NovelToon NovelToon
Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Anak Kembar / Dijodohkan Orang Tua / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.

Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.

Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.

Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.

Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.

Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.

📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.

Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12.Kebohongan dan Kerja sama.

BRAKKK!!!

Pintu besi yang tadi terkunci hancur didobrak dari luar. Cahaya dari lampu jalan menyembur masuk. Siluet tubuh tinggi tegap berdiri di ambang pintu.

Revan.

Tapi kali ini, ia tidak sendirian. Di belakangnya, enam orang lain menyebar, membentuk formasi seperti kawanan pemburu. Geng Burung Elang. Nama yang dulu membuat SMA mereka bergetar ketakutan.

“Ada yang berani nyentuh dia?” suara Revan berat, dingin.

Tak ada jawaban.

Detik berikutnya, mereka menyerbu. Satu tendangan Revan menghantam dada pria yang memegang rambut Kayla, membuatnya terpelanting menghantam tembok. Dua anggota gengnya langsung meraih pria lain dan membantingnya ke lantai hingga meja reyot terbalik.

Kayla terjatuh ke lantai, lututnya lemas, tapi dua tangan kuat menariknya berdiri—Revan. Ia memposisikan tubuhnya di depan Kayla, menahan semua yang mencoba mendekat.

Salah satu preman mencoba menyerang dengan besi panjang, tapi salah satu anak Burung Elang merampasnya, memutarnya, lalu menghantam lutut si penyerang hingga terdengar suara retak yang membuat semua yang masih berdiri membeku.

Lantai bergetar oleh benturan, teriakan, dan dentuman tubuh yang dilempar. Kayla hanya bisa memegang erat jaket Revan, menangis tanpa suara, sementara suara hantaman dan jeritan kesakitan terus memenuhi ruangan.

Tak sampai dua menit, semua preman itu tergeletak. Beberapa merintih, beberapa tak bergerak.

"Kalin main - main dengan orang yang salah, "ucap Revan memberikan farmasi pada gengnya untuk segera keluar daringedung tua itu.

Revan menarik Kayla keluar. Malam di luar dingin menusuk, tapi genggaman tangannya di jemari Kayla hangat, seperti jangkar di tengah badai.

Namun, di detik itulah sebuah teriakan pecah dari dalam.

“Aaaakh!!!”

Kayla menoleh. Salah satu preman yang tadi terkapar ternyata masih sanggup berdiri, wajahnya dipenuhi amarah mabuk. Ia menggenggam dua botol kaca—satu di masing-masing tangan—dan berlari tertatih ke arah mereka.

“Awas!!!” teriak salah satu anggota Burung Elang.

Kayla hanya sempat membeku, matanya membesar. Botol itu terangkat tinggi, siap dihantamkan ke kepalanya.

BRAKKK!!!

Tubuh Revan langsung bergerak, menahan Kayla di belakang punggungnya. Dan botol itu… pecah menghantam kepalanya sendiri.

Suara pecahan kaca memekakkan telinga. Darah langsung mengalir di pelipis Revan, menetes ke rahangnya. Pecahan kaca beterbangan—beberapa serpih kecil menancap di lengan dan pipi Kayla, membuatnya meringis kesakitan.

“REVAN!!” suara Kayla pecah.

Revan sempat terhuyung, pandangannya buram, tapi sebelum si pemabuk itu bisa mengangkat botol kedua, salah satu anggota gengnya sudah menerjang. Tinju mendarat keras di wajah si preman, diikuti hantaman lutut ke perut hingga tubuhnya terlipat.

“Lu nyerang ketua gue?! MATI LU!” geramnya, menghujani pria itu dengan pukulan beruntun sampai botol kedua terlepas dan pecah di lantai.

Kayla memeluk Revan dari samping, kedua tangannya bergetar. “Lo berdarah… Tuhan, lo berdarah!”

Revan tersenyum tipis meski darah terus mengalir. “Gue nggak apa-apa… yang penting lo selamat.”

Di belakang mereka, sisa-sisa perkelahian hanya menyisakan dengusan napas berat dan tubuh-tubuh tak berdaya. Dan di tengah bau debu, alkohol, dan darah, Kayla tahu satu hal—Revan baru saja mempertaruhkan segalanya untuknya.

$$$$$$

Keira berjalan menyusuri jalan desa yang mulai gelap, menundukkan kepala, menyembunyikan wajah dari mata-mata yang mungkin tak benar-benar peduli, tapi tetap membuatnya gelisah. Angin malam membawa debu tipis, membuat matanya perih. Langkahnya terdengar pelan, terpantul di jalan tanah yang retak-retak, seakan setiap hentakan kaki menyuarakan kegamangan yang tak bisa ia ucapkan.

