahari telah sepenuhnya tenggelam. Gelap jatuh perlahan di atas desa Wonosari. Suara adzan magrib mengalun dari menara-menara masjid dan langgar di kejauhan, menggema bersahutan seperti panggilan pulang dari langit.

Jangkrik mulai bersenandung, kodok sawah mengiringi dengan nada rendah. Bulan sabit menggantung malu-malu di langit yang mulai bersih, ditemani bintang-bintang yang berpendar lembut. Lampu-lampu panel di sepanjang jalan menyala satu per satu, seperti bintang kecil di bumi.

Setibanya di rumah. Di dalam kamar, Asmarawati terlihat panik. Ia membuka tas kain motif bunga miliknya. Jari-jarinya mengacak-acak isi dalamnya—bedak tabur, cermin kecil, buku catatan berisi lirik-lirik tembang, dan dompet merah tua. Namun satu benda tak ia temukan:

Selendang hijau.

Selendang baru yang tadi siang ia beli dengan suka cita di Pasar Legi—atau Pasar Manis. Kain yang ia pilih dengan hati-hati, polos dan lembut, serasi dengan kebaya sindennya untuk pentas berikutnya. Kini, benda itu raib.

Napasnya tersengal kecil. Wajahnya cemas. Matanya bergerak cepat, mengingat kembali rute perjalanan pulang.

“Jatuh di mana? Di jalan? Di angkringan? Di tanggul?”

Pertanyaan itu bergema dalam hatinya. Namun yang paling jelas terlintas adalah momen di bangku bambu di bawah pohon akasia, saat ia diam berdua dengan Wiji. Saat pikirannya melayang ke senja, bukan ke selendang.

Ia menatap kosong ke arah jendela. Langit malam sudah turun sempurna. Bintang-bintang menggantung sunyi. Tapi di dalam hatinya, justru gelisah bergelayut seperti angin yang enggan berhenti.

"Assalamualaikum?" Tiba-tiba suara itu terdengar dari arah pintu depan, membelah keheningan petang yang tenang.

Asmarawati, yang masih cemas mencari-cari selendangnya di dalam kamar, sontak berdiri dan melangkah ke depan. Ia membuka pintu perlahan, dan terkejut melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya itu.

"Waalaikumsalam... Lhoh, Mas? Ada apa?" tanyanya, masih dengan napas yang belum teratur.

Di hadapannya berdiri Wiji, mengenakan jaket lusuhnya, rambutnya agak berantakan karena hembusan angin. Di tangannya terjulur sehelai kain berwarna hijau lembut.

"Apakah ini milikmu?" tanya Wiji pelan, namun tegas.

Asmarawati membelalakkan mata. "Astaga... iya, Mas! Sampean nemokné di mana?" ucapnya terkejut, segera meraih selendang itu dari tangan Wiji dengan hati-hati, seolah kain itu adalah harta karun.

"Aku menemukannya di bangku bambu, di tempat kamu duduk tadi," jelas Wiji singkat.

Asmarawati menarik napas lega, lalu menghembuskannya pelan.

"Ya Allah... terima kasih ya, Mas. Aku tadi panik sekali. Kukira sudah hilang."

Wiji hanya mengangguk. Matanya sejenak menatap wajah Asmarawati yang masih diliputi lega dan sedikit malu. Tanpa ingin memperpanjang percakapan, ia berkata:

"Iya sudah, aku pamit dulu."

"Oh, nggih Mas. Terima kasih ya... sungguh."

"Terima kasih kembali. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Mas."

Mereka saling melempar senyum—senyum tipis namun jujur, seperti senyum yang menyimpan rasa, tapi belum sempat disampaikan. Wiji melangkah pergi, menyusuri pekarangan yang mulai diselimuti gelap malam. Suara langkahnya perlahan hilang, digantikan desis angin dan suara dedaunan yang bergesek.

