—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”
Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.
Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.
Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.
Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.
Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?
Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?
Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Kael membuka pintu kamarnya dan mendapati Ara duduk diam di depan jendela. Cahaya matahari sore menyapu kulit pucat gadis itu, menciptakan siluet lembut yang kontras dengan bayangan dalam benaknya.
Ara tidak menoleh. Tapi Kael tahu dia sadar akan kehadirannya—dari cara bahunya menegang sedikit, dari cara jemarinya mencengkeram lutut yang tertekuk.
Kael sempat berhenti.
Pandangan matanya tertumbuk pada bagian dalam paha Ara yang terbuka, tersingkap samar di balik kemeja longgar yang nyaris menutupi semuanya… tapi tidak cukup. Pandangan itu menusuk pikirannya seperti pisau tipis.
Sial.
Kael memijat pelipisnya cepat-cepat. Sekilas. Sesaat. Lalu tanpa berkata apa pun, ia berjalan cepat menuju kamar mandi, membiarkan air dingin dan ketegangan di tubuhnya berbenturan sendiri dalam keheningan.
Kael baru saja menutup pintu kamar mandi saat suara ketukan terdengar dari arah pintu kamar luar, diikuti suara ibunya, Arsyira.
“Kael?” panggil Arsyira, tegas namun tidak keras. “Ibumu ingin bicara sebentar.”
Ara yang sejak tadi duduk di depan jendela langsung menegang. Napasnya tercekat, wajahnya pucat.
Ibu?
Ibunya Kael?
Dia menoleh ke pintu kamar, lalu ke arah kamar mandi tempat Kael menghilang. Suaranya tidak menjawab apa pun.
Pintu kamar diketuk lagi. Kali ini lebih tegas. “Kael. Aku tahu kau di dalam.”
Ara berdiri. Panik. Ia belum pernah bertemu wanita itu. Tidak siap. Tidak tahu harus bersembunyi di mana. Dan entah kenapa… tubuhnya melangkah sendiri ke arah kamar mandi.
“Ada wanita di luar. Dia ibumu, ya?” bisik Ara cepat, nyaris tanpa jeda. “Aku… aku tidak berani menemuinya sekarang. Kumohon… jangan suruh aku keluar.”
Kael menatap gadis itu, sorot matanya tajam. Diam hanya sekejap, lalu tiba-tiba menarik Ara masuk lebih dalam ke ruang mandi. Pintu ditutup tepat sebelum langkah kaki Arsyira terdengar mendekat.
“Kael?” panggil Arsyira, suaranya jelas sudah di dalam kamar.
Mata Kael bertemu mata Ara.
Lalu ia berbisik, rendah dan cepat. “Jangan lihat.”
Sebelum Ara sempat bertanya apa maksudnya, Kael dengan gerakan cepat menarik tuas shower. Air langsung turun deras dari atas kepala. Dalam satu tarikan cepat, ia melepas celananya dan mengangkat Ara ke atas—menggenggamnya di kedua sisi pinggul.
Ara menahan napas, terpaku. Tubuhnya didorong ke dinding shower, dingin, dan ia tak bisa melihat apa pun kecuali wajah Kael yang sangat dekat.
Pintu kamar luar terbuka.
Langkah Arsyira masuk. “Kael?”
Air shower bergemericik. Dari celah bawah pintu kamar mandi, hanya terlihat kaki Kael yang basah, seolah dia sedang mandi sendiri.
Tidak ada jejak orang lain.
Kael menempelkan jari telunjuk ke bibir Ara. Diam. Jangan bersuara. Lalu menunduk mendekat ke bahunya—seolah tengah membisikkan doa, padahal ia hanya menahan napas agar tidak menciptakan suara yang memancing curiga.
Ara membeku dalam pelukan Kael, tubuhnya mulai basah oleh air shower yang terus mengalir deras. Nafasnya tertahan di tenggorokan, sementara dada Kael menempel erat ke tubuhnya—tepat di bawah tulang rusuk, nyaris tak memberi jarak.