Tidak ada arah. Tidak ada tempat untuk pulang.

Karena sejak awal, tempat ini memang bukan rumahnya.

Langkah Keira sedikit gemetar, tapi ia memaksa maju.

"Aku cuma bayangan..." kata-katanya sendiri tadi siang masih berputar di kepalanya, menghantam seperti gelombang pasang yang datang bertubi-tubi, tak memberinya ruang bernapas.

Aldi tahu.

Aldi tahu ia bukan Kayla.

Dan Keira tak bisa menyalahkannya. Tidak kali ini. Terlalu lama ia berpura-pura. Terlalu dalam ia meminjam hidup orang lain—hingga batas antara dirinya dan sosok yang ia tiru semakin kabur. Sampai Keira sendiri mulai lupa, siapa sebenarnya dirinya.

“Kenapa kamu kembali?” bisiknya lirih, nyaris hanya terdengar oleh bibirnya sendiri.

Tak ada jawaban. Aldi hanya duduk di anak tangga rumah, punggung sedikit membungkuk, kedua tangan bertaut di antara lutut. Sorot matanya tenang tapi dingin. Ia menjaga jarak… tapi juga tidak pergi.

“Maaf,” suara Keira bergetar, nyaris patah di ujung kalimat. Ia menelan ludah, berusaha meredam rasa getir di tenggorokannya. “Untuk semuanya. Aku tahu… yang kulakukan salah. Tapi aku bertahan di sini bukan karena ingin menipu.”

Keira menunduk, jemari kurusnya menyentuh tanah, merasakan butir debu yang dingin di kulit. “Aku bertahan… karena di sini, untuk pertama kalinya aku merasa hidup. Seolah… aku punya arti.”

Aldi mengangkat wajah, menatapnya lekat. Ada kilatan yang sulit diterjemahkan di matanya—bukan sekadar amarah, tapi juga rasa yang ditahan-tahan.

“Kamu bekerja keras,” ucapnya pelan namun berat. “Bahkan lebih dari siapa pun. Tapi… kamu bukan Kayla. Dan selama kamu terus pakai nama itu… kita nggak bisa pura-pura ini nyata.”

Keira menarik napas, mengangguk pelan. Tak ada air mata, hanya garis-garis lelah yang semakin tegas di wajahnya.

“Kalau begitu, aku akan pergi…” suaranya terdengar seperti helaan napas terakhir. “Besok. Sebelum matahari naik.”

Aldi berdiri perlahan, bayangannya jatuh menutup sebagian wajah Keira. Langkahnya mendekat, tapi ia menahan jarak cukup aman—seolah takut perasaannya sendiri akan runtuh.

“Kamu tahu,” nadanya merendah, namun tajam, “kalau sejak awal kamu bilang siapa dirimu, mungkin semuanya akan berbeda. Tapi sekarang… setelah semua orang mengira kamu Kayla, kamu mau pergi begitu saja?”

Suara Aldi meninggi sedikit, tapi tidak meledak. Lebih seperti badai yang menahan diri sebelum benar-benar menerjang.

“Kenapa semuanya begitu mudah buat kamu? Kamu datang dan pergi sesuka hati. Pernah nggak kamu pikir… bagaimana hancurnya Pak Mahendra kalau ‘Kayla’-nya menghilang begitu saja? Dia membesarkan kamu—anak yang dia temukan nyaris tak bernyawa di sungai itu. Dia mengobati kamu, menyayangi kamu, seperti darah dagingnya sendiri.”

Keira menutup mata sejenak. Nama itu—Pak Mahendra—menikam hatinya lebih dalam dari yang Aldi tahu.

“Lalu… kamu ingin aku jujur padanya?” tanya Keira, suaranya getir, seperti mencabut duri dari dagingnya sendiri. “Bahwa aku bukan anaknya? Bahwa anak yang selama ini dia rawat dengan cinta… ternyata cuma penyusup?”

Aldi mengatupkan rahang, otot pipinya menegang. “Tidak. Aku hanya ingin kamu bertahan. Tetap di sini. Sampai Kayla yang asli kembali.”

Keira membeku. “Kamu ingin aku terus berpura-pura?”

“Setidaknya… di depan orang lain,” jawab Aldi mantap. “Tapi tidak di depanku. Karena di mataku, kamu bukan Kayla. Kamu hanya seseorang… dengan wajah yang sama.”