Asmarawati masih berdiri di ambang pintu. Selendang hijau itu ia dekap di dadanya. Matanya mengikuti punggung Wiji yang menjauh, dan hatinya perlahan-lahan dipenuhi sesuatu yang belum bisa ia namai—tapi ia tahu, malam ini ada sesuatu yang tumbuh.

Sesederhana sehelai selendang yang kembali.

“Nduk...”

Suara Sundari meluncur dari belakang, lirih namun membetot perhatian.

Seperti angin surup yang membawa bau bunga kenanga, menyelinap ke hati.

“Siapa itu, Nduk?” tanyanya, dengan nada heran yang samar, seolah waktu berhenti sejenak di ambang petang.

“Sepertinya... itu anaknya Kaji Mispan.”

Ratmoyo tiba-tiba menyembul dari samping rumah, suaranya mengiris keheningan seperti sembilu pelan.

Langkahnya ringan, tapi matanya menyimpan kenangan yang belum reda.

“Kamu kenal sama dia?” tanyanya pada Asmarawati, nada suara penuh selidik, seperti orang yang tiba-tiba melihat bayang masa lalu berkedip di pelupuk mata.

Asmarawati menunduk. Kepalanya pelan menggeleng, seakan takut menggugurkan embun dari helai daun. “Mboten, Pak...” jawabnya gemetar, seperti suara rebab yang hampir putus senarnya.

“Lalu, ada keperluan apa dia datang kemari?” suara Ratmoyo terdengar datar, namun ujung-ujungnya seperti benang yang siap menjuntai ke lubuk hati terdalam.

“Mengantarkan selendang Asmara, Pak... Tadi jatuh di jalan, dan dia menemukannya.”

Asmarawati menjawab dengan nada gugup, bibirnya bergetar seperti ingin menyembunyikan guguran hujan di dadanya.

“Eh, iya sudah, sudah! Kalau begitu ayo masuk. Surup-surup begini ndak elok ngobrol di depan pintu,” Sundari segera memotong, suara lembutnya seperti doa petang yang ingin segera ditutup dengan keheningan malam.

“Nggih, Bu...” Asmarawati melangkah masuk lebih dulu, seperti burung kecil yang kembali ke sarangnya.

Ratmoyo dan Sundari masih tertahan di ambang pintu. Ratmoyo menghela napas panjang, hembusannya terasa berat seperti daun kering yang jatuh perlahan dari ranting tua.

Sundari melirik, wajahnya penuh tanya.

“Ada apa, Pak?” tanyanya pelan, matanya menyusuri wajah suaminya, mencari jawaban yang tak keluar dari bibir.

“Ndak apa-apa, Bu...” jawab Ratmoyo lirih,

tapi matanya menatap jauh—bukan ke depan, melainkan ke dalam dirinya sendiri.

“Iya sudah, ayo masuk.” Sundari menarik tangannya pelan. Mereka pun masuk ke dalam rumah,

meninggalkan gelap yang makin menyelimuti pelataran.

Namun, Ratmoyo tak benar-benar tenang. Langkah anak Kaji Mispan yang tadi masuk ke rumah terasa seperti jejak masa lalu yang mengendap. Ia terbayang pada kenangan lama—kenangan yang mestinya sudah dikubur bersama musim-musim yang telah lewat. Tapi bau lamanya tiba-tiba semerbak kembali.

Ia diam. Lalu beranjak mengambil air wudhu,

membasuh wajah dan pikirannya dengan harap: semoga yang usang benar-benar luruh. Ia menggelar sajadah, menunduk khusyuk dalam shalat magrib.

Mencoba berdamai dengan waktu, meski hati masih tersisa satu kecemasan yang belum sempat dijahit doa.

Waktu telah melangkah melewati sepertiga malam.

Langit pekat menggantung di luar jendela,

sementara di dalam kamar, Asmarawati masih duduk diam di atas ranjang, memeluk bantal seakan memeluk kegelisahan yang tak punya nama.

Sorot matanya kosong, menatap bayangan remang yang menari di dinding. Dalam benaknya, gumaman lirih mengalir, "Apa yang sedang terjadi? Ada apa dengan semua ini?"

