Menikahi Pria terpopuler dan Pewaris DW Entertainment adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah terjadi di hidupnya. Hanya karena sebuah pertolongan yang memang hampir merenggut nyawanya yang tak berharga ini.
Namun kesalahpahaman terus terjadi di antara mereka, sehingga seminggu setelah pernikahannya, Annalia Selvana di ceraikan oleh Suaminya yang ia sangat cintai, Lucian Elscant Dewata. Bukan hanya di benci Lucian, ia bahkan di tuduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap kekasih masa lalunya oleh keluarga Dewata yang membenci dirinya.
Ia pikir penderitaannya sudah cukup sampai disitu, namun takdir berkata lain. Saat dirinya berada diambang keputusasaan, sebuah janin hadir di dalam perutnya.
Cedric Luciano, Putranya dari lelaki yang ia cintai sekaligus lelaki yang menorehkan luka yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quenni Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 - Alergi Kedelai?
Karena khawatir, Anna menutup Toko Kuenya lebih cepat. Tak biasanya Putranya itu bertingkah mencurigakan begitu. Apalagi setelah ia mendengar bahwa tak ada tugas praktek apapun dari sekolah.
'Anak ini... Sudah bisa berbohong rupanya,' batin Anna, ia melangkahkan kakinya dengan langkah tergesa-gesa.
CEKLEK!
"Assalamualaikum." Anna mengedarkan pandangannya ke segala sudut rumah, kala tak mendapat sahutan apapun.
"Ceddy!" panggil Anna dengan cemas.
"Sayang! Bunda pulang!" teriaknya lagi, namun tak kunjung mendapatkan balasan.
Anna mulai merasa panik. Cedric Putranya jelas tak pernah membohongi sejak dulu. Ia berlari dengan cemas, entah kemana ia harus mencari Cedric.
"Bunda!" teriak Cedric dari kejauhan. Anna yang mendengar suara Putranya seketika menoleh.
"Ya Allah, Ceddy!" teriak Anna, ia mendekap erat Putranya itu dalam pelukannya. Dunianya seolah berhenti berputar saat ia pikir terjadi sesuatu pada Putranya. Air matanya luruh begitu saja.
Cedric terhenyak kaku, merasakan air mata Anna yang mengalir di bahunya. Seketika rasa bersalah memenuhi pikirannya. "Ma-maaf, Bunda!"
Anna melepaskan pelukannya dan beralih menatap Cedric. "Kamu kemana saja? Kenapa bohong sama Bunda? Katanya ada tugas praktek, tadi Bunda tanya Bu Guru tidak ada! Sekarang katanya mau pulang kerumah, tapi kenapa dari luar?" tanya Anna dengan nafas menggebu.
Cedric menundukkan kepalanya. Bagaimana ia harus menjelaskannya? Ia tak ingin berbohong lagi, namun apakah bisa baginya untuk memberitahukan ini semua pada Bundanya.
'Maaf, Bunda. Aku tidak bermaksud berbohong. Hanya saja, setelah mendengar semuanya, aku ingin kalian bersama.'
"Maaf, Bunda. Cedric bohong, sebenarnya aku tidak ada tugas sekolah. Aku hanya ingin pergi melihat perlombaan basketball di lapangan depan," jelas Cedric, ia semakin merasa bersalah. Walau tak sepenuhnya berbohong.
Anna menghela nafasnya. "Lain kali kalo cuma mau nonton basket atau lainnya, jujur saja, Nak. Bunda tidak akan melarang. Bunda khawatir kamu kenapa-kenapa di jalan. Mengerti?" tanya Anna mencoba memberi pengertian.
"Iya, Bunda. Maaf."
"Ya sudah. Masuklah, siap-siap mandi," titah Anna.
"Baik, Bunda!"
Anna menatap punggung kecil Putranya. Ia tak bermaksud terlalu overprotektif pada Cedric. Hanya saja, ia selalu merasa cemas jika suatu saat Lucian akan mengetahui keberadaan Cedric dan membawanya dari Anna.
Cedric satu-satunya alasan untuk Anna bertahan hidup. Jika satu-satunya cahaya di hidupnya direnggut, ia tak pernah bisa bertahan.
'Maafin, Bunda. Bunda tahu, kamu selalu merasa kesepian. Padahal kamu hanyalah anak berusia tujuh tahun. Tapi sikapmu membuat Bunda benar-benar merasa bersalah, Nak.' Anna memikirkan betapa pengertian dan dewasanya Cedric, di usianya yang masih belia.
Anna berjalan masuk kerumahnya, setelah mencoba menenangkan perasaannya agar tak terlihat oleh Cedric.
Tanpa di sadarinya, ada seseorang yang tengah terpaku di ujung jalan.