Keira tertawa hambar, nyaris seperti embusan napas. “Kamu terlalu kejam.”

Aldi menatapnya tanpa berkedip. “Selama kamu masih di sini dengan nama itu, ingat satu hal—Pak Mahendra adalah harta paling berharga Kayla. Jadi bersikaplah baik padanya. Lindungi dia. Jangan kecewakan dia. Karena… aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Tatapan Keira menajam, pupilnya bergetar. “Kamu pikir aku akan menyakitinya?”

Aldi mengangkat bahu tipis, tapi matanya tetap menusuk. “Entahlah. Karena kamu bukan Kayla. Dan tidak ada yang tahu niat orang asing.”

Ia berbalik, mulai melangkah pergi. “Mulai sekarang, kamu akan selalu di bawah pengawasanku. Anggap itu… hukuman.”

Keira menatap punggungnya, lalu berkata pelan, hampir putus asa tapi dengan ketegasan baru, “Panggil aku Keira.”

Aldi berhenti, separuh menoleh.

“Nadaku mungkin datar,” lanjut Keira, “tapi… hidup dengan nama orang lain terlalu menyesakkan untukku.”

Tatapan Aldi melunak sedikit, walau bibirnya masih tertutup rapat. Setelah jeda singkat, ia mengangguk tipis.

“Baiklah. Aku akan panggil kamu… Key. Mirip, cukup untuk tidak membuat orang curiga. Tapi cukup berbeda… agar aku tidak lupa siapa dirimu sebenarnya.”

Keira—Key—menarik sudut bibirnya, senyum tipis yang untuk pertama kalinya bukan milik Kayla. Itu senyum miliknya. Milik Keira. Yang kehilangan segalanya, tapi malam ini… mungkin mendapatkan secuil pengertian.

Aldi tidak berkata apa-apa lagi. Ia melangkah menjauh, bayangnya melebur ke dalam gelap.

Dan bagi Keira, malam itu bukan lagi soal siapa dirinya di mata dunia… tapi tentang siapa yang masih bersedia menatapnya, sebagai dirinya sendiri.

$$$$$ 

Suara sirine meraung memecah malam, memantul di dinding-dinding rumah sakit yang dingin. Lampu merah berputar di atap ambulans, mewarnai wajah-wajah yang menunggu di depan IGD dengan kilatan cemas.

Kayla duduk di kursi besi panjang, tangan gemetar menggenggam ujung jaket kulit Revan yang kini ternoda darah. Darahnya. Bau logam itu menusuk hidung, bercampur dengan aroma antiseptik yang menyengat.

Di seberang, empat pria berdiri gelisah. Tubuh-tubuh mereka besar, beberapa berjaket kulit lusuh, wajah keras tapi kini dipenuhi kecemasan. Itu geng Revan—orang-orang yang biasanya menghadap dunia tanpa rasa takut, tapi malam ini… mata mereka terlihat sama gugupnya seperti Kayla.

“Lukanya parah, Bro…” desis salah satu dari mereka, Ardan, sambil mengusap tengkuknya. “Gue lihat tadi botol itu kena kepalanya pas dia nutupin lo.”

Kayla menunduk, jemarinya mencengkeram kain jaket lebih erat. Rasa bersalah menghantam dadanya seperti ombak. “Kalau bukan gara-gara gue…”

“Udah, jangan nyalahin diri lo,” potong pria lain, Bima, suaranya berat tapi berusaha menenangkan. “Revan nggak akan mau lo ngomong gitu.”

Pintu IGD kembali tertutup setelah Revan dibawa masuk. Waktu terasa beku. Jam dinding terus berdetak, tapi setiap detiknya menyeret rasa takut semakin dalam.

Mereka menunggu. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Satu jam.

Setiap kali perawat keluar membawa troli, Kayla refleks berdiri, tapi kecewa lagi karena itu bukan Revan.

Akhirnya, menjelang dini hari, seorang dokter keluar. “Kepalanya kena benturan cukup keras. Ada beberapa luka sayat dari pecahan kaca. Tapi… dia selamat. Sekarang masih pingsan, butuh istirahat total.”

Dada Kayla terasa sedikit lega, meski jantungnya tetap berdegup kencang. Mereka diizinkan masuk bergantian.

____

Di ruang perawatan

Cahaya lampu redup menyoroti wajah Revan yang pucat. Perban melilit kepalanya, menutupi sebagian rambut hitamnya yang berantakan. Selang infus menusuk tangan kirinya, napasnya pelan tapi teratur.