Perasaannya berkecamuk seperti ombak di laut malam—tenang di permukaan, tapi menghantam di dasar batin.

Ia meraih ponselnya, mencoba mengusir segala yang berseliweran di kepalanya. Dibukanya media sosial, berharap bisa tenggelam dalam arus dunia maya. Namun pikirannya menolak dibelokkan.

Ia tetap berlari—tak tentu arah, seperti dikejar bayang yang tak kasatmata.

Tiba-tiba sebuah pesan muncul di layar. "Sudah tidur?"

Asmarawati cepat membalas, "Belum, Mas."

“ADA KEGIATAN KAH?” Pesan dari Wiji muncul dengan huruf-huruf kapital, seakan ingin memastikan dirinya benar-benar hadir, meski hanya lewat layar yang dingin.

“Nggak ada, Mas.” Asmarawati mengetik pelan, lalu mengirim balasan itu dengan jari yang ragu. Tapi setelah pesan terkirim, hanya keheningan yang kembali.

Tak ada balasan. Percakapan di media sosial itu terjeda, seperti jalan sepi yang ditinggal angin. Asmarawati memejamkan mata sejenak, namun satu sisi hatinya masih berjaga. Sesekali ia melirik ponsel, meski ia sendiri berkata dalam hati, "Sudahlah, jangan berharap."

Namun entah mengapa, penasaran itu tetap tinggal, membisik lirih dari sudut rasa yang belum selesai.

Beberapa menit kemudian... layar kembali menyala. “Terus kenapa masih belum tidur?”

Seulas senyum terbit di wajah Asmarawati.

Dibalasnya cepat, “Nggak biasa tidur di jam-jam segini, Mas.” Sebuah emoji tersenyum ia selipkan,

agar hatinya tak terlalu kentara sedang bergetar.

Lalu balasan dari Wiji datang lagi, lebih panjang, lebih lembut—seperti selimut di dini hari: “Kalau nggak ada kegiatan, kenapa ndak istirahat saja lebih awal? Kasihan badanmu! Istirahatlah.

Besok pagi kamu masih harus ke sekolah, kan?

Terus dengar-dengar, Bapakmu juga ada pentas besok... kamu ikut, to?”

Kalimat-kalimat itu terasa seperti embun di ujung daun, tak mewah, tapi cukup menyejukkan. Ada perhatian di sana, yang tak diumbar, tapi terasa tulus menyusup ke dada. “Oh, iya Mas. Terima kasih sudah mengingatkan,” jawab Asmarawati, tulus dari lubuk hatinya.

Balasan terakhir dari Wiji pun tiba: “Iya, sudah... istirahatlah dulu. Siapkan tenagamu, dan jaga kesehatanmu.”

Kalimat yang ringkas, tapi terasa hangat, seolah tulisan itu tak hanya dari ponsel, tapi dari seseorang yang benar-benar peduli.

“Iya, Mas... terima kasih, nggih.” Asmarawati menutup percakapan. Lalu ia letakkan ponselnya di samping bantal, dan memejamkan mata.

Tak lama kemudian, ia pun tertidur dengan tenang.

Malam menyelimuti tubuhnya, dan kata-kata itu mengendap jadi mimpi, yang entah kenapa, terasa begitu damai.

****

Dari balik jendela kaca yang temaram, tampak sesosok wajah muncul perlahan. Ia tersenyum—senyum yang begitu tenang, seolah mengirimkan sapaan hangat dari dunia yang tak tersentuh. Tangannya melambai lembut, mengguratkan kerinduan yang tak terucap. Bibirnya bergerak, menyusun kata-kata yang samar. Namun Asmarawati tak dapat mendengar sepatah pun dari ucapannya.

Hatinya terusik. Rasa penasaran menggiringnya bangkit dari ranjang. Dengan langkah pelan, ia mendekat, menyibak tirai yang membalut kaca jendela. Matanya tak lepas dari wajah itu—wajah yang seolah begitu dekat, namun terasa jauh di balik diam dan bayang. Ia mengamati gerak mulutnya, mencoba merangkai makna dari tiap bisikan yang tak bersuara. Tapi tetap saja, sunyi itu membungkam segalanya.

