Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ENAM : PUKUL 19.30
Mandala yang baru selesai mengikat rambut, menoleh kepada Arun. Ditatapnya pria itu sesaat, sebelum berlalu ke pintu.
“Kamu hanya akan dianggap menjilat ludah sendiri, Man,” ujar Arun, yang sepertinya kurang setuju atas keputusan Mandala.
Mandala tertegun, lalu menoleh. “Seberapa buruk dia?” tanyanya.
“Siapa?” Arun balik bertanya.
“Gita."
Arun menggaruk pelipis, tak langsung menjawab pertanyaan Mandala.
“Kenapa kalian suka menggodanya?”
“Mungkin karena mereka tahu siapa Gita yang sebenarnya.”
Mandala mengangguk samar. “Baiklah. Akan kuingat itu.” Dia berbalik, kemudian membuka pintu.
Setelah berada di luar, Mandala tak langsung pergi. Dia berdiri beberapa saat sambil menatap langit malam. Sorot matanya tampak aneh, bagai tengah mempertimbangkan sesuatu.
Setelah merasa cukup berdiri sambil termenung, Mandala mengeluarkan arloji dari saku jaket. Barang yang terlalu mahal dan mewah, bagi seorang pekerja kasar seperti dirinya.
Mandala memasukkan kembali arloji itu ke saku sambil mengembuskan napas pelan dan dalam. Dia melangkah gagah penuh keyakinan, menapaki tanah berpasir area proyek pembangunan hingga tiba di pintu masuk yang selalu tertutup rapat.
Tepat pukul 19.30. Mandala berdiri di trotoar sambil menghadap ke arah warung nasi. Tak sampai menunggu lama, Gita muncul dengan penampilan berbeda.
Gita melambaikan tangan dari kejauhan. Senyum manisnya terlihat cukup jelas, dalam paparan warna kuning cahaya lampu penerang jalan. Sesekali, rambut panjang gadis itu bergerak karena tertiup angin. Untunya tidak sampai membuat kusut, yang bisa menjadikan penampilan Gita jadi tak cantik lagi.
Sebagai pria sejati, Mandala tak membiarkan Gita yang menghampirinya. Dia berjalan mendekat ke hadapan gadis dengan celana jeans dan T-shirt press body berlapis cardigan rajut itu. “Di mana ikat rambutmu?” tanya Mandala, ketika sudah berhadapan langsung dengan Gita.
“Ada di dalam tas. Apa harus diikat?” Gita sudah akan membuka resleting sling bag yang dibawanya.
“Tidak usah. Rambutmu bagus, Git,” cegah Mandala, diiringi sedikit senyuman.
Sesuatu yang teramat sederhana. Sanjungan kecil dan biasa itu berhasil membuat Gita berbunga-bunga. Padahal, dia tak tahu pasti apakah Mandala benar-benar menyukai rambut panjangnya, atau hanya basa-basi demi menyenangkan hati wanita.
“Pergi sekarang?” tanya Mandala, berhubung Gita hanya terpaku sambil menatapnya.
Gita tersadar, lalu tersenyum kikuk. Gadis bermata indah itu mengangguk setuju.
Lampu jalanan menjadi saksi. Mereka bagai pengawal yang berjajar rapi di pinggir, memastikan sang raja dan ratu melintas dengan aman. Begitu juga dengan trotoar panjang yang dilalui. Meski tanpa hamparan karpet merah, tetapi terasa begitu istimewa karena jadi jalan pertama yang dilewati oleh Mandala dan Gita secara bersama-sama.
Tak ada percakapan di antara sejoli itu. Entah karena canggung atau memang tidak ada yang perlu dibahas. Baik Mandala maupun Gita, sama-sama bingung harus memulai dari mana.
Namun, situasi seperti itu jelas membuat keduanya jadi tak nyaman. Gita sudah gelisah, takut jika Mandala merasa terpaksa menerima ajakannya.
Berbeda dengan Mandala. Bukan karena terpaksa atau lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, dia memang sudah lama tidak berkomunikasi secara intens dengan wanita.
“Bagaimana hari ini, Mas?” tanya Gita. Akhirnya, dia mengalah dengan membuka percakapan terlebih dulu.
“Seperti biasa. Lelah dan berdebu,” jawab Mandala, diiringi gumaman pelan.
“Tapi, hari ini Herman dan teman-temannya tidak berulah macam-macam, kan?” tanya Gita lagi.
