“Oke. Tapi, there's no love and no *3*. Kalau kamu yes, saya juga yes dan serius menjalani pernikahan ini,” tawar Linda, yang sontak membuat Adam menyeringai.
“There’s no love? Oke. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Karena saya juga tidak mungkin bisa jatuh cinta padamu secepat itu. Tapi, no *3*? Saya sangat tidak setuju. Karena saya butuh itu,” papar Adam. “Kita butuh itu untuk mempunyai bayi,” imbuhnya.
***
Suatu hari Linda pulang ke Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan sepupunya, Rere. Namun, kehadirannya itu justru membawa polemik bagi dirinya sendiri.
Rere yang tiba-tiba mengaku tengah hamil dari benih laki-laki lain membuat pernikahan berlandaskan perjodohan itu kacau.
Pihak laki-laki yang tidak ingin menanggung malu akhirnya memaksa untuk tetap melanjutkan pernikahan. Dan, Linda lah yang terpilih menjadi pengganti Rere. Dia menjadi istri pengganti bagi pria itu. Pria yang memiliki sorot mata tajam dan dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tianse Prln, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Debaran Yang Menggelora
PLAK!
Tamparan keras itu mendarat sempurna di pipi Rere.
Bu Lastri memekik histeris melihat suaminya yang lepas kendali.
“Anak tidak tahu diri!” Pak Tristan tampak belum puas menampar wajah putrinya barusan, dia seperti masih ingin melampiaskan amarahnya pada sosok Rere yang terlihat diam dan pasrah.
“Sudah, Pak. Sudah....” Bu Lastri menarik lengan Pak Tristan agar menjauh dari Rere. Wanita paruh baya itu khawatir kalau suaminya kembali bertindak kasar pada sang putri.
“Umi jangan belain dia terus. Selama ini mentang-mentang dia anak satu-satunya, Umi selalu berpihak sama dia setiap kali dia salah. Lihat sekarang kelakukannya, bikin malu keluarga!” amuk Pak Tristan. “Sudah bagus kamu itu dijodohkan dengan anaknya Pak Alan, tapi dengan bodohnya, kamu malah merusak masa depanmu sendiri,” timpalnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Rere.
Pria paruh baya itu kemudian mengusap wajahnya kasar, beliau tampak begitu frustrasi.
“Astagfirullah, Re, Re...,” keluh Pak Tristan sembari mengelus dadanya. Jika saja seorang laki-laki bisa menangis sesuka hatinya, pria paruh baya ini pasti sudah meraung-raung sejak kemarin.
Beliau bukan hanya marah pada perbuatan putrinya, tapi juga pada dirinya sendiri. Sebagai seorang ayah, beliau merasa gagal mendidik putrinya, beliau juga merasa gagal menjaga putrinya dari hal-hal yang tidak diinginkan.
“Sekarang kamu mau bagaimana?” tanya Pak Tristan pada Rere. “Siapa yang kamu harapkan untuk bertanggung jawab, Re?”
Rere hanya bisa menundukkan kepala bersama isak tangisnya yang masih terus terdengar.
“Laki-laki ini?” Pak Tristan menunjuk Zaka yang sejak tadi hanya diam dengan kepala tertunduk. “Kamu dengar sendiri kan kalau dia tidak mau menikahimu. Dia tidak mau bertanggung jawab atas anak itu. Apalagi kamu yang menggodanya. Ya Allah, Re....” Kesedihan Pak Tristan terlihat begitu jelas. Pria paruh baya itu pasti sangat mengkhawatirkan masa depan putrinya yang saat ini sedang hamil.
“Bodoh kamu itu, Re. Bodoh!” amuknya lagi.
Kakinya kembali berusaha mendekati Rere, seperti ingin melampiaskan amarahnya kembali.
Tapi dengan cepat Bu Lastri mencegah, wanita paruh baya itu mencekal lengannya.
“Pak, istigfar, Pak. Sabar, jangan kebawa emosi, Pak,” bujuk Bu Lastri, berusaha membujuk suaminya agar tidak terbawa amarah lagi.
“Minggir, Umi. Bapak perlu kasih anak ini pelajaran. Salah Bapak selama ini terlalu memanjakannya, harusnya bapak didik tegas dia, biar enggak bikin malu keluarga seperti sekarang,” cakap Pak Tristan. Beliau menepis tangan Bu Lastri dan kembali melangkah mendekati Rere.
“Bapak!” pekik Bu Lastri. “Bapak mau bunuh Rere sekalipun, percuma, Pak. Apa dengan Rere mati semuanya bakal baik-baik aja? Enggak kan?” tukasnya.
Langkah Pak Tristan seketika terhenti. Perkataan Bu Lastri membuatnya tersadar bahwa emosi tidak akan menyelesaikan apa pun.