*****
Cedric terdiam di meja belajarnya. Ia mulai mengoperasikan laptop miliknya dengan lihai. Tangan mungilnya terlihat tak sesuai dengan keyboard itu, namun tak membuatnya sulit.
Di mesin pencariannya terdapat judul. "Edward Stuart Dewata". Ya, Lucian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan dengan tenang tanpa rasa curiga.
FLASHBACK.
Cedric menatap Lucian yang sedang mengendarai mobil sportnya. Kemewahan mobil itu tak membuatnya terpengaruh. Ia hanya ingin menghabiskan momen ini dengan tenang, lalu menyimpannya dalam memorinya.
Sudah bulat tekadnya, ia tak akan mengharapkan apapun lagi dari Lucian. Kebahagiaan Anna adalah yang paling penting untuknya. Jika dengan bersama Lucian, membuat hati Anna terluka, dan membuka lagi trauma masalalunya, lebih baik Cedric tak mengenal Lucian dalam hidupnya lagi.
"Aku tahu aku tampan!" celetuk Lucian, sembari tersenyum miring mengejek Cedric.
"Cih, kau tak setampan diriku," balas Cedric, sembari membuang muka.
"Haha. Aku memang tak akan pernah menang melawanmu, bocah!"
"Kita mau kemana?" tanya Cedric, tak menghiraukan perkataan Lucian.
"Menonton pertandingan basket? Bagaimana?" tanya Lucian. Kebetulan sekali ia mendapatkan kabar ada pertandingan basket antar sekolah di sana.
Cedric mengangguk.
Aaaaaa!
Arghhhh!
Teriakan-teriakan penonton bergemuruh. Lucian mengandeng tangan Cedric dan membawanya ke pojokan. Karena takut ada yang mengenalinya walaupun ia sudah menggunakan masker dan kacamata hitamnya plus topi hitam. Persis seperti para aktor dan aktris yang sedang mencoba menutupi identitasnya.
"Wow! Ternyata sangat ramai!" seru Lucian. Tatapannya beralih pada bocah di sampingnya.
'Sepertinya ia kesulitan melihatnya karena terlalu pendek.'
HAP!
Greb!
Lucian tanpa aba-aba menggendong Cedric.
"Ap-apa yang Paman lakukan! Turunkan aku! Aku bukan anak kecil lagi!" desak Cedric, dengan semburat merah di pipinya.
Lucian terkekeh melihat betapa besar gengsi Cedric, bahkan melebihi dirinya. "Haha. Aku hanya ingin menggendongmu, apakah tidak boleh?" tanya Lucian, berpura-pura tak tahu.
"Cih..." Cedric tak bisa mengelak, ia memang kesulitan untuk melihat karena orang-orang dewasa di depannya.
Cedric menoleh ke arah sekitarnya. Ia takut seseorang mengenali dirinya. Apa lagi saat ini ia sedang bersama seseorang yang terlihat sangat-sangat mencurigakan.
"Ehem! Lepaskan masker dan kacamata Paman! Atau mereka akan mengira aku sedang di culik," jelas Cedric dengan jengah. Pasalnya, beberapa orang telah melirik Lucian dengan curiga.
Lucian yang mendengar itu, mengedarkan pandangannya. Dan betul saja beberapa orang melihatnya dengan tatapan penuh curiga. Dengan cepat ia melepaskan masker dan kacamatanya. Namun, tidak dengan topi hitam yang ia pakai.
"Si-sial! Aku tak berpikir mereka akan curiga karena mengira aku penculik dibandingkan Aktor terkenal," gumam Lucian, tak habis pikir.
"Pfftt... Haha. Tampangmu memang sudah seperti penculik daripada Aktor Terkenal, haha," ledek Cedric, sembari tertawa lepas.
Lucian menatap Cedric dengan hangat. Hatinya terasa damai melihat tawa lepas anak itu. Entah mengapa tiba-tiba ia bertekad tak akan membuat senyuman itu hilang dari wajahnya.
"Dasar bocah nakal."
Selesai menonton pertandingan basket mereka beralih ke sebuah restoran yang lumayan jauh untuk makan siang.
"Kau mau pesan apa?" tanya Lucian, sembari tangannya membolak-balikkan menu.
"Apapun, kecuali yang terbuat dari kedelai," jawab Cedric, dengan santai.
"Hah? Kau juga tak bisa memakan kedelai?" tanya Lucian, seolah tak percaya.
Sangat jarang, seseorang memiliki alergi yang sama sepertinya. Ia juga merasakan keterikatan yang aneh terhadap Cedric, bahkan ia yang tak pernah memperdulikan orang lain tapi sangat memperdulikan Cedric.
"Tidak mungkin, kan..."