Mandala menoleh sekilas, lalu menggeleng. “Semua merasa ada sesuatu yang aneh. Herman tidak bersikap arogan seperti biasanya.”
Gita tersenyum, lalu menoleh sambil terus berjalan. “Sudah seharusnya begitu. Jika terus dibiarkan, makin lama dia makin seenaknya.”
Perbincangan kembali terhenti. Pasalnya, mereka telah tiba di alun-alun kota. Gita mengajak Mandala ke warung bakso dan mie ayam, yang kebetulan tidak terlalu ramai.
“Mas Maman belum makan malam, kan?” tanya Gita, setelah memilih tempat duduk.
“Aku belum lupa dengan tawaran semalam,” jawab Mandala kalem.
Gita tertawa pelan. “Biasanya, di sini selalu penuh. Mungkin karena ini bukan akhir pekan,” ujar gadis itu.
“Kamu sering kemari?”
Gita mengangguk. “Hampir setiap malam Minggu.”
“Sendiri?” Pertanyaan Mandala terkesan seperti pancingan.
Bukannya langsung menjawab, Gita justru tertawa pelan.
“Kenapa?” tanya Mandala lagi, dengan tatapan lekat pada gadis cantik berambut panjang sebatas punggung di hadapannya.
“Mas Maman punya pacar?” Gita justru mengajukan pertanyaan yang dinilai terlalu berani, untuk dilayangkan oleh gadis lugu seperti dirinya.
“Memangnya kenapa?” Mandala tak mengalihkan pandangan dari Gita, meskipun gadis itu lebih sering mengarahkan perhatian ke segala arah. Mungkin, Gita kurang nyaman dengan apa yang Mandala lakukan, atau justru terlalu malu untuk membalasnya.
“Aku hanya takut ada seseorang yang cemburu melihat Mas Maman pergi denganku.”
“Kupikir sebaliknya.”
Gita jadi salah tingkah. Dia tertunduk sambil menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. “Aku tidak punya pacar, Mas,” ucapnya.
“Aku yakin banyak pria yang tertarik padamu.”
Gita mengangkat wajah, lalu tersenyum manis. “Hanya tertarik? Untuk apa?”
Mandala tidak menjawab. Dia juga tak mengalihkan perhatian dan justru makin lekat menatap Gita, seakan tengah mencari sesuatu yang disembunyikan gadis itu.
“Ketertarikan bisa hilang seiring berjalannya waktu. Jika ada seseorang yang dianggap lebih, perasaan itu pasti akan sirna. Bagai asap yang tertiup angin. Tak berbekas sama sekali.”
“Mungkin itu ketertarikan karena nafsu.”
“Mas pikir masih ada ketulusan di zaman segila ini? Dunia sudah terlalu kacau bagi orang-orang baik yang berpikiran waras.”
“Begitukah?”
Gita tersenyum kecil. “Lihatlah Herman. Kudengar, dia sudah menikah dan memiliki dua anak di kampung. Namun, selama tinggal di kota, Herman telah beberapa kali menikah siri dan …. Mas Maman bisa membayangkan sendiri.”
“Dia tertarik padamu?” tanya Mandala, seakan tengah mengorek informasi lebih dari Gita.
“Herman tertarik pada semua gadis,” jawab Gita disertai tawa pelan.
“Dia menyentuhmu. Aku melihatnya malam itu.” Nada bicara Mandala terdengar cukup aneh.
“Biasanya, Herman tidak berani bertindak sejauh itu,” ucap Gita pelan.
“Apakah Herman takut pada seseorang?” pancing Mandala lagi. Entah mengapa, tiba-tiba dia tergelitik untuk mencari kebenaran dari pernyataan Arun kemarin malam.
Gita mengangkat bahu. “Aku tidak tahu,” jawabnya singkat.
“Ya, sudah. Lupakan.”
Gita terdiam sejenak, kemudian mengambil kertas untuk menulis pesanan. “Mas Maman mau mie ayam?”
Mandala mengangguk. Diperhatikannya Gita yang tengah menulis, kemudian beralih ke secarik kertas yang sudah diisi. “Tulisanmu bagus.”
Gita menoleh, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mas. Aku ke sana dulu, ya.” Dia hendak berdiri.
Namun, Mandala segera mencegah. “Aku saja.” Dimintanya kertas itu dari Gita, kemudian berlalu ke dekat penjual yang tengah membuat pesanan lain.
"Eh, Gita. Kenapa sendirian saja?" tanya seorang pria begitu hangat.
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua