lola adalah gadis cantik lugu yang dilamar untuk menjadi istri seorang ceo mafia yang terkenal tempramental dan kejam setelah ditinggal oleh sang kekasih....
bagaimana kisah lanjutan lola,yuk mampir dan baca🙏😇.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB~ 07²
...❣️❣️❣️...
...Melihat anak buahnya mulai tumbang satu per satu, kemarahan Tuan Redolfo membuncah, mendidih dalam dadanya seperti lahar. Urat di pelipisnya menonjol, rahangnya mengeras, dan ia melayangkan tembakan secara membabi buta, suara desing peluru memecah keheningan malam yang mencekam. Saat sedang sibuk menembak, suara dering notifikasi yang lembut namun mengusik mengalihkan perhatian Tuan Redolfo. ...
...Dengan gerakan cepat dan jari-jari gemetar penuh antisipasi buruk, ia membuka pesan itu. Jantungnya mencelos, berdebar kencang di rusuknya, saat menyadari itu pesan dari putrinya yang sudah berhasil ditangkap oleh anak buah Bastian....
Aroma mesiu yang menusuk hidung bercampur dengan rasa pahit keputusasaan. "Bastian sialan! Lepaskan putriku!" Teriak Tuan Redolfo, suaranya serak dan pecah karena amarah yang tak tertahankan.
...Ia keluar dari tempat persembunyiannya yang gelap, mengabaikan bahaya, sambil melayangkan tembakan ke berbagai arah....
...Bastian, di sisi lain, langsung tersenyum smirk dingin, bibirnya melengkung sinis, setelah mendengar teriakan Tuan Redolfo. Matanya berkilat kemenangan, memancarkan kepuasan yang kejam. Tanpa membuang waktu, Bastian memberi kode kepada asistennya. Asistennya mengangguk, wajahnya tegang namun patuh, segera mengambil posisi dan bersiap untuk menembak. ...
...Saat Tuan Redolfo masih sibuk mencari keberadaan Bastian, merasa buta dalam amarahnya, tiba-tiba Bastian muncul dari balik kegelapan dan melayangkan tembakan tepat mengenai dada Tuan Redolfo....
"Ugh." Ringis Tuan Redolfo, rasa sakit menusuk, menjalar dari dadanya hingga ke seluruh tubuh.
...Tubuhnya lunglai, dan ia pun terjatuh ke atas tanah yang dingin dan sedikit lembap. Debu beterbangan tipis di sekitar tubuhnya yang ambruk....
...Tak lama, Bastian berjalan mendekat. Setiap langkahnya tenang, penuh dominasi, meskipun bajunya berlumuran darah segar yang masih mengering di beberapa bagian. Ia menghampiri Tuan Redolfo yang sudah tumbang, terkapar tak berdaya....
"Cih! Begitu saja kehebatanmu? Sekarang pergilah ke neraka dan saksikan penderitaan putri tercintamu dari alam baka." Ucap Bastian, suaranya rendah, nyaris berbisik, namun dipenuhi kekejaman yang menusuk.
...Ia mengarahkan senjata kepada Tuan Redolfo, moncong pistol itu tampak mengancam dalam kegelapan....
"Uhuk… ka-kau akan menyesal karena sudah menyentuh putriku, Bastian. Kedua putraku akan mengincarmu." Balas Tuan Redolfo terbata-bata, setiap kata keluar dengan susah payah, bercampur rintihan dan napas terengah-engah.
...Matanya menatap Bastian, penuh kebencian dan kepedihan yang mendalam, meskipun pandangannya mulai kabur....
"Dengan senang hati aku akan mengirim mereka berdua bergabung denganmu di alam baka." Ujar Bastian dengan wajah dingin, tanpa ekspresi, seperti topeng batu.
Dor!
...Satu tembakan lagi dari Bastian langsung membuat Tuan Redolfo menghembuskan napas terakhir. Keheningan menyelimuti lokasi, hanya menyisakan bau anyir darah dan mesiu yang kental di udara. ...
Setelah semuanya sudah aman, asisten Bastian menghampiri. "Tuan, semuanya sudah kami bereskan, dan Nona Ina sudah diamankan serta dibawa ke markas, Tuan." Lapor asisten, nada suaranya lega namun tetap waspada.
"Bagus. Jadikan dia santapan anak-anak di markas, tapi ingat, jangan sampai dia mati." Perintah Bastian, suaranya datar, namun mengandung ancaman yang mengerikan.
"Baik, Tuan." Sahut asisten, patuh dan tanpa pertanyaan.
...Bastian pun berbalik dan berjalan pergi, langkahnya mantap. Sang asisten langsung memerintah yang lain untuk membereskan mayat para musuh mereka. Suara gesekan sepatu di atas kerikil dan bisikan-bisikan perintah samar terdengar di tengah malam. Setelah selesai, mereka pun pergi meninggalkan tempat kejadian menuju ke mansion....
...Setibanya di mansion, Bastian turun dari mobil mewahnya. Cahaya lampu mansion yang terang benderang menusuk matanya sejenak, namun ia tak acuh. Ia berjalan masuk, bayangan tubuhnya yang besar dan baju berlumuran darah membuat para pelayan yang menyambutnya terkesiap, ketakutan setengah mati. ...
...Mereka menunduk dalam, menghindari kontak mata, seperti melihat hantu berlumuran dosa....
"Se-selamat datang, Tuan." Sambut para pelayan, suara mereka bergetar, hampir tak terdengar.
...Bastian tidak menghiraukan mereka. Aroma darah yang masih melekat di bajunya seolah-olah memenuhi udara di lorong mansion. Ia terus berjalan menuju kamar miliknya, langkahnya berat, membawa beban kepenatan dan kekejaman yang baru saja dilakukan. Ia masuk, lalu langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. ...
