"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Tujuh
Udara pagi masih dingin ketika alarm Arka berbunyi pelan. Ia membuka mata perlahan, meraih ponsel di nakas, dan menoleh ke samping tempat tidur yang kosong. Tak ada suara, tak ada langkah kaki, tak ada aroma parfum lembut milik Raya yang biasa samar tercium saat ia mondar-mandir di sekitar kamar.
Arka mengerutkan kening, kemudian duduk sambil menggosok tengkuknya. Ia merasa... sedikit kosong.
Langkahnya berat saat keluar kamar, tapi napasnya tertahan sejenak saat melihat meja makan yang sudah rapi. Di atasnya, satu piring nasi goreng hangat, dua butir telur rebus yang dibelah rapi, dan segelas jus jeruk.
Di samping piring, ada selembar kertas kecil bertuliskan tangan:
"Jangan lupa sarapan. Obatnya sudah kutaruh di sebelah gelas. Semangat kerja, Pak Arka." —Raya.
Arka menatap kertas itu cukup lama sebelum mengangkatnya, lalu tanpa sadar bibirnya membentuk lengkungan tipis.
“Cerewet,” gumamnya pelan, tapi wajahnya tidak menunjukkan kekesalan. Bahkan sebaliknya.
*
Siang Hari, Kantor.
Raya menata berkas-berkas di mejanya dengan semangat yang tak biasa. Wajahnya cerah, bahkan beberapa rekan kerja sempat menoleh dan saling berbisik heran.
“Biasanya Raya kelihatan dingin, ya?” bisik seorang rekan.
“Sekarang malah senyum-senyum sendiri. Lagi jatuh cinta, kali,” sahut yang lain.
Raya pura-pura tidak mendengar. Ia tahu betul bahwa senyum itu memang tidak bisa ia tahan. Meski Arka masih saja bersikap datar, tapi ada sedikit perubahan kecil yang ia rasakan... atau mungkin hanya harapannya semata.
Saat waktu makan siang tiba, Raya menoleh ke arah bekal yang telah ia siapkan dalam kotak makan bergaya elegan, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Aku cuma mengantarnya, bukan mengganggu," bisiknya menyemangati diri sendiri.
Setelah mengumpulkan keberaniannya, ia menuju lantai 30. Dengan langkah hati-hati, ia mengetuk pelan pintu ruangan Arka.
“Masuk,” sahut suara dari dalam.
Raya membuka pintu perlahan dan menemukan Arka sedang sibuk di balik tumpukan berkas. Pria itu hanya menoleh sekilas.
“Ada apa?” tanyanya datar.
“Aku… hanya ingin mengantarkan makan siang. Maaf kalau mengganggu,” ujar Raya sambil meletakkan kotak makan di atas mejanya.
Arka mengalihkan pandangan, menatap kotak makan itu sekilas. “Kau tidak perlu repot-repot,” ujarnya, tak ada nada tajam tapi tetap terasa jauh.
Raya tersenyum tipis. “Tidak repot. Aku hanya ingin memastikan kau makan tepat waktu.”
Ia berbalik hendak pergi, tapi suara Arka membuat langkahnya berhenti.
“Raya.”
Raya menoleh.
“Terima kasih.”
Tak ada senyum, tak ada ekspresi hangat. Tapi dua kata itu cukup untuk membuat hati Raya terasa sedikit lebih ringan. Ia mengangguk pelan, lalu melangkah keluar.
Di balik pintu yang tertutup kembali, Arka memandangi kotak makan itu beberapa saat. Tanpa terburu-buru, ia membuka tutupnya dan mengangkat sendok, diam-diam menikmati perhatian kecil yang entah sejak kapan mulai ia nantikan.
Lampu kantor sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya temaram dari lorong dan beberapa meja kerja yang masih aktif. Jam hampir menunjukkan pukul sembilan malam ketika Arka menenteng jasnya, siap meninggalkan gedung.
Ia berjalan melewati lobi, namun langkahnya terhenti ketika salah satu petugas keamanan menyapanya dengan senyum ramah.
“Pak Arka, lembur juga?”
“Tidak, saya baru mau pulang,” jawab Arka singkat.
Security itu mengangguk. “Oh, saya kira Anda menjemput Bu Raya. Beliau masih di atas, di lantai 17. Sendirian dari tadi. Giat sekali ya, adik ipar Anda. Jarang ada staf yang kerja selarut ini.”
Arka sempat diam. Matanya sedikit menyipit, lalu tanpa menjawab, ia memutar arah kembali menuju lift. Jemarinya menekan tombol angka 17.
Bunyi ting terdengar pelan saat pintu terbuka. Kantor sepi, nyaris tak ada suara selain denging AC dan suara ketikan dari satu sudut.
Dan benar saja.
Raya duduk sendirian, tubuhnya sedikit membungkuk, dahi berkerut menatap layar. Tangan kanannya sibuk dengan mouse, sementara tangan kirinya menopang kepala.
Arka melangkah perlahan, berdiri tanpa suara di belakangnya. Ia mengamati dalam diam, memperhatikan cara Raya bekerja tanpa distraksi sedikit pun.
“Apa kau selalu memaksa dirimu seperti ini?” tanyanya tiba-tiba, membuat Raya hampir tersentak.
