Delia Aurelie Gionardo hanya ingin mengakhiri pernikahan kontraknya dengan Devano Alessandro Henderson. Setelah satu tahun penuh sandiwara, ia datang membawa surat cerai untuk memutus semua ikatan.
Namun malam yang seharusnya menjadi perpisahan berubah jadi titik balik. Devano yang biasanya dingin mendadak kehilangan kendali, membuat Delia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Sejak malam itu, hidup Delia tak lagi sama—benih kebencian, dendam, dan rasa bersalah mulai tumbuh, mengikatnya kembali pada pria yang seharusnya menjadi "mantan" suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadia_Ava02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBMS - Bab 6 Antara Takut dan Belum Siap
"Dev, ini sudah siang… bisakah kamu tinggalkan pekerjaanmu dulu? Aku lapar…" rengek Giselle.
Perutnya sudah benar-benar minta diisi, sementara Dev masih menatap berkas-berkas di mejanya, ujung penanya mengetuk-ngetuk permukaan dengan ritme tak sabar.
Dev akhirnya menutup berkas dan laptopnya. Ia mendongak menatap Giselle. "Baiklah, ayo kita keluar."
"Yes!" Giselle langsung berdiri, menghampirinya dan merangkul lengannya dengan manja. Ia tahu Dev selalu meninggalkan apa pun demi dirinya, meski pekerjaan, atau bahkan… Delia sekalipun. Selama ini Dev memanjakannya, jadi tak heran jika Gisellebersikap makin berani.
"Aku ingin makan siang di restoran baru dekat sini," ujarnya ceria.
"Baik, kita ke sana sekarang," sahut Dev tanpa banyak tanya.
Mereka turun ke basement. Dev membukakan pintu mobil untuk Giselle, gadis itu langsung masuk disusul Dev setelahnya. Mobil melaju menuju restoran Maison de Lune tempat baru yang sedang hits dengan interior mewah.
Sekitar dua puluh menit kemudian, keduanya sudah duduk di meja pojok restoran. Makanan mereka baru saja datang ketika Giselle menatap wajah Dev sejenak.
"Dev, boleh aku tanya sesuatu?"
Dev menoleh sambil mengunyah, "Ada apa?"
Giselle meletakkan alat makannya dan melipat kedua tangan di atas meja. "Tadi pagi kamu mengantar Delia ke basement. Apa kamu masih peduli padanya?"
Dev terdiam. Aktivitas mulutnya berhenti. Pandangannya sempat menggelap seperti menahan sesuatu. Ia meraih tangan Giselle dan menggenggamnya erat, mungkin terlalu erat.
"Sel…" suaranya pelan tapi tegas, "aku mengantar Delia karena dia pegawaiku. Dia sedang sakit. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Jangan salah paham. Aku tidak pernah…" Dev menghela napas panjang, dadanya terasa berat, "…aku tidak pernah punya perasaan apa-apa padanya."
Kata-kata itu meluncur begitu meyakinkan, Giselle tahu betul bagaimana Dev membenci Delia, bahkan saat Delia sakit, Dev lebih memilih pergi menonton film di bioskop bersamanya. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini ia merasa ada yang berubah. Ada sesuatu di tatapan Dev yang tak lagi sama.
Dev kembali menatap wajah Giselle. Untuk alasan yang bahkan tak ia pahami, bayangan Delia yang pucat pagi tadi muncul begitu saja. Ada sesuatu yang membuat dadanya bergetar samar, perasaan yang tak ia kenali.
"Jika kamu memang tidak memiliki perasaan apa pun, kenapa kamu belum bicara pada orang tuamu tentang perceraian kalian? Dev… aku butuh kepastian, aku butuh kamu," desak Giselle.
Satu tahun sudah Giselle menunggu di balik bayang-bayang pernikahan mereka. Bahkan ia pernah hampir putus asa, hingga nekat mencampurkan sesuatu ke dalam wine yang sengaja ia pesan untuk mereka berdua. Tapi malam itu ia justru tak bisa datang. Kini setelah Delia mundur, Giselle tak ingin membuang waktu.
Dev menatap lebih dalam. "Aku butuh waktu. Orang tuaku tidak mungkin menerima kabar ini begitu saja. Terutama Kakek. Aku tidak mau Kakek sakit mendengar berita ini. Jadi aku mohon… bersabarlah sebentar lagi."
Tapi kata-kata itu terdengar seperti sebuah bualan kosong ditelinga Giselle hingga membuatnya malah semakin kesal.
"Ck! Mau sampai kapan sabar? Kalau kamu tidak bisa bicara, biar aku saja!" katanya mengandung nada ancaman.