Pak Tristan menghela napas berat, pria paruh baya itu kemudian terduduk di sofa dengan kedua tangan menyangga kepalanya. Beliau tampak begitu frustrasi dengan keadaan saat ini.
“Mau tidak mau, suka tidak suka. Kamu harus menikahi putriku, Zaka,” ucap Pak Tristan kemudian.
Mata lelah pria paruh baya itu menatap Zaka lekat, tatapannya penuh dengan keseriusan dan ancaman.
****************
Linda baru saja bangun dari tidurnya. Dia mencari ponsel dan melihat waktu menunjukkan pukul lima pagi.
Dia menoleh ke samping, dan mendapati ranjang di sampingnya kosong.
Sepertinya semalaman pria itu tidak tidur di sisinya, terlihat jelas kasur di sebelah kiri itu masih rapi, menandakan bahwa tempat itu tidak disentuh oleh siapa pun.
Linda tidak ingin terlalu memikirkannya, dia segera bangkit dari posisinya saat ini, kemudian sedikit meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, sebelum akhirnya dia turun dari atas kasur.
Saat Linda ingin melangkah menuju kamar mandi, dia mendapati sosok itu, suaminya, pria itu ternyata tertidur di sofa, dengan posisi bersandar dan masih memegang tabnya yang hampir jatuh tergeletak di karpet.
Awalnya Linda ingin bersikap acuh tak acuh, tapi melihat pria itu tampak kelelahan, hatinya tak tega, rasa ibanya mendorongnya untuk setidaknya melakukan sesuatu. Akhirnya kaki Linda melangkah mendekati Adam yang masih tertidur pulas.
Dia mengambil tab yang hampir jatuh itu, lalu meletakkannya ke atas meja yang ada di dekat sofa.
Setelah itu, Linda mengambil selimut, berniat menyelimuti Adam, karena udara sekitar terasa cukup dingin.
Namun, ketika dia ingin menyelimutinya, dia melihat posisi tubuh Adam yang tampak kurang nyaman. Linda pun memutuskan untuk membenarkan tubuh suaminya itu.
Tapi....
Saat Linda baru saja ingin memindahkan kepala Adam, tiba-tiba kelopak mata pria itu terbuka. Mata mereka pun bertemu, keduanya saling menatap cukup lama. Hingga debaran jantung itu membuat Linda tersadar. Refleks, Linda melepaskan tangannya dari kepala Adam, lalu melangkah mundur satu jengkal dari posisinya.
Adam meringis saat kepalanya terbentur pinggiran sofa lantaran Linda yang tiba-tiba melepaskan kepalanya begitu saja.
“Maaf, aku enggak bermaksud ganggu kamu. Aku cuma mau benerin posisi tidur kamu, soalnya tadi... posisi tidurmu kelihatan enggak nyaman,” lirih Linda, kepalanya tanpa sadar tertunduk, seolah takut kalau Adam akan marah padanya.
Adam bergerak membenarkan posisinya, dia duduk di sofa sambil memegang lehernya yang terasa sedikit kaku karena semalam dia ketiduran dengan posisi yang sangat tidak nyaman.
“Iya, enggak pa-pa,” ucap Adam setelah beberapa saat diam. “Dan makasih atas niat baikmu,” imbuhnya sambil menatap ke arah Linda yang tampak canggung padanya.
“Jam berapa sekarang?” tanya Adam kemudian.
Linda dengan cepat langsung menunjuk ke arah dinding yang ada di belakang Adam, di sana ada sebuah jam dengan model yang terlihat elegan namun mewah.
Adam tampak ikut menoleh ke arah jam dinding itu. Jadi, tanpa perlu diberitahu oleh Linda, Adam sudah mengetahuinya sendiri, waktu saat ini menunjukkan pukul lima pagi lewat lima belas menit.
“Aku pakai kamar mandinya dulu ya,” izin Linda.
Adam kembali menoleh ke arah Linda. Dan tanpa berpikir panjang, dia langsung mengangguk.
“Silakan,” ucapnya.
Setelah mendapatkan persetujuan dari pria itu, Linda bergegas melangkah ke kamar mandi, dia masuk ke dalam kamar mandi dan langsung menguncinya.
Di dalam sana, Linda bersandar pada pintu kamar mandi, dia menghela napas panjang sambil memegangi dadanya. Debaran di dalam sana masih terasa kencang.
“Ada apa dengan jantungku? Kenapa rasanya seperti....” Linda menggelengkan kepalanya kuat saat dia teringat kembali dengan wajah rupawan Adam ketika dia melihatnya dari jarak yang begitu dekat.
Apalagi bibir pria itu, warnanya merah ranum, sangat menggoda untuk dicium.
Astaga, Linda. Apa yang sedang kamu pikirkan?!