Asmarawati menggeleng pelan, mengirim isyarat bahwa ia tak mengerti. Namun sosok itu tak berhenti. Ia terus menggerakkan tangannya, menunjuk ke arah dirinya, lalu ke arah Asmarawati, seakan ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang tertahan oleh batas dunia yang tak kasat mata.

Meski jantungnya berdetak tak karuan, rasa takut yang melintas sekejap, Asmarawati memberanikan diri. Dengan tangan gemetar, ia meraih kait jendela dan perlahan membukanya. Namun saat kaca itu terbuka sepenuhnya—sosok itu lenyap, seperti embun pagi yang menguap ditelan sinar mentari.

Hening. Sepi. Yang tersisa hanya angin malam yang dingin menggigit dan bayangan gelap yang menari-nari di kejauhan. Asmarawati melongok ke luar, matanya menyapu setiap sudut, mencari jejak—namun tak ada siapa-siapa. Hanya malam yang diam, menggenggam seribu rahasia.

Pikirannya berputar—bertanya, menerka, menggali makna dari kejadian barusan. Dan tiba-tiba—

Thing, thing, thung, thing, thing, thung. Suara alarm ponselnya memecah sunyi, membawanya kembali pada dunia nyata. Matanya terbuka, dan ia mendapati dirinya masih di atas ranjang.

Ia menoleh ke arah layar ponsel: 04.30.

Asmarawati menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. Dalam hati ia berbisik lirih,

“Mung ngimpi...”

Sementara itu, pagi perlahan merangkak naik di halaman rumah Ratmoyo. Ufuk timur telah memamerkan semburat cahaya keemasan. Mentari menggeliat dari balik peraduan, menyelinap melalui celah-celah daun rambutan yang bergoyang pelan. Embun pun mencair dalam pelukan hangat sinar pagi.

Sundari tampak sibuk menjemur pakaian, langkahnya penuh ketenangan di halaman samping. Di depan rumah, Ratmoyo bersiul-siul kecil, menirukan suara burung kutut yang sejak lama menjadi teman setianya. Dan Ki Sanusi duduk berselonjor di bangku kayu depan pintu, wajah tuanya tersenyum damai, menikmati hangat matahari yang memeluk kulitnya yang renta—seolah alam pun sedang menyapa penuh cinta.

Berikut versi yang diromantisasi dan dipuisikan dari bagian naskah Anda, tetap menjaga suasana keluarga yang hangat dan penuh kasih:

"Kulo, berangkat sekolah rumiyin!"

Suara lembut Asmarawati mengalun dari pintu tengah, menembus pagi yang masih basah oleh embun. Ia melangkah mendekati ibunya, lalu ke ayahnya, dan terakhir pada sang kakek yang duduk santai menikmati hangat matahari. Satu per satu tangan mereka ia cium dengan takzim, penuh rasa sayang dan hormat yang dalam.

Sundari membalas senyum putrinya dengan tatapan teduh. "Hati-hati di jalan ya, Nduk... Kalau naik motor, pelan saja. Jangan terburu-buru, ingat jalanan bukan milik kita sendiri."

Petuah itu meluncur hangat, seperti doa yang menyelusup ke dada Asmarawati.

Sementara Ratmoyo, sambil menenteng kurungan burung kutut kesayangannya, mengulurkan selembar uang dua puluh ribu. Ulurannya penuh kasih.

"Iki, sangu-mu. Nggak banyak, tapi cukup buat jajan hari ini."

Asmarawati tersenyum, menerima uang itu dengan takzim. "Asmara pamit dulu, Pak, Bu, Mbah..."

Lalu ia melangkah keluar. Seragamnya berayun lembut diterpa angin pagi. Suara langkah motornya pun perlahan menjauh, seiring mentari yang kian meninggi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!