“Apa Ibu sudah puas melihat-lihat kamarku?” sindir Kael datar, suaranya terdengar sedikit lebih keras, cukup agar sang ibu mendengarnya dari sisi luar ruang mandi.
Ara menutup mata, berusaha tak bergerak. Bajunya yang mulai basah kini mencetak bayangan samar pakaian dalamnya. Dingin keramik dan suhu air membuat tubuhnya makin menggigil, tapi lebih dari itu, degup jantung Kael yang begitu dekat justru membuatnya sulit berpikir jernih.
“Aku akan mengatur makan malam dengan Domias,” jawab Arsyira dari balik pintu kamar mandi. Suaranya tenang, khas bangsawan, seperti tak menyadari apa pun. “Aku ingin kau juga ikut, Kael.”
Kael menghela napas, masih memeluk Ara erat, bahkan sedikit lebih dalam dari sebelumnya.
“Atur saja semaumu, Bu…” Ia lalu menoleh sedikit ke arah pintu dan berkata dengan senyum tipis yang nyaris sinis, “Tapi bisakah Ibu segera pergi? Aku rasa… aku sudah cukup umur untuk tidak dilihat mandi.”
Hening sesaat.
Lalu langkah kaki terdengar menjauh. Pintu kamar kembali ditutup perlahan.
Keheningan mendadak menggantung di udara.
Air shower masih mengalir, membasahi pakaian mereka berdua.
Tubuh Ara masih terpaku di antara lengan Kael, dan hanya suara napas mereka yang tersisa di udara yang semakin panas.
“Kael…” bisik Ara, nyaris tak bersuara. Nafasnya tersendat.
“Ssstt,” sahut Kael singkat, tanpa menoleh.
Wajah Kael masih tertanam tepat di dada Ara. Air yang turun dari atas membuat tubuh mereka berdua gemetar kedinginan, tapi napas Kael terasa panas—kontras, menyentuh kulit Ara seperti luka bakar yang tak terlihat.
Ara tetap membatu. Tak berani bergerak. Ia bahkan tak tahu apakah jantungnya masih berdetak normal.
Keduanya bertahan dalam posisi itu. Diam. Tertahan. Dalam denting air dan napas yang saling berburu.
Sampai akhirnya…
Tuk. Suara pintu luar tertutup.
Keheningan itu terasa panjang.
Kael perlahan menurunkan tubuh Ara dari gendongannya. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih handuk dan melilitkannya ke pinggang, lalu berbalik.
Satu gerakan berikutnya terjadi begitu cepat: ia melepaskan pakaian dalam terakhirnya—tanpa ragu, tanpa bicara, bahkan tanpa melihat ke arah Ara. Benda itu dilemparkannya begitu saja ke keranjang cucian.
Seolah Ara bukan perempuan.
Seolah gadis itu hanyalah bayangan samar yang tak berarti.
Ara berdiri diam, tubuhnya masih gemetar, kemejanya basah, menempel erat ke kulit. Garis pakaian dalamnya terlihat jelas, mencetak bentuknya dengan malu-malu. Tapi Kael tidak melihat.
Tanpa satu kata pun, Kael membuka pintu kamar mandi, keluar… dan menghilang di balik embun kaca.
Meninggalkan Ara sendirian.
Dengan air yang masih mengucur.
Dan degup jantung yang tidak tahu cara melambat.
...****************...
Kael baru saja keluar dari kamar mandi saat panggilan masuk melalui jaringan Gulf. Ia menatap nama yang muncul di layar: Tania.
Dengan gerakan ringan, ia menerima panggilan itu. Wajah Tania langsung muncul di layar, terlihat gelisah meski mencoba tenang.
“Kael,” katanya cepat, “kalian belum bisa kembali malam ini.”
Kael mengerutkan alisnya. “Kenapa?”
Tania tampak menoleh ke samping, seolah memastikan tak ada yang mendengar. Lalu, dengan suara yang lebih hati-hati, ia menjawab, “Elvero bilang… titip Ara lebih lama lagi. Dia tidak menjelaskan banyak. Hanya bilang, ‘jangan bawa dia ke sini dulu.’”
Mata Kael menyipit. Napasnya tertahan.