Kayla duduk di kursi di sisi ranjang, geng Revan berkerumun di belakangnya. Tak ada yang bicara. Hanya suara detik jam dan bunyi lembut monitor detak jantung.

Hampir dua jam mereka menunggu. Lalu, pelan-pelan, jemari Revan bergerak. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka.

“Lo bikin kita hampir mati kaget, Bro!” seru Ardan, suaranya pecah antara lega dan marah.

Revan menatap sekeliling, lalu mengerang pelan. “Semua masih hidup?”

“Lo yang harusnya kami tanyain,” jawab Bima sambil menepuk bahunya hati-hati. “Apa lo sadar sikap lo yang gegabah malah bikin lo berakhir di sini lagi.Lo ngulangin kejadian masa lalu lagi Van. "

Revan tersenyum miring walau bibirnya pecah. “Gue cuma mau menyelamatkan Keira.”

Nama itu membuat gengnya saling pandang heran. “Keira?” tanya Ardan, kening berkerut. “Maksud lo dia… Keira anak SMA kita yang sekarang jadi istrinya Leo?”

Kayla menegang di kursinya, matanya bergeser ke Revan.

Revan hanya menatap lurus ke langit-langit. “Iya.”

Keheningan menggantung.

“Gila, Bro…” Bima menggeleng tak percaya. “Lo sadar nggak? Lo nyelametin musuh lo lagi. Sama kayak sepuluh tahun lalu.”

Kayla mengerutkan dahi. “Sepuluh tahun lalu?”

Ardan mencondongkan tubuh, mulai bercerita. “Waktu SMA, ada tawuran gede. Leo nyaris dibacok anak sekolah lain, tapi Revan datang menyelamatkan dia. Ironisnya, gara-gara itu malah Revan yang kena fitnah dan dikeluarin. Geng kita bubar.”

“Dan sejak itu, Revan dan kita nggak pernah ketemu lagi karna dia pindah ke luar negri. ” tambah Bima, nada suaranya getir. “Makanya kita bingung. Kenapa lo masih mau menyelamatkan istrinya Leo?”

Revan hanya tersenyum tipis, tidak memberi jawaban. “Kadang, musuh pun nggak berhak kehilangan orang yang nggak bersalah.”

Kalimat itu membuat ruangan kembali diam.

"Lagipula Keira juga teman satu SMA kita. " tambahnya yang membuat anak-anak geng lagi -lagi tak bisa memahaminya.

Tak lama kemudian, mereka pamit keluar, memberi ruang bagi Revan untuk istirahat.

____

Setelah mereka pergi

Kayla masih duduk di tempatnya, menatap Revan. “Kenapa mereka bercerita seolah mereka nggak tau kalau lo itu adik Leo?”

Revan memandangnya lama, lalu menghembuskan napas berat. “Karena identitas gue disembunyikan.”

Alis Kayla terangkat. “Disembunyikan?”

Revan mengangguk pelan, sorot matanya meredup. “Gue cuma anak haram. Aib keluarga. Nggak ada yang boleh tau gue bagian dari keluarga itu, apalagi orang luar. Gue bukan pewaris. Gue cuma noda yang harus disembunyikan… demi nama dan perusahaan mereka.”

Kayla menelan ludah, merasakan berat kata-katanya. Dalam cahaya lampu redup, wajah Revan terlihat lebih letih daripada terluka.

Namun, di sisi lain rumah sakit, di parkiran yang remang, sebuah mobil hitam terparkir menghadap pintu masuk. Di dalamnya, Leo duduk di kursi pengemudi, rokok di tangannya sudah terbakar setengah.

Matanya menatap ke arah jendela lantai dua—ruang perawatan tempat Revan dirawat. Tatapannya dingin, menyimpan bara amarah yang hampir tak terbendung.

“Brengsek…” desis Leo lirih, penuh racun. Asap rokok mengepul di udara, melingkar sebelum menghilang. “Kau selalu muncul di saat yang paling tidak aku mau, Van.”

Tangannya menghantam setir sekali, keras. “Rencanaku hancur gara-gara kau. Harusnya Keira sudah mendapatkan ganjaran dari apa yang susah ia perbuat kepadaku.”

Leo mengeluarkan ponsel, jarinya mengetik cepat sebelum menempelkannya ke telinga. Suaranya berubah tenang—tenang yang justru paling berbahaya.

“Ganti rencana. Kita tak perlu buru-buru sekarang. Biar dia merasa aman dulu… biar mereka percaya semua sudah selesai.”