"Pak Arka?” Raya menoleh cepat. Ia berdiri terburu-buru, sedikit panik, hingga tanpa sengaja lututnya membentur laci terbuka.
“A-aku tidak tahu Bapak masih di sini…” sambil mengusap lututnya yang sakit.
“Jawab pertanyaanku.”
Raya menunduk sesaat, lalu duduk kembali perlahan.
“Aku hanya ingin memperbaiki reputasiku. Kupikir… kalau aku bekerja sebaik mungkin, orang-orang akan berhenti menganggapku tak berguna.”
Arka tak berkata apa-apa. Ia hanya memandangi wajah letih namun bersungguh-sungguh itu.
Raya mencoba tersenyum.
“Aku tidak mau terus dilihat sebagai adik iparmu. Aku ingin orang melihatku sebagai... aku.”
Sesaat, hanya ada keheningan.
Sampai tangan Arka meraih tumpukan kertas di meja Raya, menelitinya cepat.
“Ada beberapa data yang salah format. Biar kubantu.”
“P-pak Arka?” Raya menatapnya bingung.
“Pindah,” ucap Arka singkat, menarik kursi di sebelah Raya.
Raya hanya menatap tak percaya, tapi ia menurut. Beberapa menit berikutnya, mereka duduk berdampingan, mengerjakan laporan dalam diam. Hanya suara ketikan dan lembaran kertas yang berganti.
Sesekali, tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan saat mengambil berkas yang sama. Raya menahan napas, dan entah kenapa, Arka juga tidak langsung menarik tangannya.
Hening, tetapi tidak lagi canggung.
Raya merasa jantungnya berdegup cepat, apalagi saat wajah Arka begitu dekat ketika mereka membaca layar yang sama. Matanya fokus, rahangnya tegas, tetapi ada sedikit sorot lelah dan... hangat?
Jarum jam sudah melewati angka sebelas ketika keduanya memutuskan untuk menghentikan pekerjaan. Ruangan mulai terasa dingin, dan hanya suara langkah mereka yang menggema di antara meja-meja kosong.
Raya memeluk tasnya erat, menyusul langkah Arka yang lebih dulu keluar dari ruangannya.
“Aku bisa pulang sendiri,” ujar Raya pelan saat mereka tiba di depan lift.
“Mobilku satu-satunya kendaraan yang masih ada di parkiran,” sahut Arka datar, menatap panel lift. “Kecuali kau mau jalan kaki tengah malam.”
Raya tersenyum tipis, menunduk. “Baiklah ... Kalau begitu, terima kasih.”
Di dalam mobil, suasana hening. Tidak ada musik. Hanya suara mesin dan sesekali embusan napas mereka yang terdengar. Raya duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, menatap jalanan gelap yang terus mereka lewati.
Setiba di apartemen, Arka lebih dulu turun dan membukakan pintu. Bukan hal besar, hanya refleks. Tapi kembali membuat Raya memandangnya dengan tatapan berbeda.
“Terima kasih sudah mengantar.”
Arka tidak menanggapi, hanya berjalan masuk lebih dulu. Namun sebelum menghilang di balik pintu, ia sempat menoleh dan berkata, “Besok, jangan lembur sendirian lagi.”
Suaranya dingin seperti biasa, tapi kali ini, Raya tahu itu bukan teguran. Itu perhatian... dalam bahasa Arka.
*
Pagi itu di kantor, suasana terasa berbeda.
Raya datang lebih awal dari biasanya, membawa semangat yang tak bisa ia sembunyikan. Meski semalam hanya sedikit pujian dan satu kalimat dari Arka, itu sudah cukup untuk membuatnya merasa... dilihat.
Ia menyapa rekan-rekannya dengan senyum tulus, menyusun laporan dengan lebih rapi, dan mengatur berkas dengan cekatan. Bahkan atasan langsungnya sempat memberi anggukan puas.
Sementara itu, Arka sudah berada di ruangannya sejak pukul tujuh. Ia membuka laptop, tapi pikirannya melayang.
Terbayang wajah letih Raya tadi malam, cara gadis itu menahan sakit saat lututnya terbentur, cara dia bicara tentang ingin diakui, dan... senyumnya ketika ia mengucapkan "terima kasih".
Ia menghela napas pelan. Ini bukan bagian dari kontrak.
Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk.
“Pak Arka, ini makan siangnya,” ucap Raya dari balik pintu, membawa kotak makanan.
Arka memandangnya sekilas. “Aku tidak pesan.”
“Aku tahu. Tapi aku buatkan sendiri.” Raya tersenyum, sedikit gugup. “Kau belum makan sejak pagi.”
Arka tidak menanggapi langsung, hanya mengangguk kecil dan kembali fokus ke layar laptopnya.
Tapi ketika Raya sudah keluar, Arka menatap kotak makan itu beberapa saat... lalu membukanya. Aroma masakan rumah menyambutnya, dan bibirnya terangkat tipis, nyaris tak terlihat.
Kontrak pernikahan itu tidak pernah menyebut soal hati.
Namun, diam-diam, batasan itu mulai kabur.
To Be Continued >>>
tpi alangkah baiknya km keluar dri rmh neraka itu slmanya... prgilah yg jauh... demi kwarasan mentalmu... km brhak untuk bahagia...
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........