Suara gemericik air mengisi kamar mandi yang sunyi, membersihkan noda darah, namun tak mampu menghapus noda di jiwanya.
...Setelah selesai, Bastian keluar dari kamar mandi. Wajahnya kini bersih, namun matanya masih memancarkan kekosongan dan kelelahan. Ia berjalan membuka lemari walk-in closet. Terlihat semua pakaian mantan kekasih Bastian, Ana, masih tertata dengan rapi di sana, membawa aroma parfum Ana yang samar, membanjiri indra penciumannya dengan nostalgia yang menyakitkan....
"Ana, kamu di mana? Aku sangat merindukanmu..." Lirih Bastian, suaranya berubah, dari dingin menjadi penuh kerinduan dan kepedihan yang mendalam.
...Ia mengambil salah satu baju Ana, menyentuh kainnya dengan hati-hati, seolah takut merusaknya, lalu mencium dan menghirup aroma Ana yang masih melekat, mencoba merasakan kehadirannya lagi, meskipun hanya lewat kenangan....
...Bastian dengan cepat mengganti baju dan kembali keluar dari mansion, menuju ke rumah sakit. ...
Malam semakin larut, jalanan mulai lengang, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang buram. Setibanya di rumah sakit, Bastian turun dan berjalan masuk, langkahnya tergesa-gesa namun tegang, menuju ke ruang rawat milik Tuan Alberto dan Nyonya Amelia.
Ceklek.
...Suara pintu terbuka membuat Mark, yang sedang tertidur pulas di sofa, langsung terbangun. Ia menoleh ke arah pintu, matanya mengerjap, sedikit kesal karena tidurnya terganggu. ...
"Cih! Apakah kau sudah selesai?" Desis Mark, suaranya serak khas orang baru bangun tidur.
...Bastian berjalan mendekati Mark dan duduk di sampingnya. Bau antiseptik rumah sakit yang khas menusuk hidung, bercampur dengan aroma kopi pahit yang mungkin baru saja diminum Mark....
"Diam. Aku sangat capek dan ingin istirahat. Kalau kamu ingin mengoceh, maka besok saja." Cibir Bastian, suaranya terdengar jengkel dan lelah.
"Baiklah, kau istirahat saja. Aku akan ke kamar sebelah untuk mengecek keadaan kakak ipar." Ujar Mark, berdiri dari sofa.
"Pergi saja, siapa yang bertanya." Jawab Bastian dingin, nada suaranya seolah membangun tembok tak kasat mata.
"Hufff... Kau jangan begitu dingin kepada kakak ipar. Bagaimanapun, dia sudah menyelamatkan ibu dan ayahmu, Bas. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi kepada kakak ipar saat itu?" Tanya Mark, menghela napas kasar. Wajahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran dan ketidakmengertian.
Bastian menoleh ke arah Mark. Pandangannya tajam, dingin, seperti bilah es. "Bahkan dia mati sekali pun, aku tidak peduli. Sekarang kamu keluar, aku mau beristirahat."
...Mark terdiam mendengar ucapan Bastian. Perkataan itu bagai pukulan telak yang membuat hatinya mencelos. Dia tidak menyangka kalau Bastian akan sangat membenci istrinya sendiri. Tak mau berdebat lagi, Mark pun berjalan menuju ke arah pintu dan membuka pintu ruangan. ...
...Jantungnya berdebar kencang karena terkejut saat ia melihat Lola sudah berdiri di sana, kaki telanjang tanpa alas kaki terasa dingin di lantai ubin rumah sakit yang dingin....
"Kakak ipar." Lirih Mark, nada suaranya dipenuhi keterkejutan dan sedikit iba.
...Lola mendongak dan menatap Mark. Mata indahnya berkaca-kaca, terlihat jelas sisa air mata yang mengering di pipinya yang pucat. ...
"Mark, apakah Mama dan Papa baik-baik saja?" Tanyanya, suaranya bergetar menahan tangis.
"Mereka sudah baik-baik saja, tidak perlu khawatir." Jawab Mark, berusaha menenangkan.
"Syukurlah kalau begitu. A-aku akan kembali ke kamarku dulu kalau begitu." Tutur Lola, sambil tersenyum pahit, air mata masih menggenang di pelupuk matanya. Ia membalikkan badan hendak pergi.
"Tunggu. Kenapa tidak masuk saja, Kakak ipar?" Tanya Mark dengan wajah bingung.
Lola berbalik dan menatap Mark sambil menggelengkan kepala. Senyum tipis di bibirnya terasa getir. "Tidak, aku tidak mau mengganggu Tuan, eh, maksud saya Bastian. Dia pasti sangat kecapean dan tidak mau melihatku." Jawab Lola, suaranya pelan, sarat dengan kesedihan dan penolakan diri.
...Lola pun berbalik lagi dan berjalan pergi, meninggalkan Mark yang sedang berdiri diam di depan pintu ruangan Tuan Alberto dan Nyonya Amelia. Koridor rumah sakit yang panjang dan sepi terasa semakin dingin baginya. ...
...Setelah merasa sudah cukup jauh dari Mark, diam-diam Lola menitikkan air mata yang sejak tadi ia tahan. Isakan kecil keluar dari bibirnya yang bergetar....
"Mama, kuatkan aku untuk menghadapi semua ini." Batin Lola, mengusap air mata dengan kasar sambil berjalan menuju ke ruangannya.
...Setiap langkahnya terasa berat, membawa beban kepedihan yang tak tertahankan....
(Bersambung)
sukses selalu