“Ada sesuatu yang terjadi?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Tania buru-buru menggeleng. “Tidak. Maksudku, bukan serangan atau keadaan darurat. Tapi… Elvero terlihat tegang. Sangat tegang. Dia bahkan tidak sempat bicara langsung padamu. Kupikir dia akan menghubungimu, tapi ternyata tidak.”
Kael terdiam sejenak. Pandangannya kosong, namun matanya dalam, menghitung sesuatu di dalam kepala.
“Elvero tidak memberitahumu apa pun?” tanyanya kemudian.
“Tidak,” jawab Tania, pelan. “Dia hanya berkata kau akan tahu harus berbuat apa.”
Kael menoleh sedikit—baru menyadari kehadiran Ara di ambang pintu. Tatapan mereka bertemu. Wajah Ara masih merah dan basah, kemejanya mencetak lekuk tubuhnya. Kael tak bicara, hanya menahan tatapannya sesaat, lalu kembali ke Gulf.
“Aku mengerti,” ucapnya dingin. “Kalau begitu, kau tahu artinya. Aku yang urus semuanya di sini.”
Tania terdengar ragu. “Kael… kau yakin bisa menjaga Ara?”
Kael menutup Gulf sebelum menjawab. Lalu berbalik. Tatapannya jatuh pada Ara yang masih berdiri diam, menggigit bibir, tak tahu harus pergi ke mana.
“Aku akan mengambil pakaian kering. Ganti bajumu, kau menggigil,” katanya tanpa nada simpati.
“Ternyata kau harus tinggal di sini lebih lama.”
...****************...
Kael duduk tenang di tepi ranjangnya, tangan bertumpu di atas lutut, matanya terarah ke depan—tetapi tidak benar-benar melihat apa pun. Lampu kamar menyala redup, menciptakan bayangan lembut di dinding. Suasana malam di rumah itu tenang, terlalu tenang, nyaris hampa… dan entah mengapa, Kael justru merasa damai.
Di sisi lain ranjang, Ara sibuk sendiri. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang diberikan Kael tadi. Gerak-geriknya canggung, tetapi pelan-pelan mulai terbiasa. Mereka hanya duduk tanpa suara, seperti dua orang asing yang sudah terlalu lama saling menghindar, tapi kini terjebak dalam ruang yang sama—dan tak bisa pergi.
Kael menarik napas dalam-dalam. Hari ini terasa panjang. Makan malam bersama Domias dan ibunya membuat kepalanya berat. Tawa palsu, topik kosong, dan pandangan penuh ekspektasi dari dua orang yang menganggap dirinya milik. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang Ara—dan tidak akan pernah.
Sekarang, ia bersyukur bisa kembali ke kamar. Tempatnya melarikan diri, bersembunyi dari dunia luar. Tempat di mana tak ada yang mengusik. Orang-orang di rumah sudah tahu kebiasaannya. Diam. Menutup diri. Mereka mengira itu karena Kael masih terobsesi pada seseorang yang lama. Atau mungkin karena dia selalu aneh. Tak ada yang akan curiga… bahwa alasannya kali ini berbeda.
Ada seseorang yang ia bawa masuk ke ruang pribadinya. Seorang gadis kecil dengan nama palsu dan luka yang belum sembuh. Seseorang yang seharusnya hanya menjadi alat… tetapi kini, kehadirannya membuat Kael merasa hidup.
Kael menoleh perlahan. Ara masih sibuk membenarkan letak handuk di rambutnya. Tubuhnya sedikit membungkuk, mengenakan pakaian longgar milik Kael yang tampak kebesaran. Tapi matanya serius. Ia berusaha keras agar tak terlihat takut.
Kael menatapnya tanpa berkata apa-apa. Lama. Diam-diam, ia menyukai ketenangan itu.
“Ara,” ucapnya akhirnya, pelan, nyaris tanpa suara.
Ara menoleh cepat, kaget dipanggil.
Kael tersenyum kecil. “Kau mengotori tempat tidurku.”
Ara berkedip, bingung. “A-apa?”
“Rambutmu masih basah.”