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis—senyum yang lebih mirip sayatan. “Begitu mereka lengah, kita ambil semuanya. Biar sakitnya… tak cuma di badan.”

Leo menutup telepon, lalu memutar kunci kontak. Mesin mobil meraung pelan, knalpotnya menggeram. Saat roda mulai bergulir meninggalkan parkiran, matanya tetap tajam, membayangkan hari di mana ia akan melihat Revan dan Kayla hancur—perlahan, tapi pasti.

 $$$$

Beberapa hari kemudian.

Kayla dan Revan duduk berdampingan di taman rumah sakit. Udara sore terasa lembap, menyelip di sela-sela helai rambut dan kain tipis pakaian mereka. Bunga kamboja berguguran pelan di sekitar bangku, jatuh seperti hujan yang malas turun—tenang, tapi menyimpan kesepian.

Seperti biasanya… tak ada satu pun keluarga yang datang menjenguk.

Tak ada kabar.

Tak ada yang peduli kenapa mereka tak pulang berhari-hari.

Dua orang yang dianggap tak penting.

Tapi justru dua orang inilah… yang diam-diam sedang bersiap membalik permainan.

Revan masih terlihat lemah—bahunya sedikit turun, napasnya sesekali terdengar berat. Namun tatapannya tetap tajam saat ia berkata,

“Kalau lo mau bebas dari semua ini… kita harus mulai balikin keadaan. Kita nggak bisa lari terus.”

Kayla menatap lurus ke depan. Pandangannya tampak kosong, tapi suaranya pelan saat menjawab,

“Gue nggak tahu siapa yang bisa gue percaya…”

Revan mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Kayla erat—seolah ingin memindahkan sisa kekuatan yang ia punya.

“Percaya sama gue. Kali ini… kita main dengan aturan kita sendiri.”

Kayla diam. Tapi ada perubahan di sorot matanya—sesuatu yang lebih keras dari sekadar tekad bertahan hidup. Bukan lagi ketakutan yang menguasainya.

Melainkan keberanian.

Bukan hanya ingin bertahan… tapi mulai ingin melawan.

“Ayo kerja sama, Kei,” ucap Revan mantap, tatapannya mengunci milik Kayla.

Dan mungkin… inilah awal dari kebangkitan Kayla.

Dia tahu, dia tak harus terus menerima perlakuan Leo. Selama ini, dia terlalu lama diam, terlalu lama berpura-pura baik-baik saja. Tapi malam itu mengajarkannya—Leo nyaris membunuhnya. Berkali-kali. Tanpa rasa kasihan. Tanpa empati. Tanpa satu pun belas kasih tersisa di hati pria itu.

Kali ini… tidak lagi.

Kayla akan membalasnya.

.

.

.

Bersambung

1
Alyanceyoumee
mantap euy si Revan
Kutipan Halu: hahah abis di kasih tutor soalnya kak 😄😄
total 1 replies
Bulanbintang
Iri? bilang boss/Joyful/
Kutipan Halu: kasih paham kakak😄😄
total 1 replies
CumaHalu
Suami setan begini malah awet sih biasanya 😤
Kutipan Halu: awett benerrr malahan kak😄
total 1 replies
iqueena
Kasar bngt si Leo
Kutipan Halu: kasih tendangan maut ajaa kak, pukulin ajaa kayla ikhlas kok🤣
total 1 replies
Pandandut
kay kamu mantan anak marketing ya kok pinter banget negonga
Kutipan Halu: kaylanya sering belanja di pasar senin kak🤣
total 1 replies
Dewi Ink
laahh, pinter nego si Kayla 😅
Kutipan Halu: biasa kakk valon emak2 pinter nego cabe di pasar😄😄
total 1 replies
Alyanceyoumee
nah gini baru perempuan tangguh. 😠
Yoona
😫😫
CumaHalu
Kapok!!
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂
Pandandut
mending ngaku aja sih
Pandandut
pinter juga si revan/Slight/
iqueena
pintar juga Revan
Dewi Ink
mending ngaku duluan si dari pada ketahuan
Yoona
leo juga harus ngerasain
Alyanceyoumee
mantap...👍
CumaHalu
Wah, hati-hati Kayla.😬
CumaHalu
Astaga😂😂😂
Bulanbintang
dua kali lebih lama, 😩😒
Bulanbintang
kompak bener😅
iqueena
Sesuai namanya LEO, Kayla, kamu masuk ke kandang singa 🥲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!