Lagipula mau tunggu apa? Bukankah lebih cepat akan lebih baik untuk mereka? Setelah dia menikah dengan Dev maka Giselle akan lebih dihormati di manapun, dia juga akan menjadi nyonya muda Henderson, dan yang paling seru adalah ketika Giselle nanti akan mendepak Delia dari kantor Devano.
Hidup Delia selama ini sudah terlalu enak, ditanggung keluarga Henderson, menikah dengan pewaris ternama, duduk di jabatan penting. Semua itu seharusnya miliknya.
Dev menarik napas berat. Ia pun ingin bicara pada keluarganya, agar tak memberi harapan palsu lagi. Tapi bayangan Kakek membuatnya gentar. Apa jadinya jika Kakek mendengar kabar ini?
"Giselle, aku minta maaf. Aku janji, besok aku akan pulang ke rumah untuk membicarakan tentang hubungan kita… dan juga tentang Delia," ujar Dev akhirnya.
"Sungguh? Kamu tidak akan berbohong?"
"Aku janji," katanya, tangannya terulur mengusap lembut pipi Giselle.
"Kamu tidak akan memintaku untuk menunggu lagi kan?" tanya Giselle ragu.
"Tidak," jawab Dev.
"Baik. Aku percaya," sahut Giselle sambil tersenyum lebar.
Dalam hatinya sekali lagi dia berhasil memenangkan hati Dev. Dan sebentar lagi Delia akan tahu di mana posisinya.
***
Sore ini Delia akhirnya memberanikan diri untuk pergi ke rumah sakit terdekat. Meskipun tubuhnya masih sangat lemas, ia ingin tahu apakah benar-benar hamil atau tidak.
Jika iya, setidaknya Delia tahu ada sesuatu yang harus ia jaga mulai saat ini. Tapi Delia masih takut melihat hasilnya langsung sendiri, jadi ia memutuskan untuk pergi ke klinik saja. Setidaknya ada dokter yang membantu memeriksanya dan memberikan obat atau vitamin.
Begitu sampai di depan klinik Delia langsung mengambil nomor antrian. Dia duduk menunggu dengan gusar. Semakin mendekati nomor antrian yang ia pegang, jantungnya berdegup lebih kencang, tangannya berkeringat.
Saat nomornya dipanggil, Delia berdiri dan melangkah menuju ruangan dokter. Seorang dokter wanita menyambutnya, menanyakan keluhan, lalu memintanya melakukan tes sesuai prosedur.
Dengan perasaan gugup Delia mengikuti langkah-langkah yang dokter katakan. Nafasnya naik turun sebelum memberikan hasilnya pada sang dokter. Jari-jemarinya saling meremas, telinganya berdenging, detak jantungnya terasa begitu jelas.
Dokter menggeser kacamata, lalu tersenyum kecil.
"Berdasarkan pemeriksaan, kantung kehamilanmu sudah terlihat. Usianya sekitar lima minggu. Selamat, Nona Delia, kamu hamil."
Deg.
Dunia seolah berhenti sejenak. Antara bingung harus bahagia, takut, atau malah sedih. Meskipun ia sudah mempersiapkan diri sebelumnya, tetap saja rasanya seperti belum sanggup mendengarnya.
Delia tersenyum tipis. "Terima kasih, Dok."
"Sama-sama. Saya akan membuatkan resep anti mual dan vitamin kehamilan agar bayi di dalam kandungan Anda tetap sehat," ujar dokter sambil menulis resep.
Begitu selesai, Delia keluar membawa kantung kecil berisi obat dari resepsionis. Ia berjalan pulang ke apartemen, kantung itu terasa berat di genggamannya seolah mewakili beban pikirannya.
Sesampainya di kamar, Delia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ia menatap kantung itu lama, hingga suara ponsel membuyarkan lamunannya.
Dev jangan jadi di paksa Delia nya
di bujuk secara halus dunk🤭
kasih maaf aja Del tapi jangan cepat² balikan lagi ma Dev
hukumnya masih kurang 🤣
Akui aja toh kalian kan sudah bercerai
biar Dev berjuang samapi titik darah penghabisan 🤭
semangat ya Dev awal perjuangan baru di mulai
kak sekali² cazy up dunk kak🤭🤭
Biar bisa lihat cicit nya
semua butuh waktu dan perjuangan 🤭🤭
Siksa terus Dev dengan penyesalan 🤗🤗🤗
Makan to rencana mu yg berantakan 😏😏
Ayo Dev Nikmati penyesalan mu yg tak seberapa 😄😄
jangan pakai acara nangis Bombay ya Dev 🤣🤣🤣
biar nyesel to Dev
bila perlu ortu Dev tau kalau mereka sudah cerai dan bantu Delia buat sembunyi
soalnya mereka pasti senang kalau tau bakalan punya cicit sama cucu🤭🤭
tunggu karma buatmu ya Dev 😏😏